Catatan Penelusuran di Rumah Cak Roes: Dari Al-Quran Bung Karno hingga Ketikan Terakhir

Begandring.com-Penulis: Khusnul Avifah

Setelah Bung Karno wafat, Cak Roes kerap membawa Al-Quran pemberian Bung Karno itu ke berbagai tempat, termasuk membacakannya di makam Sang Proklamator.

Penelusuran ke rumah Roeslan Abdulgani (1914-2005) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat (25/11) di akhir pekan itu bermula dari rasa penasaran terhadap sosok yang selama ini nama dan karyanya hanya saya dengar dan baca di ruang kuliah. Cak Roes, begitu sapaan akrab beliau, salah satu tokoh legendaris asli Surabaya yang perannya amat penting sejak era Revolusi Kemerdekaan, Orde Lama, hingga Orde Baru. Saya sudah membuat janji temu dengan Bu Hafilia, putri bungsu Cak Roes, untuk mendengarkan kisah hidup Cak Roes mulai dari masa kecilnya di kampung Plampitan-Surabaya, hingga menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Sederet posisi penting seperti Menteri hingga Duta Besar RI untuk PBB pernah diemban Cak Roes.

Berangkat dari Depok ke Cikini, saya disambut dengan hujan. Mendung mengepung Ibukota. Setelah setengah jam menunggu, hujan pun reda. Saya lanjut lagi berjalan menuju rumah No. 11 di Jalan Pangeran Diponegoro. Tinggal beberapa langkah lagi sampai, gerimis mendadak kembali datang. Saya putuskan lanjut berjalan. Kepalang basah.

Tak lama, akhirnya sampai di depan rumah Cak Roes. Saya terpana sejenak. Halaman rumah dipenuhi berbagai jenis arca. Ada nuansa eksotis terpancar dari rumah yang pernah mendapat Anugerah Budaya dari Bidang Pelestarian Bangunan Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta itu. Dari plakat di dinding rumah saya tahu, sebelum ditempati oleh Roeslan Abdulgani, rumah tersebut ditempati oleh Bung Karno mulai Juli 1942-Mei 1943, tepat setelah bebas dari pembuangan di Bengkulu. Berdasarkan penuturan Bu Hafilia, rumah dengan arsitektur mirip villa era kolonial Belanda ini pada saat awal pemerinta RI merupakan rumah dinas yang dapat dijadikan hak milik. Para pejabat diminta untuk menempati rumah-rumah yang disediakan. Roeslan Abdulgani menempati rumah dinas ini kemudian dijadikan hak milik dengan mengikuti hukum dan ketentuan yang berlaku pada saat itu.

Berfoto di teras rumah bersama Ibu Hafilia, putri bungsu Roeslan Abdulgani. Foto: Avifah/Begandring.com

Baca Juga  Ini Dia Jejak Sejarah KBS yang Tersembunyi

Bu Hafilia pun keluar dari pintu dan mempersilahkan masuk. Karena baju agak basah, saya diberi pakaian ganti agar tidak masuk angin. Suami Bu Hafilia ikut menghampiri ketika kami baru berbincang di ruang tamu. Beliau lantas mengajak saya makan siang, dan berkata akan menceritakan tentang Roeslan Abdulgani sambil menikmati hidangan.

“Bapak itu kalau bangun selalu pagi. Jam tiga dini hari sudah bangun untuk menulis, membaca koran, buku. Koran yang dibaca macam-macam asalnya, tidak hanya dari Jakarta. Topik apa saja juga Bapak suka membacanya,” ujar Bu Hafilia mengenangkan ayahandanya, Roeslan Abdulgani.

Perempuan yang akrab dipanggil Bu Lia itu juga menceritakan bahwa neneknya, Siti Moerad, ibunda dari Roeslan Abdulgani, merupakan seorang guru ngaji di Plampitan, Surabaya. Di mana rumah tersebut merupakan rumah lahirnya Roeslan Abdulgani. Selain guru mengaji, Siti Moerad juga membuka usaha toko kelontong. Suatu saat, dari Plampitan Surabaya Siti Moerad berkunjung ke rumah di Jalan Diponegoro Jakarta itu, dan Presiden Soekarno pun menemuinya.

Ibu Cak Roes menegur Soekarno, “Koesno, (nama kecil Presiden Soekarno, Red), kamu sekarang makin gagah menggunakan jas, padahal dulu kamu suka utang rokok.”

Kedekatan Cak Roes dan keluarga dengan Bung Karno memang sangat erat. Kedua tokoh tersebut sudah seperti saudara. Keduanya sama-sama lahir dan bersekolah di Surabaya. Keduanya juga bertetangga, tinggal di kawasan Plampitan-Peneleh, Surabaya.

Keduanya juga aktor penting dalam Pertempuran 10 November 1945, yang terlibat langsung dalam setiap diplomasi. Khusus Cak Roes, bahkan ikut langsung dalam medan pertempuran, yang kelak dia tulis dalam salah satu karya bukunya. Juga di dalam buku hariannya, tutur Bu Hafilia, Cak Roes kerap menulis betapa dirinya seringkali bermimpi tentang Bung Karno.

Al-Quran dan Mesin Ketik

Saya pun diajak memasuki ruangan koleksi Al-Quran milik Roeslan Abdulgani yang berasal dari berbagai macam daerah bahkan ada yang dari luar negeri. Ada juga mushaf (manuskrip Al-Quran tulisan tangan) yang berasal dari Aceh. Lalu ada tiga Al-quran yang disimpan dalam kotak kaca kecil.

Satu kitab suci Al-Quran bertuliskan “Al-Quran rumah Plampitan” dan dua Al-Quran pemberian dari Bung Karno yang terdapat tulisan tangan Bung Karno “Untuk sdr Roeslan Abdulgani dengan salam Persaudaraanku, Soekarno 20/2 ‘58”

Selain itu ada juga tulisan tangan Roeslan Abdulgani kapan beliau membacanya dengan format penanggalan Jawa, surat yang dibaca, dan lokasi bacanya. Al-Quran tersebut pernah dibaca di Madinah, Mekkah, Makam Sunan Wali Songo, Makam Bung Karno, dan daerah lainnya.

Begitu dekat persahabatan dan ikatan emosional keduanya, hingga setiap kali Cak Roes berziarah ke makam Bung Karno di Blitar, Al-Quran itulah yang dia bawa dan bacakan di atas pusara Sang Proklamator.

Ada juga Al-Quran yang dicetak diperbesar, karena usia Cak Roes semakin bertambah sehingga berpengaruh pada penglihatannya saat itu.

Baca Juga  Lowayu Jadi Pit Stop Ekspedisi Bengawan Solo 2022

Al-Quran pemberian Bung karno kepada Cak Roes. Foto: Avifah/Begandring.com

Ruangan koleksi Al-Quran yang juga ruang kerja Roeslan Abdulgani itu penuh dengan foto, hiasan patung, dan piagam penghargaan. Salah satu penghargaannya yaitu gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Airlangga, Universitas Padjajaran, dan masih banyak lagi. Gelar tersebut diberikan karena hasil karya tulisan ataupun pemikiran beliau.

Beberapa karya intelektual Cak Roes antara lain Mendajung dalam Taufan: Politik Luar Negeri Indonesia, 1956-1967, Nationalism, Revolution, and Guided Democracy in Indonesia (1973), Asia Tenggara di Tengah Raksasa Dunia (1978), dan Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia (1994).

Ruangan juga penuh foto-foto beliau bersama Bung Karno, Sultan HB IX ketika masih muda, Syahrir, bahkan Suharto. Yang membuat saya tertarik adalah foto ketika Roeslan Abdulgani sakit lalu dijenguk oleh Bung Karno dan Fatmawati. Foto tersebut terdapat caption Sewaktu saya sakit bulan September 1960 Bung Karno datang menjenguk saya di kamar tidur Jalan Diponegoro 11, yang dulu juga kamar tidur Bung Karno. Roeslan Abdulgani.”

Ada Pula koleksi mesin ketik manual yang masih digunakan hingga beliau sebelum masuk rumah sakit tahun 2005. Mesin ketik tersebut hingga saat ini masih ada kertas ketikan terakhir yang terbaca Saudara-saudara Yth.. Hari ini adalah hari Minggu. Hari libur. Karena itu saya pun harus libur. Libur tidak ber

Ketikan terakhir Cak Roes. Foto: Avifah/Begandring.com

Kalimat itu belum selesai diketik. Menurut Bu Hafilia, beliau mengetik kalimat tersebut untuk persiapan ketika akan diwawancarai media televisi. Tidak disangka, tulisan itu adalah ketikan terakhir Cak Roes. Beliau wafat pada 29 Juni 2005.

Koleksi Tongkat dan Pustaka

Baca Juga  Benteng Budaya dan Kearifan Lokal yang Makin Terkikis

Menariknya, Roeslan Abdulgani juga suka mengoleksi tongkat yang berasal dari berbagai daerah. Ada yang beli dan juga ada yang pemberian. Koleksi tongkat tersebut memiliki filosofi ataupun pepatah yang dipegang teguh oleh beliau. Pepatah tersebut berupa “Jika ada yang lapar, maka kasih makan (pangan). Jika ada yang telanjang, maka kasih baju (sandang). Jika ada jalan yang licin maka berilah tongkat.”

Filosofi tersebut tidak lepas dari ajaran sosok Siti Moerad, ibunda Roeslan Abdulgani, yang mengajarkan bahwa di depan rumah Plampitan dengan halaman yang sering becek dan licin terdapat tongkat untuk alat bantu agar bisa berjalan di jalan yang licin. Tongkat tersebut disediakan untuk dibawa pejalan yang melintas dan tidak perlu dikembalikan. Hal kecil itu mengajarkan bahwa membantu orang tidak perlu pamrih atau mengharapkan imbalan.

Cak Roes juga mengoleksi berbagai kepustakaan, mulai dari filsafat, Islam, politik, sejarah, dan lain-lainnya. Mencermati ragam koleksinya, saya membayangkan betapa luas cakrawala pemikiran beliau. Semuanya tersimpan rapi dan bersih.

Karena pustaka buku milik Cak Roes sangat banyak, Bu Hafilia pun berharap ada yang berkenan membuatkannya katalog. Setelah itu, dibuatkan juga ruangan khusus untuk koleksi-koleksi Roeslan Abdulgani, agar bisa dibaca dan bermanfaat untuk masyarakat.

Beberapa koleksi buku Cak Roes di salah satu sudut rumah. Foto: Avifah/Begandring.com

Selain itu, Bu Hafilia juga menunggu kunjungan saya berikutnya, mungkin akan bersama dengan Komunitas Begandring Soerabaia, untuk mendiskusikan lebih lanjut apa saja yang kami butuhkan untuk kegiatan komunitas kami tersebut. Kami bercita-cita membuat pameran dan diskusi koleksi-koleksi Cak Roes berikut pemikirannya. Tujuannya agar ada proses pewarisan memori kolektif kepada publik seluas-luasnya, tentang sosok Cak Roes, tokoh pejuang dan intelektual asal kampung Plampitan, Surabaya, kotanya para pahlawan (*)

 

*Khusnul Avifah. Anggota Komunitas Begandring Soerabaia. Mahasiswi Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Kini sedang mengikuti program magang di Museum Nasional, Jakarta.

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x