Genealogi Seni Majapahit Baru: Peran Tuan Kreweng dan Mbah Sabar dalam Sejarah Industri Kerajinan Bejijong-Trowulan

Penulis: Eva N.S. Damayanti*

Peneliti mancanegara menyebut karya-karya yang dihasilkan oleh Mbah Sabar dan masyarakat Desa Bejijong saat ini sebagai The New Majapahit Art atau Seni Majapahit Baru.

Selain dikenal sebagai kawasan yang kaya akan peninggalan artefaktual dari masa klasik, Desa Bejijong Kecamatan Trowulan, Mojokerto, juga dikenal karena mempunyai beberapa sentra kerajinan yang mendunia. Salah satu kerajinan tersebut adalah kerajinan cor kuningan yang ada di Desa Bejijong, sebuah desa yang terletak paling barat dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Jombang.

Desa Bejijong berada di sebelah utara Museum Trowulan (kini menjadi kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur). Keduanya dipisahkan oleh jalan raya antar provinsi. Hingga saat ini tercatat sekitar 180 orang menjadi pengrajin cor kuningan. Mereka menghimpun diri ke dalam sebuah wadah yang bernama Paguyuban Cor Kuningan Sabar Handayani yang beranggotakan 115 orang yang terdiri dari pengrajin antikan dan pengrajin produk massal.

Keterampilan seni kerajinan cor kuningan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Bejijong bukanlah hasil dari sistem kebut semalam, namun berasal dari sebuah proses belajar yang cukup panjang dari generasi ke generasi. Di dalam proses itu, ada peran 2 orang yang cukup penting yaitu Ir. Henri Maclaine Pont dan Mbah Sabar.

Potret Mbah Sabar. Karyanya disebut menandai lahirnya Seni Majapahit Baru. Foto: Eva N.S Damayanti

Maclaine Pont, yang kerap dipanggil masyarakat Trowulan dengan sebutan Tuan Kreweng atau Tuan Sinir ini adalah seorang arsitek berkebangsaan Belanda, sekaligus pendiri instansi partikelir yang bernama Oudheidkundige Vereeniging Madjapahit (OVM). OVM didirikan pada tahun 1924 dengan tujuan untuk mengadakan penyelidikan keberadaan jejak ibukota Kerajaan Majapahit yang ditengarai berada di Trowulan.

Dalam perkembangannya, OVM berubah menjadi Museum Trowulan. Maclaine Pont tinggal di Trowulan mulai tahun 1925 sampai dengan 1942. Kisah petualangan nya di bidang arkeologi berakhir ketika ia ditawan di kamp interniran pada masa pendudukan Jepang.

Baca Juga  Mengenal Henri Maclaine Pont alias Tuan Kreweng, Pendiri Museum Trowulan-Mojokerto

Dalam menjalankan OVM (kemudian menjadi Museum Trowulan), Maclaine Pont tentunya membutuhkan tenaga bantuan warga lokal. Takdir membawanya berkenalan dengan Sabar, seorang pemuda kelahiran 1912 dari Desa Bejijong yang berlatar belakang dari keluarga petani sederhana, seorang pemuda dengan bakat seni, yang mempunyai pengalaman membuat barang-barang berbahan tanah liat.

Keduanya membangun sebuah hubungan kerja sama yang baik, salah satunya yaitu dengan membuat eksperimen-eksperimen sebagai jawaban atas rasa keingintahuan mereka yang besar terhadap proses bagaimana artefak-artefak tinggalan leluhur itu tercipta. Dari beberapa eksperimen yang telah dilakukan, akhirnya terciptalah karya perdana mereka berupa patung Yesus berbahan logam yang sekarang berada di Gereja Puhsarang, Kediri, sebuah gereja Katolik yang juga didesain oleh Maclaine Pont.

Bukti kedekatan di antara pimpinan dan pegawai berbeda ras ini adalah ketika sepeninggal Maclaine Pont yang ditawan oleh Jepang, maka Mbah Sabar lah yang merawat benda-benda koleksi Museum Trowulan bersama dengan dua orang temannya. Mbah Sabar mempunyai tanggung jawab moral untuk menyelamatkan ribuan artefak yang telah dikumpulkan oleh arsitek kelahiran Jatinegara selama puluhan tahun itu.

Selama Maclaine Pont ditawan, Mbah Sabar kerap mengunjunginya dan menyelundupkan surat-surat dengan cara menaruhnya di dalam rumput. Mbah Sabar berdalih rumput itu digunakan untuk pakan kuda. Hal ini seperti yang diceritakan oleh Hariadi Sabar (putra Mbah Sabar) dalam sebuah wawancara dan tertulis dalam buku yang berjudul Heritage is Movement: Heritage Management in a Diverse and Plural World karya peneliti asal Australia, Tod Jones.

Situasi politik dan keamanan yang tidak menentu pada saat itu membuat Museum Trowulan berpindah-pindah tangan. Hal ini membuat keadaan ekonomi Mbah Sabar juga ikut tidak menentu. Selama kurun waktu tahun 1949 sampai menjelang masa pensiun tahun 1965, Mbah Sabar tidak mendapat gaji.

Baca Juga  Bila Cak Sabar “Menjual” Kampung Lawas Maspati

Selama itu, ia hanya mendapat uang dari hasil penjualan tiket pengunjung dan upah pekerjaan yang ada hubungannya dengan koleksi museum. Situasi yang tidak menentu dan kondisi keuangan yang memprihatinkan membuat Mbah Sabar memboyong keluarga nya (seorang istri dan ketujuh anaknya) ke sebuah rumah yang ada di seberang museum.

Sebelumya, Mbah Sabar dan keluarga tinggal di dalam kawasan museum yaitu di belakang rumah Maclaine Pont. Akhirnya pada tahun 1967, Mbah Sabar mendapatkan pensiun dari negara. Namun, guna menghidupi keluarga besarnya, Mbah Sabar mulai serius berkarya dengan membuat patung kerajinan bergaya ala Majapahit seperti ketika ia bereksperimen dengan Maclaine Pont dulu.

Awalnya ia membuat kerajinan secara sederhana misalnya berbentuk binatang, kemudian meningkat ke bentuk yang lebih rumit dan berbahan perunggu. Karya yang semakin berkualitas membuat Mbah Sabar semakin percaya diri dan menjual kerajinannya di depan museum dan di toko daerah Surabaya.

Selain menjadi seniman, Mbah Sabar dahulu juga aktif menjadi pengurus Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Dalam pusaran kemelut politik tahun 1965, Mbah Sabar turut terkena imbasnya dan hampir menjadi korban hanya karena profesinya sebagai seorang seniman patung. Setelah kejadian tersebut, Mbah Sabar mengucapkan sesumbar bahwa di kemudian hari anak keturunan masyarakat Desa Bejijong akan hidup dari kerajinan patung cor kuningan seperti dirinya. Cerita ini berdasarkan penuturan Bapak Hariadi, putra Mbah Sabar yang kala itu baru berusia 8 tahun dan turut menjadi saksi masa-masa kelam itu.

Hariadi Sabar (kanan) dan salah satu karyanya, patung Letkol. dr. R.M. Soebandi. Foto: Eva N.S Damayanti

Pengalaman selama puluhan tahun menjadi pegawai Museum Trowulan yang turut menjaga dan merawat ribuan artefak peninggalan Majapahit membuat “rasa” dan pengetahuan akan seni Mbah Sabar menjadi bertambah dan tentunya didukung dengan adanya bakat seni ukir yang dimiliknya secara alami.

Baca Juga  Sidokare, Kisah Gereja yang Hilang

Ia menularkan keterampilannya dalam pembuatan produk cor logam (termasuk pembuatan patung-patung berukuran besar) kepada keluarga, teman-teman dan juga para tetangga. Salah satu karya Mbah Sabar adalah patung Garuda yang berada di depan Terminal Pandaan Pasuruan.

Mbah Sabar telah berhasil membuka lapangan kerja bagi orang-orang di sekitarnya dan menambah warna kehidupan masyarakat Desa Bejijong yang awalnya hanya bertumpu pada sektor pertanian namun kemudian berkembang menjadi desa industri kerajinan.

Mbah Sabar meninggal pada tahun 1996 di usia 84 dan dimakamkan di Makam Dusun Kedungwulan, Desa Bejijong.

Sebagai ucapan terima kasih atas jasa-jasa Mbah Sabar, sudah 2 tahun ini Pemerintah Desa Bejijong menggelar peringatan haul Mbah Sabar. Tahun 2022, haul diselenggarakan pada tanggal 10 – 12 Oktober di punden Siti Inggil, yaitu berupa kirab tumpeng, kegiatan pasar rakyat. sarasehan cor kuningan, dan pagelaran seni budaya.

Pada tahun 2023, haul digelar pada tanggal 10 Desember dengan kegiatan doa bersama dan sholawatan di depan kediaman putra Mbah Sabar, yaitu Bapak Hariadi Sabar, seorang seniman patung terkenal dan satu-satunya putra yang meneruskan “ruh” Sang Maestro.

Tod Jones di dalam buku Heritage is Movement: Heritage Management in a Diverse and Plural World menyebut karya-karya yang dihasilkan oleh Mbah Sabar dan masyarakat Desa Bejijong saat ini sebagai The New Majapahit Art atau Seni Majapahit Baru.

Seiring perkembangan zaman, karya yang dihasilkan tidak hanya melulu berupa replika artefak masa klasik namun juga berupa produk-produk lain yang bisa diterima oleh masyarakat umum, misalnya barang-barang yang bisa dijual di tempat wisata sebagai suvenir misalnya Solo, Jogja, dan Bali. Bahkan di era internet ini, para pengrajin dengan mudah menemukan calon pembeli dari belahan dunia manapun.

 

*Eva N.S. Damayanti. Reenactor Modjokerto, perangkai repihan sejarah Trowulan.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *