Kelenteng Hok Tik Hian dan Peradaban Masa Lalu

Petaka mendera Kelenteng Hok Tik Hian,  Jumat (17/2/2023), kelenteng di Jalan Dukuh, Surabaya itu terbakar. Penyebabnya kebakaran itu berasal dari tetesan lilin yang mengenai triplek lalu membakarnya. Untung, api tidak melalap seisi bangunan kelenteng.

Benda yang terbakar adalah tumpukan triplek dan kayu serta lemari. Benda-benda itu ditempatkan di dekat lilin menyala di pelataran Kelenteng Hok Tik Hian sisi timur.

Menurut petugas Pemadaman Kebakaran (Damkar) Surabaya, Ridwan, api dari tetesan lilin merembet dan membakar lemari kayu di halaman timur klenteng. Kejadiannya sekitar 11.30 WIB.

Api dapat dikuasai dengan cepat oleh petugas pemadam kebakaran, yang datang dari berbagai pos Pemadaman Kebakaran di sekitar lokasi kejadian.

Ada 8 unit Damkar dikerahkan dalam peristiwa ini. Yakni 1 Unit Tempur dari Pos Pegirian, 2 Unit Tempur dari Rayon 1 Pasar Turi, dan 5 Unit Tim Rescue.

Ketika begandring.com mendatangi lokasi kejadian, Sabtu (18/2/2023), terlihat petugas Kelenteng Hok Tik Hian nsedang membersihkan bekas kebakaran. Luberan cairan lilin  yang berwarna merah, terlihat meluber hingga batas pagar kelenteng. Sementara bekas jilatan api tampak pada tembok kelenteng. Tembok gosong dan mengelupas.

Beberapa kelenteng sebelumnya juga mengalami kebakaran. Catatan begandring.com, musibah kebarang juga dialami Kelenteng Poo An Kiong di Blitar (2021), Kelenteng Dewi Kwan Im di Singkawang (2018), Klenteng Kong Tik Soe di Semarang (2019), Klenteng Sumber Naga di Probolinggo (2019), dan Vihara Dharma Bhakti di Jakarta (2015)

Kelenteng Hok Tik Hian dan Peradaban Masa Lalu
Bekas jilatan api di kelenteng Hik Tiek Hian. foto: begandring

 

Batas Kawasan Pecinan

Klenteng Hong Tiek Hian berdiri di dekat Sungai Pegirian. Keberadaan klenteng ini menjadi pembatas kawasan pecinan di sisi timur.

Sementara batas Pecinan sisi barat adalah sungai Kalimas. Di sana juga ada kelenteng lainnya. Namanya Kelenteng Hok An Kiong atau Kelenteng Sukaloka. Lokasinya di pojok Jalan Slompretan dan Jalan Coklat. Kedua kelenteng ini seolah menjadi batas wilayah Pecinan Surabaya: batas timur dan barat.

Baca Juga  THR Harus Jadi Laboratorium, Rumah Produksi dan Etalase Seni dan Budaya

Kawasan Pecinan Surabaya memang cukup luas. Batas selatan adalah jalan Stasiun. Sementara pada batas utara bercampur dengan kawasan Kampung Melayu.

Secara geografis batas utara ini adalah Jalan Kali Mati Wetan, Kalimati Kulon hingga Kali Malang. Dulu, jalan ini adalah sungai yang menghubungkan Kali Pegirian dan Kalimas.

Luasan kawasan Kampung Pecinan ini menjadi tanda supremasi etnis (China) yang mendiami Surabaya di eranya. Bahkan di sisi timur Kali Pegirian terdapat Kelenteng Boen Bio yang berdiri di Kampung Kapasan.
Kelenteng Boen Bio adalah kuil kesusastraan. Boen berarti kesusastraan dan Bio berarti kuil. Secara bebas, Kelenteng Boen Bio adalah pusat pendidikan, tempat belajar ajaran Konghucu.

Sebagai kuil kesusastraan, Kelenteng Boen Bio berbeda dari dua Kelenteng Hok An Kiong dan Hok Tiek Hian. Di Kelenteng Boen Bio tidak ada patung patung dewa dan tidak ada lilin-lilin besar yang menyala. Di Boen Bio ada patung Konghuchu yang dianggap sebagai nabi mereka.

Kelenteng menjadi penanda adanya peradaban etnis Pecinan. Di berbagai kawasan kota tua di kola-kota lain, umumnya di setiap kota yang memiliki kawasan Pecinan hanya memiliki satu kelenteng. Seperti di Gresik, Pasuruan, dan Probolinggo yang hanya punya satu klenteng.

Berbeda dengan di kota Surabaya. Di sana, di kawasan kota tuanya, ada dua kelenteng, ditambah kuil kesusastraan Boen Bio.

Kelenteng Hok Tik Hian dan Peradaban Masa Lalu
Kelenteng Hok Tiek Hian di Jalan Dukuh, Surabaya. foto: begandring

 

Era Majapahit

Kelenteng Hok Tiek Hian, lokasinya di sisi timur dari kawasan legendaris di Surabaya, yakni Jembatan Merah. Tepatnya berada di Jalan Dukuh. Masyarakat sering mengatakan Kelenteng Dukuh.

Ada dua unit bangunan utama di Kelenteng Hok Tiek Hian. Keberadaannya dipisah oleh gang Dukuh. Bangunan di sisi utara adalah bangunan utama yang menjadi tempat persembahyangan.

Baca Juga  FFI 2023 Kembali ke Akar Sejarah, Ini Penjelasan Pemerhati Film dari Stikosa AWS

Bangunan sisi selatan Kelenteng Hok Tiek Hian menjadi aktivitas administrasi dan tempat atraksi kebudayaan pergelaran wayang Potehi. Di teras dari bangunan inilah yang terjadi kebakaran.

Menurut cerita yang berkembang, Kelenteng Hok Tiek Hian yang langsung menghadap Kali Pegirian, sudah berdiri sejak era Majapahit. Peradaban kelenteng yang menjadi bukti suatu masa, kiranya masuk akal bila peradaban pecinan ini sudah ada di era Majapahit.

Dari kelenteng di Jalan Dukuh jika berjalan semakin ke utara, maka di sana ada kawasan kampung Ampel, dulu Ampel Denta, yang menjadi jujugan Raden Rahmad pada 1440-an di masa kerajaan Majapahit.

Sungai Pegirian sebagai percabangan Sungai Kalimas menjadi jalur penghubung antara kawasan hilir dengan pedalaman. Bahkan Sungai Pegirian ini menjadi sungai yang ramai dengan lalu lintas sungai (perahu).

Di era Sunan Ampel pada abad 15, sungai Pegirian menjadi urat nadi perekonomian dan transportasi. Sampai-Ki Ageng Supo yang dikenal dengan Susuhunan di Desa Bungkul (Sunan Bungkul), melarung buah delima dari Kalimas di Desa Bungkul hingga ditemukan di Kali Pegirian di Desa Ampel Denta.

Diketahui, di sepanjang tepian sungai sudah menjadi jujugan peradaban manusia. Tidak terkecuali peradaban di sekitar Jalan Dukuh, di mana terdapat kelenteng sebagai peradaban Pecinan dan Masjid di Ampel Denta sebagai peradaban umat Islam, yang kemudian menjadi jujugan etnis Arab ketika mendiami Surabaya.

Musibah kebakaran yang terjadi di Kelenteng Hok Tiek Hian harusnya jadi instrospeksi. Jika lilin-lilin besar yang terus menyala sebagai bagian dari ritual sembahyangan perlu mendapat perhatian pihak-pihak terkait. (nanang purwono)

 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *