Begandring.com – Di Indonesia, bangunan cagar budaya (heritage) dalam perkembangan zaman seolah melangkah ke arah dua kutub yang berbeda: utara dan selatan, namun masih bertumpu pada satu poros yang sama. Poros ini diistilahkan poros ekonomi.
Sama sama pada satu poros, ekonomi, namun salah satu porosnya memiliki kemanfaatan ekonomi yang berdasar pada nilai historis dan heritage yang dikandungnya. Inilah historic and heritage based economy development alias pengembangan ekonomi yang berbasis sejarah dan cagar budaya. Kutub ini adalah kutub yang ideal karena selain mampu mempreservasi atribut, kutub ini juga sekaligus mempreservasi nilai nilainya.
Sementara kutub lainnya justru mengorbankan cagar budaya demi tujuan ekonomi yang lebih besar, yang tidak bisa terpenuhi hanya dengan mengandalkan sumber ekonomi yang berbasis heritage. Maka, yang terjadi adalah pembongkaran bangunan heritage dan pendirian bangunan baru yang nilai ekonomis nya dianggap jauh lebih prospektif.
Di sebuah kawasan hisstoric urban landscape (HUL) seringkali ditemui aset heritage yang sarat dengan nilai lokal yang menjadi identitas setempat. Namun nilai identitas ini kalah oleh nilai ekonomi, yang jika tidak ditangkap, maka peluang ekonomi itu akan hilang. Di sinilah terjadi tarik menarik kepentingan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan jati diri.
Hilangnya jati diri sering terjadi karena alasan alasan ekonomi. Salah satu contoh nyata adalah hilangnya Rumah Radio Perjuangan Bung Tomo di jalan Mawar 10 Surabaya pada 2016. Rumah ini adalah bangunan bersejarah yang telah tercatat sebagai bangunan cagar budaya kota Surabaya. Keberadaanya dilindungi oleh Undang Undang. Nilai historisnya luar biasa karena menjadi monumen bagaimana tokoh pejuang Surabaya, Bung Tomo, mengobarkan semangat perjuangan dan perlawanan terhadap Tentara Sekutu melalui siaran radio.
Nilai historis dari Rumah Radio Perjuangan Bung Tomo, yang sebetulnya bisa menjadi peluang ekonomi, ternyata dianggap tidak cukup untuk meraih peluang yang lebih besar, jika tidak dibongkar dan didirikan bangunan baru sebagai mesin pencetak uang yang lebih banyak. Akhirnya pada 2016, bangunan bersejarah itu dibongkar. Ironisnya di atas lahan ini hanya dibangun sebuah rumah tinggal si kaya.
Surabaya sebagai kota Pahlawan kehilangan monumen kepahlawanannya. Ini sebuah ironi besar.
Ancaman Cagar Budaya
Kasus seperti Rumah Radio Perjuangan Bung Tomo di jalan Mawar 10 Surabaya bisa saja terjadi untuk kali kedua. Potensi ini sudah nampak di depan mata. Yaitu potensi tarik menarik antara kedua kutub. Kutub pelestarian cagar budaya (heritage conservation) dan kutub pembangunan perkotaan (urban development).
Di kawasan Kota tua Surabaya, tepatnya di kawasan Kampung Melayu (Maleisch Kamp), yang masih menyimpan banyak aset heritage, keberadaannya terancam oleh kepentingan ekonomi dan pembangunan. Apalagi kawasan ini adalah kawasan ekonomi dan perdagangan. Tepatnya di Pabean Sayangan.
Seorang pegiat cagar budaya setempat, Shohibudin dari RW 010 Kelurahan Nyamplungan menyampaikan bahwa berdasarkan pengamatannya sudah ada beberapa bangunan kuno yang dibongkar untuk didirikan bangunan baru tanpa meninggalkan sedikitpun jejak masa lalu.
“Cepat sekali bangunan bangunan lama, yang menjadi identitas kawasan ini, hilang karena dibongkar”, jelas Shohibudin yang menginformasikan pada media ini.
Menurut Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, Dr. Retno Hastijanti bahwa bangunan bangunan lama di kawasan Jalan Pabean Sayangan adalah termasuk dalam kawasan cagar budaya kota lama.
“Bila dilihat pada peta, maka kawasan itu masuk kawasan cagar budaya Kota Lama”, tegas Retno Hastijanti.
Karenanya untuk pengawasan Cagar Budaya dan kawasan Cagar Budaya, Lurah dan Camat setempat ikut melakukan pengawasan, selain Disbudporapar (Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata), CKTR, Satpol PP dan lain lain.
“Sehingga harusnya bila ada pembongkaran atau pembangunan bangunan baru, harus mengantongi IMB nya. Harusnya mereka melaporkan”, tambah Hasti, sapaan akrabnya.
Menurut pengamatan Shohibudin dirinya sudah melakukan pengawasan terhadap obyek cagar budaya dan yang diduga cagar budaya serta siap berkoordinasi dengan pejabat setempat baik lurah maupun camat sebagai upaya perlindungan aset cagar budaya di kawasan Cagar Budaya.
Pasal 56, UU 11/2010 tentang Cagar Budaya mengamanahkan bahwa setiap orang dapat berperan serta melakukan perlindungan cagar budaya.
Ancaman terhadap cagar budaya tidak hanya terjadi di kawasan perdagangan dan bisnis di Pabean saja, di kawasan Central Business District (CBD) Tunjungan juga masih berpotensi terjadi pembongkaran. Salah satu bangunan cagar budaya yang sangat langka dan penting adalah bangunan bergaya Indiesch dengan pilar pilar Romawinya yang megah.
Gedung ini berdiri di kawasan yang sangat ekonomis. Sempat terdengar isu bahwa di tempat ini, cepat atau lambat, akan dibangun gedung pencakar langit seperti halnya bangunan serupa yang telah berdiri di jalan Embong Malang.
Kedua contoh di atas: di jalan Pabean Sayangan dan jalan Tunjungan, adalah ancaman terhadap eksistensi bangunan cagar budaya. Tanda tanda itu sudah ada dan pertanyaannya adalah apakah kepentingan nilai ekonomi akan terus mengalahkan nilai nilai identitas lokal? Apakah Perkembangan Perkotaan (Urban Development) akan senantiasa mengalahkan Pelestarian Cagar Budaya (Heritage Preservation)? (Nng)