Akhir Tragis WR Soepratman di Rumah Tambaksari

Pagi itu, 17 Agustus 1938, Wage Rudolf Soepratman dipulangkan Polisi Hindia Belanda dari Penjara Kalisosok ke rumah kakaknya, Jl Mangga  21, Tambaksari, Surabaya.  Dia dikembalikan dengan kondisi kritis. “Wage” dilepas setelah sepuluh hari dijebloskan di penjara paling brutal itu. Malam harinya, sang komponis besar ini meninggal dunia. Dia wafat dalam kesendirian dan miskin.

Mengikuti perjalanan hidupnya, tidak bisa lepas dari rumah sederhana di tengah kampung Tambaksari ini. Di sinilah hari-hari terakhir Wage sembunyi dari pelariannya, dia meninggal dalam usia relatif muda, 35 tahun.

Rumah ini bukan bangunan mewah di pinggir jalan besar. Hanya hunian rakyat berukuran 5 meter x 10 meter. Berada di dalam gang yang tidak bisa dilewati mobil. Ada dua ruang tidur selain ruang tamu. Di belakang ada bangunan terpisah untuk kamar mandi dan tempat jemuran. Itu saja, tidak ada teras di depan, hanya tanah ditumbuhi tanaman perdu.

PELARIAN DALAM KESENDIRIAN

Wage ‘lari’ berpindah pindah tempat dari Batavia, Cimahi, Bandung, Pemalang. Begitu terus bolak-balik pada pertengahan 1930-an. Dia buron, bukan hanya karena lagu-lagu ciptaannya yang dianggap membahayakan, namun banyak tulisannya di koran Sin Poo yang dianggap memberontak. Wage seorang wartawan pemberani.

Sampai 1936, dia berhasil pergi jauh dari Batavia. Dia bersembunyi di rumah ini. Bangunan yang waktu itu belum lama dibeli kakaknya, Roekijem. Suami Roekijem-lah yang menambahi nama sang komponis ini dengan ‘Rudolf’, haya gara-gara mencari siasat supaya bisa bersekolah di sekolah Belanda masa SMP dulu.

“Wage tidur di kamar bagian depan,” terang Soerachman, ahli waris Wage. Saya mewawancarai Soerachman di Makam Wage, pada hari ulang tahun komponis pejuang ini 9 Maret. Soerachman menyimpan semua catatan oetentik dari Wage dan keluarganya.

Baca Juga  Mengoreksi Hari Jadi Kota Surabaya, Mengapa Tidak?

Menurut Soerachman, Wage datang ke Surabaya dalam keadaan lelah fisik dan mental. Dia sakit-sakitan, tidak punya uang. Bahkan sempat mengandalkan pemasukan dari berjualan buku bekas selama pelarian yang melelahkan.

Di Surabaya, Wage ‘dikawal’ Oerip Kasansengari. Dia kerabat Wage, seorang pengacara, sekaligus intelejen partikelir kaum pergerakan. Oerip adalah bapak Soerachman, orang yang saya temui ini. Oerip-lah yang menyelamatkan semua dokumen pahlawan ini. Sekarang semua dokumen itu di tangan Soerachman.

Semula, karena berstatus buron, Wage hanya tinggal di dalam rumah mungil di tengah kampung Tambaksari ini. Saat itu kondisi fisik Wage juga mulai sakit. Namun, belakangan Wage seperti tidak betah mengurung di kamar, dia gatal ingin keluar rumah.

Tujuannya adalah satu, sowan ke dr Soetomo, aktivis Budi Oetomo yang membangun basis gerakan di Jalan Bubutan, Surabaya, sejak awal-awal tahun 1930-an. Niat bertemu dokter Jawa ini sudah ada sejak Wage bertemu Bung Karno di Bandung sepuluh tahun sebelumnya. Tahun-tahun itu, dr Soetomo adalah senior di gerakan kebangsaan. Sedangkan Bung Karno, termasuk Wage, adalah anak muda yang sedang semangat-semangatnya.

“Pada Minggu pagi, Wage bersama bapak (Oerip Kasansengari. Red) berjalan kaki dari Tambaksari ke Bubutan hanya untuk bertemu dr Soetomo,” kata Soerachman seperti kesaksian Oerip. Jaraknya kira kira 10 kilometer.

Di situlah Wage menemukan kembali semangatnya. Dr Soetomo bergembira menerima pemuda pemberani ini. Dia bahkan memberi ‘panggung’ ke Wage untuk menjadi pembicara dalam setiap forum rutin di Gedung Nasional Indonesia (GNI) yang dikelola dr Soetomo.

Selama di Surabaya, Wage ternyata sempat menciptakan lagu anyar. Judulnya Matahari Terbit. Lagu yang kelak menjadi karya terakhir dan menghantarkannya menjadi martir. Karya inilah yang beberapa kali dimainkan di GNI. Wage menyuguhkan lirik optimistis tentang harapan Indonesia merdeka. Sesuatu yang tabu dibicarakan saat itu.

Baca Juga  Pasca Temuan Prasasti Canggu, Pemkot Surabaya Harus Lakukan Kajian

Belakangan keberadaan Wage tercium Intelejen Hindia Balanda. Namun dia tidak ditangkap saat itu juga, bahkan ketika bolak-balik Matahari Terbit berdendang. Padahal lagu anyar itu itu dianggap propaganda Jepang. Sakadar tahu saja, pada pertengahan 1930-an pengaruh Jepang memang masif. Meskipun baru empat tahun kemudian Jepang memenangkan perang dunia.

Tampaknya, Belanda butuh bukti untuk menangkap Wage, karena membawa lagu dalam pertemuan terbatas sulit menjadi dasar menangkapnya. Hingga dalam suatu peristiwa, Wage terpancing keluar ‘kandang’. Dia bersama sejumlah orang dalam organisasi Kepanduan Surabaya memenuhi undangan Radio NIROM di Embong Malang.

Di corong NIROM, Wage mengudara dengan lagu Matahari Terbit. Ternyata, di luar studio, puluhan Polisi Hindia Belanda sudah siap-siap. Nah, waktu Wage keluar studio, dia langsung diringkus, dimasukkan mobil, dan langsung dikirim ke Penjara Kalisosok. “Wage diinterogasi dalam sakit. Diduga dia disiksa selama interogasi,” kata Soerachman.

Sepuluh hari, Wage dipenjara. Hampir tidak ada yang berani menengoknya. Dia sungguh nelangsa namun dia tetap punya mimpi.

“Nasibkoe soedah begini. Inilah jang disoekai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ichlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja jakin, Indonesia pasti merdeka”.

Catatan singkat ini ditulis sendiri olehnya dari Penjara Kalisosok. Dibukukan pada Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raja (1967). Hingga suatu pagi, 17 Agustus 1938, lelaki yang disapa Wage ini dipulangkan. Ini karena tidak ditemukan rencana makar seperti yang dituduhkan.

“Ketika dipulangkan, Wage sudah tidak bisa bergerak, meskipun masih sadar. Tengah malamnya Wage menghembuskan nafas terakhir,” kenang Soerachman.

Dia meninggal dalam sepi. Wage belum pernah menikah hingga akhir hayatnya. Bahkan saat kematiannya, mayatnya tidak segera ditangani. Ini karena Reokijem beragama Kristen yang tidak tahu tata cara pengurusan jenasah cara Islam.

Baca Juga  Lomba Story Telling Lahirkan Anak Anak Berkarakter Soekarno. 

Oerip Kasansengari segera datang dari rumahnya di Maspati ke Tambaksari, Surabaya malam itu juga. Oerip lah yang memimpin merawat jenasah hingga mengurus pemakamannya di Makam Rangkah Surabaya. (*)

 

Ditulis Oleh : Kurcarsono Praseto, owner Sawoong Creative

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *