Mus Mulyadi, The King of Keroncong, dan Kenangan Ngamen di Tunjungan

Ada banyak penyanyi keroncong di negeri ini. Tapi, bagi saya, yang fenomenal adalah Mus Mulyadi alias Cak Mus. Dia wafat pada 11 April 2019. Di usia 73 tahun.

Cak Mus dijuluki The King of Keroncong. Perjalanan karirnya sangat panjang. Dikenal sebagai penyanyi serba bisa. Di dekade 70-80-an, telah merilis 80 album keroncong.

Tahun 2006, Cak Mus datang ke Surabaya. Mengisi acara “Konser Pulang Kampung” di Balai Pemuda. Selain Cak Mus, ada Arie Koesmiran, Ita Purnamasari, Mus Mujiono, Franky Sahilatua, dan Usman Bersaudara.

Sebelum hari “H”, saya ikut mendampingi latihan Cak Mus. Waktu itu, Sekira pukul 01.30 dini hari, taksi berhenti di depan rumah Baktiono (anggota DPRD Surabaya). Di rumah itu juga ada adiknya, Mus Mujiono, Budi Harijono (saat itu wakil ketua DPRD Surabaya), dan Nirwana Juda (saat itu kepala UPTD Balai Pemuda & GNI).

Latihan digelar Gereja Jemaat Kasih Allah di Jl Rangkah II, Surabaya. Lokasinya hanya berjarak dua rumah dari rumah Baktiono.

“Wah kesasar, Rek. Sampek takon ping pitu (Aduh nyasar. Sampai tanya tujuh kali),” kata Cak Mus, saat keluar dari balik pintu taksi.

“Lha, sampeyan dienteni wong akeh iki, nang di ae (Anda sudah ditunggu orang banyak, dari mana saja),” celetuk Nono, panggilan akrab Mus Mujiono.

“Iki mau onok tanggapan nang TVRI (Ini tadi mengisi acara di TVRI),” jawab Cak Mus.

“Ayok wis. Wis isuk iki (Ayo, sekarang sudah pagi),” Nono menimpali seraya menenteng gitar dan mengajak kakaknya menuju gereja untuk latihan.

Di gereja itu, sejumlah musisi Surabaya sudah stand by. Ketika Cak Mus datang mereka kompak bilang,”Lha.. iki lakone teko. (Ini orangnya yang ditunggu datang).”

Cak Mus pun tersenyum. Setelah mengambil kursi lipat, dia lantas meraih mik di atas panggung. Cak Mus memilih menyanyi sambil duduk. Dia minta intro lagu Rek Ayo Rek.

…Mangan tahu ‘jok dicampur nganggo timun//malam minggu gak apik digowo ngelamun.

Cak Mus tak menyanyikan lagu itu secara utuh. Cukup beberapa lirik saja. Berikutnya, meluncur Cari Kawan Lain, disusul Tetes Hujan di Bulan April.

Sama seperti lagu pertama, cengkok Cak Mus terdengar khas. Ketika bernyanyi, tangan Cak Mus tak pernah berhenti melambai-lambai seperti memimpin orkestra.

Setengah jam berlalu. Cak Mus, Nono, dan semua personel band sepakat menyudahi latihan. Mereka merasa harmonisasi yang diinginkan sudah tercapai.

Cak Mus orangnya ramah. Dia juga sering mbayol (melucu). Seperti bayolan yang satu ini. Kata dia, di Surabaya ini ada warung rujak cingur paling enak. Tempatnya di Jalan Peneleh. Pedagang rujak itu tak punya tangan dan kaki.

Setelah melontarkan itu, Cak Mus membisu. Dia kemudian menyambar rokok filter, lalu diisapnya. Sontak, semua yang mendengar penasaran. “Lha kalau nggak punya tangan dan kaki, nguleknya pakai apa, Cak?”

“Ya, nguleknya begini…” Cak Mus memeragakan goyang ngebor ala Inul. Spontan semua yang hadir tertawa.

 

Gantikan Muchsin Alatas

Cak Mus merintis karier bermusik dengan mendirikan grup band Arista Birawa, 1964. “Saya pegang bas. Dulu kami main keliling Jawa Timur. Lagu lagu-lagu Barat dan Indonesia. Saya merangkap sebagai vokalis bersama Sonata Tanjung,” kenangnya.

Baca Juga  Kisah Dua Istana Peninggalan VOC di Surabaya, Salah Satunya Berusia 370 Tahun!

Sonata Tanjung kemudian bergabung dengan grup rock AKA bersama Ucok Harahap, Arthur Kaunang, dan Syech Abidin, 1970.

Bersama Arista Birawa, Cak Mus menelurkan satu album. Diproduksi PT Demita Record, 1965. Cak Mus sempat menjadi pelatih band Irama Puspita. Sebagian personel Irama Puspita kemudian pindah ke Jakarta dan menjelma menjadi Dara Puspita.

Cak Mus lahir di Surabaya, 14 Agustus 1945. Dia bersama tiga rekannya, Zaenal Abidin, Arkan, dan Alm Jerry Suisy, nekat mengadu nasib ke Singapura, 1967.

Nasib orang tak dapat diduga. Setibanya di Singapura, mereka justru jadi pengangguran. “Dua tahun kami mbambung (nganggur).”

Mimpi menjadi penyanyi sukses tak kunjung terwujud. Malah telantar. Beruntung ada orang Melayu yang baik hati. “Kami ditampung sampai bertahun-tahun. Tapi kami kan malu. Sampai pernah satu hari, kami makan kue perata hanya dengan sambal, bukan makan nasi lagi.”

Meski pahit, dia dan rekan-rekannya harus mematri asa. Mencoba bersabar menunggu job dari hotel-hotel di Singapura.

Lama menganggur membuat Cak Mus gundah. Dia lantas berkreasi menciptakan lagu. Muncullah lagu Sedetik Dibelai Kasih, Jumpa dan Bahagia. Hingga terkumpul sepuluh lagu. Cak Mus kemudian menawarkan karya-karyanya kepada Live Recording Jurong, 1969.

Senangnya, Jurong mau menerima. Kesepuluh lagunya direkam. “Saya tampil sendiri. Waktu itu, saya tidak berharap jadi artis. Hanya ingin cari duit buat pulang. Hanya itu saja.”

Setelah rekaman, Cak Mus diminta membuat instrumentalia lagu-lagu keroncong. Tentu saja, kesempatan ini tak disia-siakan. Hasilnya, Cak Mus dapat 2.800 dollar Singapura untuk dua LP (piringan hitam). “Tapi akhirnya dikeluarkan kecil-kecil jadi empat lagu.”

Di cover depan album tersebut dicantumkan nama “Mus”. Itu diambil dari nama ibunya, Muslimah. “Saya sangat menghormati dan mencintai beliau.”

Setelah mengantongi uang, Cak Mus dan tiga rekannya kembali ke Tanah Air. Persis ketika Presiden Soekarno meninggal. Selama dua bulan, aktivitasnya hanya di rumah. Menunggui ibunya.

Rezeki datang tanpa diduga. Cak Mus ditemui perwakilan event organizer (EO). Dia gak ingat nama EO-nya. Singkat cerita, EO itu punya jadwal show di Bali. Artis yang ditampilkan Titik Sandhora dan Muchsin Alatas. Karena Muchsin sakit, Cak Mus diminta menggantikan Muchsin.

“Wah, itu berat. Tetapi, panitianya memaksa. Saya takutnya dilempari orang. Akhirnya, puji Tuhan, orang ternyata senang dengan penampilan saya.”

Tiga bulan kemudian, rekaman yang dilakukan di Singapura beredar di Indonesia. Bak meteor, album Cak Mus itu menggegerkan dunia permusikan di Indonesia. Banyak produser di Indonesia kaget. Kok ada Mus Mulyadi? Siapa dia? Orang-orang lalu ingat, oh Mulyadi yang dulu rekaman dengan Arista Birawa.

Gayung bersambut, perusahaan rekaman Golden Hand mengontraknya dua tahun. Cak Mus rekaman solo di Remaco. Diiringi kelompoknya A Riyanto dari Empat Nada Band, 1971. A Riyanto kemudian mengajaknya bergabung dengan Empat Nada Band. Terbentuklah Favorit Band. Mereka lalu rekaman di Musica. Lahirlah lagu Cari Kawan Lain, Angin Malam, Seuntai Bunga Tanda Cinta, dan Nada Indah.

Album Favorit meledak. Cak Mus lantas dibikinkan lagu Jawa oleh Is Haryanto. Judulnya, Rek Ayo Rek. Semula, Cak Mus ogah-ogahan. Merasa berjiwa muda.

“Saya barusan membawakan lagu Mawar Berduri, masak mesti nyanyi lagu Jawa. Malu saya. Saya terus dipaksa oleh yang mengontrak saya, ya akhirnya saya mau. Ternyata lagu Jawa itu laku. Saya kemudian diminta menyanyikan lagu keroncong.”

Baca Juga  Klenteng Boen Bio Dibongkar, Begini Faktanya!

Cak Mus mengaku hanya tahu lagu keroncong kira-kira 60 persen saja. Ia tidak tahu keroncong yang benar itu bagaimana. Untuk menambah wawasan, dia membaca buku-buku keroncong.

“Musiknya ini seperti almarhum Mas A Riyanto kan enggak tahu keroncong itu bagaimana? Stambul dua itu bagaimana? Langgam itu bagaimana? Akhirnya, waktu show saya nyanyikan lagu Dewi Murni dan enggak karuan. Dewi Murni itu interlude-nya kan kepanjangan, terus saya potong. Sebetulnya lagu keroncong tidak ada break, tetapi Dewi Murni itu saya break.”

Begitu rekaman Dewi Murni keluar, orang-orang keroncong marah-marah. Gegara Cak Mus pakai break. Cak Mus dianggap merusak “pakem”. Sebab, biasanya, penyanyi keroncong menggunakan suara palsu. Sedang Cak Mus menyanyikan keroncong dengan suara beneran. “Saya bilang, saya nyanyi keroncong pop.”

Tak dinyana, keroncong pop ala Cak Mus meledak. Kasetnya laku keras. Bahkan, mereka yang dulu marah-marah mulai meniru. Semua keroncong di-break. Tanpa sadar, Cak Mus mendapat julukan baru: buaya keroncong. Saat show ke luar negeri seperti Belanda atau Amerika, ia dijuluki The King of Keroncong.

 

Modal Improvisasi

Tentang cengkoknya yang sangat khas, Cak Mus mengaku punya kiat tersendiri. “Modal saya cuma berani berimprovisasi. Saya itu punya feeling. Biasanya orang kalau dari fa ke mi atau mi ke fa, itu kan hanya dua tangga nada, saya bisa enam tangga nada. Saya berani memainkan tangga nada.”

Feeling itu, diakui Cak Mus, cukup berhasil setelah ia memainkan lagu Dewi Murni. Belum pas di telinga. Lagu Dewi Murni kala itu, bisa disejajarkan dengan lagu-lagu hits seperti Kota Solo, Dinda Bestari, Telomoyo, dan Jembatan Merah.

Nama Cak Mus terus melambung. Selain rekaman, job manggungnya banyak. Kariernya itu memotivasi adiknya, Mus Mujiono. Nono, begitu ia karib disapa, bingung menentukan pilihan. Padahal, dalam hal musik, Nono cukup maniak. Hampir semua alat musik dikuasai. Mulai dari kibor, drum, gitar, dan saksofon. Sejak kelas enam SD, Nono sudah menekuni gitar.

“Kalau melihat kakak saya saat itu, wah saya pasti lewat. Tidak ada apa-apanya. Mau nyanyi keroncong sudah ada dia. Mau ke pop juga ada dia. Wis pokoke kalah,” cerita Nono, saat manggung di Surabaya.

Nono pun mencari celah. Dia menyeriusi bermain gitar. Selain membaca buku, dia juga ikut kursus. Sayang, Nono tak mendapatkan banyak dari kursus gitar. “Ya belajar gitu-gitu aja. Main kripnya ya seperti yang ada di buku-buku yang dijual. Kalau begitu saya pilih membeli buku, lalu saya pelajari sendiri.”

Suatu ketika, Nono menunjukkan kemampuan bermain gitar di depan Mus Mulyadi. Cak Mus pun heran. “Koen kok ujuk-ujuk isok gitaran, teko endi sinaune (Kamu tiba-tiba kok bisa main gitar dari mana belajar),” sentil Cak Mus.

Nono hanya cengangas-cengenges. Di usia 18 tahun, Nono rekaman dengan The Hands. Lagu hits-nya Hallo Sayang. Bersama The Hands, popularitas Nono sedikit terdongkrak. Tapi, tak lama kemudian, kelompok itu bubar. Nono lalu bersolo karier.

Meski sudah dikenal, Nono merasa tidak ada kemajuan. Menurut dia, masyarakat berasumsi dia cuma nebeng nama besar Mus Mulyadi. Nono pun bertekad menghapus citra itu. Prinsipnya, dia harus beda dengan sang kakak.

Baca Juga  Madrasah Mufidah, Jejak Sejarah KH Mas Mansur di Surabaya

Nano memilih musik jazz. Meski ia menyadari tidak mudah. Baginya, selain musik klasik, jazz itu merupakan titik ‘ujungnya’ musik. “Kalau lukisan, ya, abstraklah.”

Pendapat Nono tersebut bisa jadi benar. Karena banyak kalangan sulit memahami musik jazz. Entah karena itu, Jaya Suprana (bos Jamu Jago) pernah berkomentar bahwa jazz itu musik keliru tapi nikmat.

 

Pindah Jakarta

“Kalau boleh memilih, rasanya saya kepingin kembali ke Surabaya. Tapi karena urusan pekerjaan, itu rasanya tidak mungkin,” ucap Cak Mus saat saya ajak ngobrol, suatu sore.

Cak Mus selalu kangen Surabaya. Makanya, dia selalu senang bila ada tawaran manggung di Surabaya. Surabaya, bagi Cak Mus, adalah kota paling nostalgik. Seperti lagu Rek Ayo Rek yang hits era 70-an. Setiap menyanyikannya, Cak Mus acap teringat masa lalu. Saat bekerja menjadi pelayan toko di Jalan Tunjungan, 1967-1970.

Kala itu, Cak Mus sangat menikmati hidupnya. Pagi kerja, pulang sore, lalu malam jalan-jalan. Kebetulan, rumah Cak Mus tak jauh dari Jalan Tunjungan, yakni di Kedung Anyar V/37, Surabaya. “Kalau jalan kira-kira 200 meter saja.”

Kata Cak Mus, Jalan Tunjungan saat itu ramai dan padat. Tapi jangan salah, ramainya bukan karena macet. Banyak orang ingin melepas kepenatan, bersantai, sekaligus berelaksasi bersama keluarga. Dalam lagu Rek Ayo Rek disebut ngumba moto (cuci mata).

Kata Cak Mus, banyak toko di Tunjungan yang melegenda. Seperti Sarinah, Toko Nam, Siola, dan Metro. Toko-toko itu punya karakteristik bangunan yang artistik. Kalau dipandang bikin mata nggak sepet (sumpek).

“Lek mlaku-mlaku nang Tunjungan ndisik paling sip. Dalane resik, toko-tokonya yo apik (kalau jalan-jalan di Tunjungan dulu paling asyik. Jalannya bersih, toko-tokonya juga bagus).”

Tiap malam minggu, Cak Mus bersama anak-anak Kampung Kedung Anyar kerap ngamen di Tunjungan. Bareng teman-teman sekampungnya. Cak Mus juga memelopori pembentukan orkes melayu. Setiap bulan puasa, orkes melayu itu berubah jadi orkes patrol. Ikut membangunkan warga kampung untuk makan sahur.

Awal keluarganya masih tinggal di Surabaya, Cak bisa mengatur hidup, bekerja di Jakarta dan tinggal di Surabaya. Cak Mus berada di Jakarta untuk memenuhi jadwal main dan rekaman grup band Favorit. Di Surabaya, Cak Mus tinggal di Jalan Ngagel Madya 71.

Tahun 1982, Cak Mus bersama istrinya, Helen Sparingga, dan dua anaknya, Irene Patricia Melati dan Erick Rinanda Hariado, berlibur ke Jakarta. Di sana, mereka menginap di hotel kawasan Menteng. Selama di Jakarta, Cak Mus mengajak keluarganya mengunjungi Dufan, Ancol, Taman Mini, Kebun Binatang Rangunan, dan lainnya.

Beberapa hari di Jakarta membuat anak-anak Cak Mus “terlena”. Mereka merasa betah tinggal di Jakarta. Hingga mereka emoh diajak pulang ke Surabaya.

Cak Mus pun pusing. Karena keluarganya mesti menginap di hotel. Biayanya mahal. “Jaman sak mono, yo duwik belonjo isok entek gae nginep nang hotel thok (zaman itu, uang belanja bisa habis buat menginap di hotel saja).”

Cak Mus lalu mengontrak rumah di kawasan Melati Bakti. Beberapa tahun kemudian, dia membeli rumah di Alfa Indah, Jakarta Selatan. Kemudian pindah ke Dharmais, Jakarta Barat hingga dia tutup usia. (*)

 

Ditulis Oleh : Agus wahyudi, Pemimpin Redaksi. begandring.com

Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x