Cerita Tersembunyi di Balik ANIEM Embong Wungu

Surabaya banyak dibanjiri bangunan kolonial yang bersejarah. Salah satunya bangunan Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) Embong Woengoe, atau karib disebut ANIEM Embong Wungu. Berikut catatan Khusnul Avifah, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.  

 

Surabaya merupakan Kota Pahlawan, hal tersebut tentunya sudah tidak asing lagi. Jiwa semangat arek Surabaya yang menggelora dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia sebagai ciri khas kota ini.

Surabaya juga dikenal dengan adanya bangunan-bangunan tua yang bercorak kolonial, menghiasi di setiap sudut Kota Surabaya di masa kini. Oleh karena itu, Surabaya dapat dijuluki salah satu kota yang melahirkan warisan budaya, baik budaya asli Surabaya ataupun asimilasi budaya luar.

Setiap sudut yang memiliki ciri khas kota yang berbeda-beda. Sebelah barat Kalimas ada kawasan Eropa. Di seberang timur Kalimas ada kawasan orang-orang Tionghoa. atau Chinesche Champ, sudut kota yang dihuni oleh orang-orang China.

Kedua kawasan kota tua tersebut dihubungkan oleh Jembatan Merah di daerah tersebut merupakan salah satu wilayah pusat perniagaaan di bantaran Kalimas.

Maka tidak bisa dipungkiri jika didekat sungai banyak sekali gudang-gudang penyimpanan komoditi dan bangunan menara syahbandar untuk memantau aktivitas perniagaan serta digunakan untuk pembayaran bea cukai. Di sebelah utara hingga pesisir terdapat kampung Arab.

Adanya kolonialisasi di Surabaya menjadikan adanya bangungan-bangunan kolonial yang di bangun oleh orang-orang Belanda pada saat menduduki Surabaya, sehingga melahirkan melahirkan beberapa Cagar Budaya.

Menurut UU Nomor 11 Tahun 2010, Cagar Budaya bermakna sebagai warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan melalui proses penetapan.

Salah satu contoh bangunan cagar budaya di Surabaya adalah Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) Embong Woengoe atau Aniem Embong Wungu. Menyimpan cerita tentang bidang kelistrikan yang ada di Surabaya yang menandakan bahwa semakin canggih dan modern sehingga sudut-sudut kota dapat terlihat kecantikannya di malam hari.

Bangunan cagar budaya ini tentunya memiliki nilai dan perang penting dalam bidang sejarah ataupun arkeologi di masa lalu untuk pemajuan bidang akademik dan pemanfaatan di masa kini dan masa depan. Menyimpan berbagai kisah yang patut diketahui oleh para generasi muda agar tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri.

Selain itu, kita akan mengetahui jenis-jenis bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya ataupun yang masih menjadi Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) mulai dari segi arsitektur, tokoh arsiteknya dan kisah sejarahnya.

Baca Juga  Penyerahan Naskah Ensiklopedia Kearifan Lokal Surabaya

Banyak sekali bangunan-bangunan di masa lalu ada bentuk dan wujudnya yang kita ketahui dengan adanya bukti arsip namun di masa kini sudah tidak bisa kita jumpai wujud aslinya.

Bangunan cagar budaya ANIEM Embong Wungu ini hingga saat ini masih berdiri tentunya membutuhkan peran generasi muda untuk memanfaatkannya dan melestarikannya.

Dalam bidang pelestarian bangungan cagar budaya tentunya muncul sebuah urgentcy, dimana dalam pemugaran tidak bisa disamakan dengan bangunan biasa.

UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya akan menjadi pedoman dalam hal pemugaran dan pemanfaatan bangunan cagar budaya. Cagar budaya memiliki sifat rapuh, tidak terperbarui, terbatas sehingga sangat perlu dilestarikan.

Cerita Tersembunyi di Balik ANIEM Embong Wungu
Listrik Masa Kolonial

Surabaya sebelum abad XIX orang-orang pribumi yang menjadi budak orang Eropa dijadikan sebagai penerang jalan orang-orang Eropa untuk pergi ke pesta atau societeit, dengan cara membawa alat penerang atau lampu untuk menunjukkan jalan lalu diikuti oleh para majikannya (orang Eropa).

Pada tahun 1864 tepat pada 1 Maret, sudah ada penerang jalan meski pun sangat sederhana karena belum menggunakan listrik melainkan menggunakan lampu minyak. Hanya bertahan tiga tahun, lalu Surabaya kembali menjadi gelap gulita di malam hari dikarenakan pemerinta mengalami pembengkakan dalam pembayaran penerangan tersebut.

Seiring berjalannya waktu mengalami sebuah perkembangan yang lebih modern dimana lampu minya menjadi lentera gas. Ditambah dengan adanya persiapan pembangunan pabrik gas di Gembong sejak tahun 1877 hingga 1880 yang akan menjadikan Kota Surabaya memiliki penerangan di malam hari.

Pabrik gas ini kelola oleh perusahaan Nederlandsche Indische Gas Maatschappij (NIGM) yang berdiri pada tanggal 10 Desember 1863 di Rotterdam. Di tahun 1923 penerangan Kota Surabaya sudah tidak menggunakan lentera lagi melainkan dari Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) yang memiliki berbagai cabang di setiap daerah.

Sekitar tahun 1930 sebuah propaganda dilakukan oleh ANIEM agar masyrakat tidak menggunakan lentera gas melainkan mengunakan listrik, yang bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan penerangan listrik lebih baik dari menggunakan pada penerangan lentera gas.

Agar yang menggunkan listrik lebih banyak, mulai tahun 1938 ANIEM membebntuk Biro Penasehat yang mempunyai tugas memberi informasi tentang penggunaan tenaga listrik kepada masyarakat.

Dengan sistematika pembayaran tiap minggu yang sangat praktis juga menyebabkan para masyarakat tertarik untuk menggunakan listrik di rumahnya. Pelanggan listrik terus mengalami kenaikan terutama pada tahun 1940, ANIEM Surabaya beranggotakan 37.034 menjadi 41.532 pelanggan.

Baca Juga  65.946 Pelajar Surabaya Pecahkan Rekor Muri Tari Remo Massal

Cerita Tersembunyi di Balik ANIEM Embong Wungu

Markas Panglima AL

Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) Embong Woengoe dibangun pada tahun 1928 oleh B. Nobile de Vistarini seorang arsitek berkebangsaan Austria.

Dari segi gaya bangunan agak berbeda dengan bangunan-bangunan khas Indhische yang memiliki pilar-pilar besar berbentuk bulat. Dinding bagian dalam terdapat hiasan keramik sehingga terlihat mewah dan unik. Dari awal dibangunnya bangunan ini memang digunakan untuk keperluan listrik di Surabaya pada masanya.

Di tahun 1942 tepat pada Februari hingga awal Maret, bangunan ANIEM digunakan untuk markas sementara Panglima Angkatan Laut Surabaya. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya bahaya serangan bom Jepang yang terus-menerus di ME.

Di dalam bangunan ANIEM tepat pada sore hari, pada 26 Februari 1942 di bawah Komando Komandan Skuadron pasukan serangan gabungan Laksamana Muda K. W. F. M. Doorman, sebuah pertemuan terakhir dengan Angkatan Bersenjata Gabungan komandan kapal Belanda, Inggris, Australia dan Amerika yang terlibat dalam, sebelum skuadron tempur sekutu berlayar di malam itu juga mencoba untuk menghalangi armada pendaratan Jepang di Jawa Timur.

Namun, upaya tersebut berakhir pada hari berikutnya ditandai dengan hancurnya Pasukan Pemogokan Gabungan pada saat Pertempuran Laut Jawa. Pasca nasionalisasi pada bulan September 1954 mengadakan rapat dalam rangka pembentukan dewan pimpinan perusahaan listr ik sebagai pengganti ANIEM.

Dalam pembentukan dewan tersebut pada 7 Oktober 1954 Kepala Direktorat Tenaga mengeluarkan Surat Keputusan pembentukan Dewan Pemimpin Perusahaan Listrik Negara yang mengelola perusahaan yang dikelola ANIEM di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

ANIEM Embong Wungu Surabaya yang menjadi kantor pusatnya Perusahaan Litrik Negara. Akan tetapi tidak ada persetuan dengan pihak ANIEM, sehingga negara Indonesia harus membayar ganti rugi ke pada pihak ANIEM.

Secara resminya ANIEM dikelola oleh Bangsa Indonesia pada 1 November 1954 hingga sekarang yang di kelola oleh Perusahaan Listrik Negara Jawa Timur.

ANIEM Embong Woengoe sudah menjadi bangunan Cagar Budaya dengan SK Wali Kota Surabaya, dengan No. 188.45/523/436.1.2/2013 pada tanggal 18 Desember 2013.

Berdasarkan SK Bangunan Cagar Budaya ini hanya berkelas Kota Surabaya, meskipun belum berskala Nasional semua masyarakat berperan dalam melestarikan bangunan cagar budaya ini.

Kesimpulan

Bangunan Cagar Budaya Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) Embong Woengoe yang sudah berusia 94 Tahun di masa kini tentunya sangat memiliki peran dan nilai penting seperti yang ada di bagian bab pembahasan. Usia minimal kategori Cagar Budaya adalah 50 tahun. Namun, dalam penetapan tentunya terdapat penelitian yang sangat mendalam untuk mendapatkan kategori Cagar Budaya.

Baca Juga  Guntur dan Sukmawati Soekarno Tentang Fatmawati Dalam Film Dokumenter Fatmawati

Bangunan ANIEM mulai dari di bangun, lalu berfungsi sebagai pemasok listrik agar Kota Surabaya memiliki penerangan di malam hari, hingga suatu masa bangunan bersejarah ini digunakan untuk pertemuan Angkatan Bersenjata Gabungan sebelum terjadi pertempuran Laut Jawa, hingga kembali lagi fungsi seperti tujuan awal dibangunnya hingga sekarang. Maka sudah patut mendapatkan kategori Cagar Budaya meskipun hanya skala Kota Surabaya.

Semua jenis Cagar Budaya baik itu benda (Tangible) dan non benda (Intangble), dan Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) juga membutuhkan pelestarian dalam segi pemanfaatan, pelindungan dan pengembangan.

ANIEM Embong Woengoe jika dimanfaatkan sebagai pariwisata tentunya akan mengganggu keseharian para pegawai kantor, di mana hingga saat ini masih berfungsi sebagai kantor PLN. Mungkin bisa dikunjungi pada saat weekend atau hari non aktifnya para pegawai kantor.

Sehingga yang datang ke bangunan ini tidak hanya berasal dari kalangan akademik yang sedang meneliti tentang sejarah melainkan dimanfaatkan untuk pariwisata dalam hal edukasi ke masyarakat umum.

Selain itu, bisa juga memanfaatkan sebagai salah satu destinasi kunjungan ke berbagai tempat Cagar Budaya di Surabaya. Mengadakan kegiatan pameran di tempat umum menarasikan dan menggambarkan keadaan Kota Tua Surabaya juga sangat penting di masa kini, seperti halnya yang sudah dilakukan di Basement Balai Pemuda.

Mengemas pameran kuna yang menarik para generasi muda agar tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri. Memberi plakat atau keterangan singkat yang sesuai dengan sejarah bangunan tersebut sehingga orang awam bisa mendapatkan informasi yang benar. Tidak hanya untuk bangunan ANIEM Embong Woengoe saja melainkan semua plakat Bangunan Cagara Budaya di Surabaya membutuhkan sebuah narasi singkat yang baik dan benar. (*)

 

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin Kasdi, H. R. (2009). Profil Cagar Budaya Surabaya 2009. Surabaya: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya.
Basundoro, P. (2007). Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan . Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Faber, G. V. (n.d.). Oud Soerabaia (Bahasa Indonesia). Surabaya: Yayasan Medayu Agung Surabaya.
Gozali, A. (2019). Perkembangan Kelistrikan di Surabaya Tahun 1961-1983 (SKRIPSI ed.).
Maior, A. (2004). Soerabaja 1900-1950 Havens, Marine, Stadsbeeld Port, Navy, Townscape. Zierikzee: Uitgeverij Asia Miror.
Timur, B. J. (n.d.). Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tentang Cagar Budaya.
Widodo, D. I. (2013). Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe.

 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *