Penulis: M. Firman*
Dikarenakan memiliki ilmu tari yang mumpuni inilah, selaku arkeolog beliau pernah melakukan penelitian pada adegan-adegan tari yang ada di Candi Prambanan, Borobudur dan beberapa candi lain. Beliau boleh disebut sebagai salah satu pionir dalam penelitian sejarah seni pertunjukan di tanah air.
Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) adalah sebuah festival budaya tahunan yang mempertemukan banyak penggiat sastra dan kebudayaan dalam sebuah rangkaian sesi acara dalam beberapa hari. BWCF sekaligus memberikan penyadaran kembali pada masyarakat keunikan dan kekayaan pemikiran masyarakat Nusantara di bidang budaya, religi, kesenian dan sastra. Diadakan setahun sekali sejak 2012, setiap tahun BWCF menghadirkan tema-tema bahasan yang berbeda.
Pada BWCF yang digelar pada 23-27 November 2023 di Universitas Negeri Malang, kota Malang kali ini, saya sempatkan hadir untuk mengikuti kegiatan-kegiatannya, berkenalan dengan para ahli di bidang kesejarahan, bersilaturahmi dengan para penggiat sejarah dari berbagai komunitas sejarah dan tentunya mendapatkan tambahan informasi sejarah Nusantara yang mungkin belum pernah saya dapatkan sebelumnya.
Poster Kegiatan BWCF 2023 yang diadakan di Malang. Sumber: BWCF
Mengenang Pemikiran Edi Sedyawati
Pada tahun 2023 ini, BWCF menghadirkan tema “Ganesya, Seni Pertunjukan dan Repatriasi Benda-benda Purbakala Indonesia”. Tema dari Borobudur Writers and Cultural Festival kali ini mengangkat pemikiran dari seorang arkeolog senior Prof. DR. Edi Sedyawati (1938-2022). Semasa hidupnya, almarhumah Edi Sedyawati merupakan seorang arkeolog dengan pengabdian luar biasa, bahkan sempat menjabat Dirjen Kebudayaan di Kemendikbud pada periode 1993-1998.
Edi Sedyawati memiliki perhatian dalam penelitian keberadaan arca-arca Ganesha, terutama di di era Kadiri dan Sinhasari (Tumapel).
Walaupun penelitian beliau masih belum sepenuhnya selesai dan diteruskan oleh peneliti-peneliti muda saat ini, beliau membuka fakta bahwa sosok Ganesya merupakan satu ikon penting dalam ritual keagamaan di masa Klasik Nusantara, terutama di Jawa.
Minat penelitian almarhumah Edi Sedyawati, juga tertuju pada narasi keagamaan di era Klasik, dimana hingga saat ini masih ada menjadi isu, yaitu sinkretisme Hindu (Siwa) – Buddha. Beliau bahkan memberi kata pengantar untuk buku Civa dan Buddha (Djambatan, 1982) yang ditulis arkeolog Belanda, J.H.C Kern dan W.H Rasser. Dalam kata pengantar di buku tersebut, Edi Sedyawati memetakan kalangan arkeolog dan sejarawan yang masih belum memiliki kesamaan sikap terkait keberadaan Siwa – Buddha sebagai sebuah aliran keagamaan, dan bahkan meyangsikan apakah benar terjadi sikretisme antara Siwa dan Buddha.
Pembacaan pengantar pemikiran Almarhumah Edi Sedyawati oleh DR. Supratikno Rahardjo dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Sumber : M. Firman
Almarhumah Edi Sedyawati juga menggeluti dunia tari. Beliau adalah salah satu dari beberapa penari yang terlibat dalam Misi Kebudayaan Indonesia yang dikirim Presiden Soekarno di dekade 1950-an. Dikarenakan memiliki ilmu tari yang mumpuni inilah, selaku arkeolog, beliau pernah melakukan penelitian pada adegan-adegan tari yang ada di Candi Prambanan, Borobudur dan beberapa candi lain. Beliau boleh disebut salah satu pionir dalam penelitian sejarah seni pertunjukan di tanah air.
Pada BWCF 2023 ini, Prof. DR. Edi Sedyawati mendapatkan Sang Hyang Kamahayanikan Award secara anumerta, sebagai penghargaan atas pemikiran dan pengabdian beliau di bidang arkeologi dan sejarah Nusantara. Pemilihan kota Malang sebagai tuan rumah BWCF 2023 juga merupakan sebuah tribute untuk almarhumah Edi Sedyawati. Beliau lahir di Malang (1938) dan fokus penelitian beliau adalah arca-arca Ganesya yang dtemukan di Malang, Singosari dan Kediri.
Peluncuran empat buku
Selesai pemberian penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan pada Edi Sedyawati, acara pembukaan BWCF 2023 dilanjutkan dengan pementasan gamelan masyarakat asli Gunung Bromo dari sanggar tari SMB Jawa Sanyata, Desa Ngadas, Tengger.
Sesi peluncuran 4 buku. Sumber : M. Firman
Malam itu juga ada sesi peluncuran empat buku yang berkaitan dengan dunia kebudayaan dan kesejarahan Nusantara. Si Pamutung (Repelita Wahyu Oetomo) mengangkat situs Padang Lawas di Sumatera Utara, sedangkan mantan direktur IFI Yogyakarta, Jean Pascal Elbaz, menulis buku tentang Louis Damais berjudul Surat Menyurat Louis Charles Damais dan Claire Holt 1945-1947. Dua buku lain adalah The Soul of Borobudur karya Hendrick Tanuwidjaja dan sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan ilmiah dari para pemateri BWCF bertajuk Ganesya, Seni Pertunjukan dan Pelestarian Warisan Budaya. (bersambung)
*M. Firman. Pemerhati sejarah dan budaya.