Gaya Arsitektur Tiga Zaman di Peneleh

Peneleh adalah kawasan yang mudah dikenali. Letaknya berkalang sungai. Di selatan dan barat dibatasi oleh sungai Kalimas. Di Timur dibatasi oleh Kali Pegirian dan di utara ada jalan Jagalan yang dulunya adalah kanal atau sungai yang menghubungkan Kalimas di Barat dan Kali Pegirian di Timur (GH Von Faber: Er Werd Een Stad Geboren).

Secara alami lingkungan Peneleh berada di Delta sungai, yaitu percabangan sungai Kalimas dengan Kali Pegirian. Sebagaimana delta-delta lainnya atau di tepian sungai, tempat tempat itu menjadi mula peradaban. Pun demikian dengan Peneleh.

Fakta arkeologis sudah menunjukkan bahwa di kelurahan Peneleh, tepatnya di kampung Pandean I ditemukan benda arkeologi berupa sumur Jobong yang sudah ada pada 1430 (hasil uji karbon oleh National University of Australia 2019).

Bahwa pada tahun itu, 1430 atau bahkan jauh sebelum itu, Peneleh sudah menjadi tempat permukiman. GH Von Faber dalam buku Er Werd Een Stad Geboren (1953) menuliskan bahwa Peneleh sudah dihuni sejak 1270 M. Kala itu bernama Glagah Arum.

Berdasarkan peta peta lama Surabaya mulai 1700 hingga 1900 dapat dilihat bahwa di lingkungan Peneleh yang dibatasi oleh Kalimas dan Kali Pegirian sudah penuh dan padat oleh permukiman. Sementara kawasan di luar batas sungai itu masih berupa hamparan sawah, perkebunan dan lahan kosong.

Bahkan di Peneleh, di kampung Pandean, ditemukan struktur perumahan yang ditata oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1930-an. Yaitu, ditemukan pipa pipa saluran yang terbuat dari terakota dan ponten ponten umum sebagai bagian dari tata sanitasi lingkungan. Peneleh adalah lingkungan yang lebih modern dalam progres peradaban.

Baca Juga  Pengibaran Merah Putih di Markas Polisi Istimewa yang Menegangkan

Sebagai kawasan permukiman awal di Kota Surabaya, Peneleh dihuni oleh orang orang penting yang turut menata kota mulai dari era klasik hingga ke era yang lebih modern.

Dari era klasik, dapat dibuktikan dengan Sumur Jobong (1430), kemudian makam makam kuno yang tersebar di kawasan ini. Mereka adalah orang orang bangsawan yang dapat dibuktikan dengan makam-makam para Raden Ayu (perempuan) dan Raden Kanjeng (laki laki) serta kubur kubur panjang. Ditambah rumah rumah yang bergaya royal.

Gaya Arsitektur Tiga Zaman di Peneleh
Atap pelana kuda dengan piron di puncak gawel adalah bagian dari arsitektur khas abad 18. foto: begandring

 

Mewakili Setiap Masa

Perkembangan di lingkungan Peneleh berjalan mengikuti zaman. Dari sudut arsitektur bangunan, utamanya rumah rumah, mereka sudah bercorak mewakili setiap masa. Ada rumah bergaya abad 18, 19 dan tentu saja abad 20, yang lebih modern dalam peradaban.

Rumah dengan gaya arsitektur abad 18 diwakili dengan model rumah beratap pelana, runcing ke atas dengan piron (mahkota) pada kiri kanan gavel. Facade tampak simetris dengan satu pintu di tengah dan dua jendela mengapit pintu. Arsitekturnya sederhana.

Kemudian juga terdapat rumah dengan bagian teras ditopang oleh kolom kolom silinder dengan bentuk facade yang simetris: satu pintu di tengah dengan dua jendela mengapit satu pintu. Atap bangunan model pelana tapi tidak tinggi meruncing dan tanpa piron. Model ini adalah langgam dari abad 19 yang mulai diperkenalkan oleh Gubernur Jendral Daendels yang menjabat dari 1808-1811.

Sementara langgam terbaru di masa Pemerintahan Hindia Belanda adalah langgam moderen dari abad 20. Secara arsitektural bentuknya berlanggam garis garis horizontal dan vertikal. Bangunan model ini seperti terlihat pada rumah di Peneleh VII

Keberadaan rumah rumah dengan tiga langgam arsitektur tentu dibangun oleh orang orang berada. Menurut penulis Belanda Emile Leushuis, mereka ini membangun mengikuti trend yang ada. Yaitu meniru arsitektur rumah dan bangunan yang ada di wilayah kota Surabaya (Stad van Soerabaia), yaitu kota Eropa yang berkalang tembok (walled town).

Gaya Arsitektur Tiga Zaman di Peneleh
Rumah khas pribumi yang bumi dipengaruhi gaya kolonial. foto: begandring

 

Baca Juga  Disahkan, TACB Surabaya Jangan Kerja Itu-Itu Saja

Haji Koesen

Hanya orang orang yang berduit yang bisa membangun rumah rumah dengan konstruksi batu bata dan bergaya Indiesch kala itu. Ternyata rumah rumah Indiesch banyak terdapat di wilayah Peneleh. Salah satu orang kaya raya itu adalah Haji Koesen. Ia bertempat tinggal di Lawang Seketeng (Gang V).

Nama Haji Koesen tersebut dalam akte notaris tahun 1898 dan 1901. Dua akte notaris itu hanya sebagian kecil atas bukti kepemilikan tanah dan bangunan di wilayah kelurahan Peneleh sekarang. Menurut ahli waris, Syaifuddin dan Deddy Nizar, kakeknya memiliki banyak aset di wilayah Peneleh.

Kala itu, di eranya, aset aset itu selain untuk anak anaknya sendiri, juga ada yang disewakan.

“Untuk anak anaknya, rumah rumahnya di-design khusus, utamanya pada tegel tegelnya. Tegelnya memiliki corak yang sama,” tutur Denny Nizar yang sekarang menjadi seorang pengusaha di Jakarta.

Selain untuk anak anaknya, aset aset itu disewakan dengan jangka waktu seumur hidup. Sebagian besar aset aset itu diwakafkan ke Masjid Peneleh.

Ada juga yang masih ditempati oleh keturunannya, yakni, Syaifuddin yang tinggal di Lawang Seketeng V.

Gaya Arsitektur Tiga Zaman di Peneleh
Rumah gaya abad 19. foto: begandring

“Kakek saya ini orang kaya raya. Aset rumahnya banyak sekali di Peneleh. Ia asalnya dari Kampung Ampel, kemudian tinggal di Peneleh. Ketika meninggal, dimakamkan di kompleks makam Ampel. Ia pengikut Sunan Ampel,” terang Syaifuddin.

Di sebelah rumah Syaifuddin terdapat sebuah langgar wakaf, di mana di belakang langgar terdapat makam tua.

“Sekarang langgar wakaf ini telah dibuat TPA sehingga mengalami perubahan fisik langgar. Ketika ada pembangunan lagi di bagian belakang, yang akhirnya menutup akses ke makam tua, saya tidak setuju,” jelas Syaifuddin menyikapi pengelola TPA dengan pembangunan bagian belakang TPA.

Baca Juga  Perlu Prasasti Tembok Kota untuk Menunjang Kampung Eropa

Saat ini, pemerintah Kelurahan Peneleh sebagai perpanjangan tangan pemerintah kota Surabaya tengah melakukan upaya pengembangan Peneleh yang berbasis sejarah. Makam makam tua adalah bagian sejarah penting dari Peneleh. Karenanya akses menuju makam di balik langgar wakaf itu harus terbuka.

“Langgar wakaf diperuntukkan bagi publik dan gak boleh menjadi eksklusif,” tegas Syaifuddin yang ditemui di kediamannya.

Serangkaian rapat rapat untuk Pengembangan Peneleh sudah digelar oleh Pemerintah Kota Surabaya baik di tingkat kota maupun tingkat kelurahan. Untuk tingkat kota melibatkan semua stakeholder terkait. Sedangkan di tingkat kelurahan melibatkan ketua RT, ketua RW, LPMK dan warga serta komunitas.

Pengembangan ini menarik perhatian pihak swasta untuk bersama sama mengelola. Adalah pihak Bank Indonesia yang beberapa hari lalu melakukan assessment sebagai langkah awal menuju pengembangan Peneleh secara kolaboratif.

Pengembangan kolaboratif ini melibatkan pemerintah, pihak swasta, komunitas, akademisi dan media. (nanang purwono)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *