Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Hal itu dilakukan dengan cepat sekali. Bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu proklamasi kemerdekaan tercepat sepanjang sejarah. Namun, setelah itu dibacakan, Indonesia sudah dihadapkan dengan berbagai masalah. Salah satunya terkait politik luar negeri.
Indonesia di satu sisi harus memiliki kedaulatan yang diakui oleh negara lain. Juga kekuatan yang saat itu berkuasa, yakni sekutu. Di mana di dalamnya ada Belanda yang akan kembali ke Indonesia.
Dalam kondisi itu, bagaimana hubungan luar negeri Indonesia bermula? Lantas, seberapa krusial pembangunan konsep politik luar negeri Indonesia saat itu?
Sebelumnya, kita harus pahami pengertian terhadap kondisi politik luar negeri internasional di awal pembentukan Republik Indonesia. Pasca Perang Dunia II, sekutu keluar menjadi pemenang perang.
Fakta itu membuat para pemimpin Indonesia harus segera membentuk pemerintahan. Pasalnya, kalau sekutu menang, maka pemerintahan kependudukan Jepang akan didarati oleh sekutu.
Sekutu setiap saat dapat menguasai negara-negara yang dulu dikuasai oleh negara Axis, termasuk Jepang. Salah satu yang akan berkuasa kembali adalah Belanda.
Belanda ketika itu membuat narasi bahwa Indonesia adalah negara boneka Jepang. Keadaan tersebut membuat Indonesia harus segera mengambil alih kekuasaan serta membentuk pemerintahan secepat mungkin.
Selain itu, agar ia dapat menjalankan fungsinya sebagai negara, Republik Indonesia juga harus mendapatkan pengakuan kedaulatan, di mana ini merupakan salah satu tujuan politik Republik Indonesia, yakni mendapat pengakuan internasional.
Selain kedua faktor di atas, stablitas politik dalam negeri belum sebelumnya pulih sehingga dengan Indonesia mengintegrasikan dirinya dengan politik luar negeri, maka ini dapat menyatukan bangsa Indonesia (Leifer 1983).
Karenanya, dengan memperhatikan segala keadaan, dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia langsung membentuk kementerian, salah satunya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI), di mana kementrian ini adalah kementerian yang baru atau belum pernah dibentuk oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya (Muttaqien 2014).
Kemenlu RI waktu itu dikepalai Mr. Achmad Soebardjo, membawahi enam staf kementrian. Meski begitu, belum ada struktur yang jelas di dalamnya, bahkan mereka belum berkantor, sehingga rumah Achmad Soebardjo sebagai kepala kementerian sempat menjadi kantor kemenlu pertama.
Karena ini adalah kementerian baru dan belum ada cetak biru dari pemerintah sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia memiliki ide untuk membagi enam staf menjadi beberapa departemen.
Masing-masing departemen memiliki tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya masing-masing, di antaranya adalah politik, hubungan masyarakat, administrasi, serta perhubungan. Yang terakhir menjadi biro yang berperan penting dalam pembangunan politik luar negeri.
Karena situasi saat itu Indonesia sedang berperang demi kemerdekaannya, tugas dari kementerian luar negeri, yang saat itu juga tujuan Indonesia juga, adalah mempertahankan kemerdekaan serta mendapatkan pengakuan kedaulatan.
Hal ini diwujudkan dengan berbagai usaha, seperti mengirim utusan ke negara-negara yang masyarakat dan iklim politiknya bersahabat. Kemudian dilanjutkan dengan membangun Indonesian Office di negara-negara seperti Mesir, Suriah, Saudi Arabia, Afghanistan, India, dan Australia serta perwakilan di Singapura (Muttaqien 2014).
Selain mengirim utusan, Indonesia juga membangun hubungan luar negeri dengan mengirim bantuan. India adalah salah satu di antaranya, di mana selama dan pasca Perang Dunia II, wilayah yang saat itu di bawah Inggris mengalami krisis pangan.
Selain itu, partisi India dengan Pakistan membuat India yang saat itu mengalami kelaparan juga harus mengurus pengungsi dari wilayah Pakistan, di mana bahan pangan semakin tidak memadai.
Oleh karenanya, Indonesia, yang saat itu juga mencari jalan untuk menembus blokade Belanda, berjanji untuk mengirim 500.000 ton beras ke India. Penyaluran bantuan tersebut juga dibantu oleh TD Kundan, perwakilan India di Indonesia pada 19 Mei 1946.
Sebagai balasan, India mengirimkan bahan pakaian dan obat-obatan serta dukungan kemerdekaan Indonesia. Bisa dikatakan, praktik yang dikenal sebagai “diplomasi beras” ini dinilai sebagai praktik diplomasi paling sukses dalam perang kemerdekaan (Arifudin 2016; Ilham 2021 ).
Berbicara soal blokade laut, dalam menjaga keberlangsungan hidup negaranya, Indonesia juga menempuh jalan “ilegal”, yakni menembus blokade Belanda dengan memperdagangkan Sumber Daya Alam yang dibawa dengan kapal cepat maupun pesawat secara sembunyi-sembunyi.
Sebagai gantinya, Indonesia mendapatkan senjata. Lewat metode ini, Indonesia mendapatkan persenjataan dan perlengkapan yang kualitasnya hampir sama dengan Sekutu serta dapat melaksanakan perdagangan internasional.
Semua ini tidak dapat dilepaskan dari peran Indonesian Office yang tersebar di negara-negara tersebut. Ironisnya, pemerintah Indonesia saat itu juga mengusahakan perundingan dengan Belanda, di mana Indonesia juga sudah melakukan banyak perundingan sebelum-sebelumnya. Salah satunya Perjanjian Renvile yang sangat merugikan Indonesia serta Kaliurang yang buntu (Mukthi 2010; Leifer 1983).
Memang, keduanya sangat berlawanan. Namun usaha ini adalah untuk kepentingan bangsa Indonesia untuk merdeka, yakni kombinasi antara jalan perundingan maupun senjata.
Sikap di atas melahirkan suatu pemikiran bahwa bangsa Indonesia harus berdaulat dalam sikap dan tindakan politik. Khususnya dalam masalah politik luar negerinya.
Sikap ini menjadi krusial ketika Indonesia kedatangan perwakilan Indonesia dari Uni Soviet pada tahun 1948, yang saat itu menginformasikan bahwa Indonesia dan Uni Soviet akan membuat kesepakatan diplomatik dalam waktu dekat.
Salah satu kesepakatannya adalah pembatalan Perjanjian Renville serta “persahabatan” dengan Soviet. Namun, sikap ini ditentang oleh Mohammad Hatta sebagai kepala pemerintahan saat itu. Karena salah satu kesepakatannya adalah pembatalan Perjanjian Renville, di mana Indonesia juga harus menjaga kepercayaan Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu perwakilan untuk komisi jasa-jasa baik setelah Perjanjian Renville.
Keberadaan Amerika Serikat saat itu diperhitungkan, mengingat ia menentang penjajahan. Namun, mereka menyadari bahwa untuk mendapatkan suaranya, Indonesia harus anti terhadap Soviet dan paham komunisnya.
Sebenarnya bisa, tetapi Soviet juga peduli pada kemerdekaan Indonesia, di mana lewat Negara Soviet Ukraina nya, adalah negara pertama yang membawa isu Indonesia ke PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dua tahun sebelumnya (Leifer 1983).
Melihat situasi ini, Hatta kemudian menyampaikan sikap lewat pidatonya di hadapan Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Hatta mengatakan, Indonesia tidak boleh hanya menjadi objek kontestasi politik internasional, melainkan juga sebagai subjek di dalamnya.
Hatta juga menjelaskan bahwa politik luar negeri Indonesia merdeka dibangun di atas kepentingan nasional Indonesia sebagai bangsa dan bukan atas kepentingan bangsa lainnya (Hatta 1948).
Sikap ini berhasil membawa Indonesia sebagai bangsa merdeka, di mana Indonesia berhasil membersihkan pemberontakan PKI Madiun 1948. Pemerintah RI berhasil meyakinkan AS bahwa Indonesia sanggup berdiri sebagai bangsa yang merdeka.
Kondisi ini mengakibatkan Belanda mulai kehilangan dukungan dan benar-benar hilang setelah Belanda melancarkan serangannya ke Ibu Kota RI, Jogjakarta. Setelah itu, AS menghentikan Marshall Plan, bantuan ekonomi pasca Perang Dunia II untuk negara-negara Eropa, yang ternyata dipakai Belanda untuk membiayai operasinya di Indonesia (Neidell 2020).
Suara AS mampu membuat Belanda dan Indonesia sepakat untuk berunding lagi hingga akhirnya pada 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Artinya sama dengan Indonesia telah merdeka secara resmi.
Masa revolusi adalah masa yang penuh ujian bagi bangsa Indonesia. Ini disebabkan banyak tantangan yang harus dihadapi. Di antaranya datangnya Belanda kembali.
Oleh karenanya, tujuan politik luar negeri Indonesia saat itu adalah mempertahankan kemerdekaannya, sehingga banyak langkah yang harus dilakukan demi mencapai tujuan kemerdekaan.
Meski langkah-langkah hubungan politik luar negeri Indonesia terkesan kontradiktif antara satu dengan lainnya, tetapi ini menjadi cetak biru bagi gayanya ke depan, yakni tindakan politik luar negeri yang berpedoman pada kepentingan bangsa. (*)
*Muhammad Zakky Rabbani Luqmana, mahasiswa Hubungan Internasional Fisip Universitas Airlannga.
Referensi:
Arifudin, Mochamad. 2015. “Kontribusi Pelabuhan Probolinggo Dalam Diplomasi Beras Masa Kabinet Sjahrir Tahun 1945-1946”. Skripsi, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.
Hatta, Mohammad, 1948 “Mendayung Antara Dua Karang: Keterangan Pemerintah tentang Politik-nya kepada Badan Pekerja K.N.I.P, 2 September 1948”, dalam Roeslan Abdulgani, n.a, Sejarah Asal Mula Rumusan Haluan Politik Luar Negeri Bebas Aktif . hlm 12-65.
Ilham, Osa Kurniawan, 2021. Beras untuk India: Solidaritas Kemanusiaan dalam Pusaran Revolusi Indonesia 1945-1946. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 97-105.
Leifer, Michael, 1983. “Revolusi Nasional dan Benih-Benih Politik Luar Negeri”, dalam Politik Luar Negeri Indonesia, (trans. A. Ramlan Surbakti, Indonesia’s Foreign Policy) Jakarta: PT. Gramedia, hlm. 1-38.
Mukthi, M. F., 2010. “Si Penyelundup yang Humanis” [online]. dalam: https://historia.id/militer/articles/si-penyelundup-yang-humanis-DbL2P/page/1 [diakses 24 Februari 2023).
Muttaqien, M., 2014. ” Shaping the Structure of the Ministry of Foreign Affairs (1945 – 1949)” dalam The Structure of Foreign Policy Making in the History of Indonesia. Surabaya: Cakra Studi Global Strategis. hlm 11-26.
Neidell, Indy, 2020.”1949: Death and Sovereignty | The Indonesian War of Independence Part 5” [online video] dalam: https://www.youtube.com/watch?v=xAjOqXcwFpQ [diakses 24 Februari 2023].