Forum Komunikasi Pemilik, Pengelola dan Petugas Jaga Cagar Budaya di Kota Surabaya digelar di Kantor Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (DKKOP) Kota Surabaya, di Gedung Siola, Sabtu (18/12/2022).
Acara tersebut sebagai ajang silaturrahim untuk saling berkoordinasi, berdiskusi, dan mencari solusi dalam upaya-upaya pelestarian dan pemanfaatan aset-aset cagar budaya.
Dalam forum itu dihadirkan tiga pembicara untuk menambah wawasan mereka tentang kecagarbudayaan. Mereka adalah Ir. Handinoto (anggota Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya), Rojil Bayu Nugroho (Sejarawan Universitas Negeri Surabaya), dan Nanang Purwono (Ketua Perkumpulan Begandring Soerabaia).
Handinoto memaparkan ragam bangunan kolonial di Surabaya yang dibangun sejak pertengahan abad 19 hingga pertengahan abad 20. Materinya sangat bermanfaat
Menurut dia, Surabaya pada paro pertama abad 20 bagai ladang ekspresi para arsitek dalam berkarya. Perkembangan ekonomi sangat mempengaruhi wajah Kota Surabaya yang sebelumnya terhiasi dengan bangunan gaya Indische (abad 19), kemudian berubah menjadi gaya modern (abad 20).
“Berubahnya wajah Kota Surabaya ini karena semakin banyaknya kantor-kantor yang buka di Surabaya sebagai pendukung aktivitas ekonomi dan perdagangan. Misalnya, muncul kantor ekspor impor, kantor dagang, bank, dan asuransi,” jelasnya.
Kata dia, potensi dan pertumbuhan ekonomi ini sekaligus menjadi jembatan yang menghubungkan kota kota besar di Belanda dengan Surabaya seperti Kota Amsterdam melalui kantor Handels Verenigging Amsterdam (HVA) dan De Internationale Credit en Handelsverenigging Rotterdam (Internatio).
Handinoto menambahkan, gedung-gedung itu bisa menjadi objek penelitian dan ilmu pengetahuan. Misalnya secara sipil, bangunan- bangunan itu bisa awet lebih dari 100 tahun.
Sedangkan Rojil memandang bangunan cagar budaya ini dapat menjadi objek edukatif bagi mahasiswa dan siswa sekolah. Tidak hanya dapat digunakan sebagai sarana untuk mengetahui kualitas fisik bangunan tapi juga untuk menguak peradaban di balik sosok bangunan bangunan cagar budaya itu.
“Ini menyangkut nilai-nilai sosial, budaya dan bahkan antropologi
Karenanya, keberlangsungan dan kelestarian BCB dapat memperkuat jati diri suatu tempat, daerah, dan bahkan bangsa,” papar dia.
Surabaya, imbuh dia, memiliki kekayaan bangunan cagar budaya dan itu semua sebagai bukti bahwa sudah sejak lama Surabaya terbentuk sebagai sebuah kota.
Sementara Nanang Purwono menjelaskan jika Surabaya pernah sebagai ibu kota wilayah utara Jawa bagian timur (Java’s van den Oosthoek), ibu kota Karesidenan Surabaya, ibu kota Propinsi Jawa Timur, ibukota Kabupaten hingga sebagai kota yang mandiri (otonom), Gemeente Van Soerabaiaa.
“Bangunan cagar budaya tidak hanya diamankan dan dilestarikan, tapi juga harus dikelola dan dimanfaatkan agar bisa memberi nilai tambah bagi masyarakat sesuai yang diamanahkan dalam Undang Undang Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya,” terang dia.
Sesuai UU, cagar budaya merupakan kekayaan bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Karenanya, cagar budaya harus dapat dimanfaatkan untuk tujuan tujuan pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan, kabudayaan dan pariwisata demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Mengecewakan
General Manager Hotel Majapahit Kahar Salamun yang hadir dalam forum itu menyatakan kekecewaaanya. Hal ini disebabkan pohak yang yang bisa menjawab pertanyaan forum kaitannya dengan kebijakan tidak ada.
“Saya sangat kecewa. Kecewa karena dalam forum yang baik ini tidak ada dari wakil pemerintah. Padahal dalam materi yang dipaparkan pembicara, ada kolaborasi pentahelix yang akan mampu melakukan pengelolaan dan pemanfaatan cagar budaya di Kota Surabaya,” keluh Kahar.
“Jadi pertanyaan pertanyaan kami terkait kebijakan mandek dan tidak ada jawaban dari forum ini,” timpal Kahar.
“Wah, itu bukan ranah kami untuk menjawab,” jawab Handinoto, yang diamini Rojil Bayu Nugroho dan Nanang Purwono karena tak punya kapasitas untuk menanggapi pertanyaan tersebut.
Sumarno, dosen sejarah Unesa yang hadir berkomentar, “Saya ini sebenarnya TACB seperti Pak Handinoto. Mohon maaf atas ketidakhadiran dari pihak Pemerintah yang memang berkompeten menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari forum.”
Melihat banyaknya undangan yang datang dalam forum komunikasi ini menunjukkan antusiasme dan optimisme mereka untuk bersama sama membangun Surabaya berdasarkan warisan budaya (heritage) sebagaimana frame kolaborasi pentahelix saat ini dalam upaya bangkit bersama pascapandemi covid-19. (tim)