Begandring.com – Alunan genderang pengembangan kawasan bersejarah Peneleh beresonansi terbawa angin hingga ke negeri kincir angin. Kabar, yang dihembuskan melalui tabuh kentongan bambu pada Pembukaan Festival Peneleh pada 8 Juli 1023 itu diantaranya terdengar oleh pasangan Auke Kok dan Dido Michielson, pasangan penulis asli kota Amsterdam, Belanda.
Mereka tiba di Surabaya pada Minggu, 16 Juli 2023. Keesokan hari, Senin, mereka mendatangi Lodji Besar di Jalan Makam Peneleh tepat pukul 10 pagi. Mereka memang sudah janjian dengan Begandring Soerabaia untuk melihat dari dekat dan langsung, apa itu Peneleh seperti yang mereka dengar melalui media ini, Begandring.com. Lodji masih tutup tapi pintu bisa dibuka oleh warga Pandean, yang terbukti secara biologis keturunan orang pandean dari abad 15 (era Majapahit). Agus Santoso namanya. Agus adalah bagian dari Begandring Soerabaia.
Pasangan Auke Kok dan Dido Michielson kagum dengan Lodji Besar yang menjadi markas komunitas sejarah Begandring Soerabaia. Mereka memang penyuka sejarah, termasuk sejarah Hindia Belanda. Dido baru saja menulis buku tentang sejarah Hindia Belanda yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Judulnya “Lebih Putih Dariku”. Hari ini, Selasa, Dido Michielson harus pergi ke Jogjakarta untuk membedah bukunya di Universitas Gajah Mada (UGM).
Satu eksemplar buku itu, ketika di Lodji Besar, dihadiahkan ke Begandring dengan bertukar buku dengan “Meneropong Sejarah Surabaya dari Sungai Kalimas”, yang ditulis Nanang Purwono, ketua Begandring Soerabaia.
Awal pertemuan itu dibuka dengan saling bercerita tentang isi umum tentang masing masing buku antar penulis. Kemudian pembicaraan mulai masuk tentang Peneleh, khususnya tentang makam yang menyimpan warga Eropa di Surabaya.
Auke mulai bertanya apakah warga Eropa di pemakaman ini dikelompok kelompokkan sesuai kebangsaan. Dijawab tidak. Pemakaman Eropa di Peneleh ini membaur. Auke pun langsung menyimpulkan, “Surabaya multikultural ya”. Itu kesan Auke pada pemahaman pertama tentang Peneleh sebagai potret kota Surabaya di era Kolonial.
Pada pemahaman berikutnya ketika mereka diajak masuk ke pemakaman dan melihat nama nama yang berbau masing masing kebangsaan dan penggunaan bahasa dalam inskripsi nisan nisan. Mereka tau sendiri bahwa kebangsaan orang orang yang dimakamkan di sana bercampur. Menurut mereka di suatu pemakaman di Belanda masih ada pengelompokan sesuai kebangsaan. Mereka kagum karena di Surabaya di era kolonial sudah tidak ada rasial dalam penataan kuburan. Meski di saat mereka hidup, di sana ada pengelompokan etnis karena adanya undang undang wiejkenstelsel.
Lodji Besar memang informatif. Pada dinding dinding ruangan rumah, yang dibangun pada 1907, penuh dengan foto foto, poster poster tempo dulu dan peta peta kota dari zaman ke zaman di era kolonial. Peta tertua adalah peta tahun 1677 yang dibuat Laksamana Kornelis Speelman ketika memimpin penyerbuan ke Surabaya dalam rangka menghadapi Trunojoyo.
Berdasarkan peta peta yang tertata pada dinding dinding Lodji, mereka mempelajari dan mulai mengenal Surabaya berdasarkan peta peta. Pandangan mata mereka pun juga tertuju pada reklame reklame lama, yang terpajang pada satu dinding di ruang tamu.
Menurut mereka reklame reklame jadul itu menggambarkan situasi di Hindia Belanda dalam keadaan normal. Ada reklame toko tembakau, ada toko sepeda, ada biro perjalanan, ada jasa pengiriman paket melalui kapal, ada tentara KNIL, ada potret pedesaan dan masih ada lagi reklame lainnya. Kesan itu disampaikan oleh Dido Michielson.
Dido tergolong Indo. Kakeknya yang orang Eropa menikah dengan perempuan Jawa. Dari pasangan campuran itu, lahirlah bapaknya. Ia dilahirkan di kota Surabaya. Kakeknya adalah pekerja Staatsspoorwegen (SS), termasuk bapaknya di Surabaya. Tahun 1939, bapaknya hijrah ke Belanda. Disana lahirlah Dido Michielson. Kini Dido menjadi perempuan indo dewasa dan menyempatkan datang ke kampung halaman bapaknya. Di Surabaya.
Karenanya, selain berkeliling di Peneleh, mereka juga berkunjung di komplek perumahan pegawai kereta api SS di Gubeng. Dido dan suami tidak pernah tau dimana orang tuanya pernah tinggal ketika masih menjadi pegawai kereta api SS.
Agung Widyanjaya, anggota Begandring Soerabaia yang memiliki passion di bidang sejarah perkereta apian turut mendampingi mereka beserta penulis, Nanang Purwono. Agung banyak menjelaskan tentang sejarah kereta api. Dido pun sangat senang mendengarkan kisah kereta api di Jawa dan Sumatra. Apalagi Agung membawa buku tentang sejarah kereta api.
Agung menjelaskan bahwa komplek perumahan kereta api SS di Gubeng adalah yang terbesar dan masih eksis dengan rumah rumahnya. Rumah rumah lama itu menjadi obyek fotografi mereka. Salah satu rumah kuno yang dimasuki adalah rumah yang kini diadaptasi menjadi sebuah kafe vintage dengan pajangan sebuah lokomotif uap yang berasal dari salah satu pabrik gula.
Mereka berkeliling, house tour, melihat isi dan tata ruangan di dalamnya. Di dalam dan di sekitar rumah itu, Dido membayangkan sebuah suasana dimana ayah dan kakek neneknya pernah tinggal selama masih di Surabaya. Bahkan di halaman rumah itu, mereka duduk di kursi tua sambil membayangkan suasana kehidupan ayahnya yang lahir di Surabaya.
“Dulu ketika bapak saya pindah ke Belanda, perabotan seperti ini dibawa ke Belanda. Kursi seperti ini masih ada di Belanda”, jelas Dido.
Tidak terasa, waktu berjalan dengan cepatnya. Selama hampir sehari penuh hanya dihabiskan di dua lokasi. Peneleh dan Perumahan Kereta Api Gubeng. Padahal masih banyak yang ingin mereka eksplor. Selasa pagi, 18 Juli, Dido harus memberi kuliah di UGM. Sementara Auke Kok masih tetap di Surabaya untuk berkunjung ke Kampung Eropa dan sekitarnya.
Semua tempat yang mereka kunjungi selama di Surabaya akan menjadi bahan tulisan untuk rencana buku baru yang mereka tulis bersama. (nng).