Untuk menjadi organisasi ketentaraan yang utuh maka dibutuhkan satu hirarki terutama jabatan dan kepangkatan, maka masalah kepangkatan adalah sesuatu hal yang unik di awal perubahan Badan Keamanan Rakyat (BKR) menjadi Tentara Keamanan Rakyat (T.K.R) pada 5 Oktober 1945, mulai dari bentuk, model dan ukuran, hal ini pun terjadi di Surabaya kala itu, mengutip dari buku Pertempuran Surabaya yang ditulis oleh Mayor Jenderal (Purn) Hario Kecik pada halaman 77 maka kita akan mendapatkan gambaran unik sistem kepangkatan masa itu, maka antara bangga dan malu hanyalah satu perbedaan yang tipis, beliau menulisnya sebagai berikut :
“Secara resmi setelah tanggal 5 Oktober 1945 Repubik Indonesia sudah mempunyai tentara. Dalam tentara resmi ada hirarki, jadi ada kepangkatan. Akibatnya, Hasanuddin dan saya harus punya pangkat militer. Hasanuddin sebagai komandan PT.K.R berpangkat Letnan Jenderal dan saya sebagai wakil komandan berpangkat Kolonel.
Pada mulanya saya merasakan bahwa mempunyai pangkat militer seperti mempunyai semacam beban mental. Saya bertanya pada diri sendiri mengapa saya merasa “tidak enak” harus memakai pangkat militer. Apakah Hasanuddin juga berpikiran seperti saya ?
Tampaknya tidak, karena pada suatu hari saya melihat ada barang menempel di lengan bajunya. Yaitu sebuah tanda pangkat terbuat dari sepotong kain berwarna hitam dengan pita kuning berbaris empat dengan tiga bintang kuning. Itu tanda pangkat Letnan Jenderal. Saya melihat ia memakai selama satu hari itu. Besoknya sudah dilepas.
Pagi hari sesudah apel pasukan yang saya pimpin untuk melapor kepadanya sebagai komandan, tanpa mengucap apa-apa saya menunjuk ke lengan bajunya yang kosong. Ia memaki saya, mencoba tertawa, lalu berkata : “Tanda-tanda pangkat masih dibicarakan, belum ada ketentuan bentuk, warnanya, dan di mana dipasangnya. Jamput!!!, kamu benar belum memakainya!!, kurang ajar!!, isin aku!!”.
Saya tinggal diam, tampak ia masih belum mengerti bahwa bagi saya masalahnya bukan bentuk tanda pangkat.”
Kisah dari pak Hario Kecik diatas adalah sebagian kecil dari permasalahan kepangkatan yang ada di Surabaya kala itu, namun tetap ada yang menggunakan tanda pangkat itu secara “mentereng”, ya sudahlah, itu kembali ke urusan “semakin mentereng, semakin gagah”.
Jika kita amati lagi maka dapat disimpulkan bahwa Hasanuddin Pasopati Komandan PT.K.R Jawa Timur menggunakan model pangkat T.K.R Karesidenan Surabaya, kami juga kurang memahai, apakah jenjang dan model kepangkatan T.K.R Jawa Timur dan Karesidenan Surabaya adalah sama, dan bukan ditempatkan di dada atau dileher, namun dilengan kiri.

Bolehlah kita mengutip kembali dari buku 10 November 45 Gelora Kepahlawanan Indonesia yang ditulis oleh Brigadir Jenderal (Purn) Barlan Setiadijaya yang pada halaman 168 – 169 membahas tentang tanda pangkat T.K.R Karesidenan Surabaya, diterangkan bahwa dalam “Makloemat Tentara Keamanan Rakjat Karesidenan Soerabaja No 2, bahwa tanda pangkat dipakai dilengan bajoe, sebelah kiri atas dengan dasar hitam-streep koening, bintang perak (Peroenggoe)”, hal serupa juga dituliskan oleh Kolonel (Purn) Blego Soemarto dan tim dalam buku Pertempuran 10 November 1945 Citra Kepahlawanan Bangsa Indonesia di Surabaya halaman 71.

Maka tanda pangkat T.K.R Karesidenan Surabaya ini menjadi satu kajian yang menarik, mulai dari bentuk, penggunaan dan modelnya, secara detail dapat digambarkan sebagai berikut :
Pradjoerit klas 2 bintang 1.
Pradjoerit klas 1 bintang 2.
Kopral streep 1.
Sersan klas 2 streep 1 bintang 1.
Sersan klas 1 streep 1 bintang 2.
Sersan Major streep 1 bintang 3.
Letnan Pembantoe streep 2.
Letnan Klas 2 streep 2 bintang 1.
Letnan Klas 1 streep 2 bintang 2.
Kapten streep 2 bintang 3.
Major streep 2 1/2 bintang 1.
Letnan Kolonel streep 2 1/2 bintang 2.
Kolonel streep 2 1/2 bintang 3.
Djenderal Major streep 3 bintang 1.
Letnan Djenderal streep 3 bintang 2.
Djenderal streep 3 bintang 3.
Untuk sementara waktu menggunakan pakaian PETA atau HEIHO, hanya peci Jepang diganti dengan kopiah kain, sewarna dengan pakaian. Model seragam dan tanda pangkat yang diciptakan oleh T.K.R Karesidenan Surabaya kemudian diterima oleh daerah-daerah lain.

Kami mendapati bentuk, model dan letak penggunaan pangkat T.K.R Karesidenan Surabaya dalam sebuah foto yang ada didalam buku Provinsi Jawa Timur yang diterbitkan oleh Kementrian Penerangan halaman 166, tampak seorang anggota T.K.R menggunakan tanda pangkat di lengan kiri yang saat ini bentuk, model dan penempatanya sama seperti tata laksana penempatan tanda pangkat untuk Bintara dan atau Tamtama.

Sebagai penguat narasi maka kami juga mendapati dalam laporan mingguan Divisi 5 Ball of Fire pada tanggal 20 Desember 1945 juga memuat bentuk, model dan penempatan tanda pangkat untuk T.K.R Surabaya.
Jelaslah kini bahwa T.K.R Surabaya terkhusus tingkat Karesidenan dan Daerah memiliki model pangkat yang berbeda dari daerah lain, namun sejalan dengan perubahan T.K.R menjadi T.R.I (Tentara Republik Indonesia) pada 26 Januari 1946 maka model pangkat T.K.R Surabaya berubah dan mengikuti tata laksana kepangkatan yang sudah ditentukan oleh Markas Besar T.R.I di Yogyakarta.

Maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan tanda pangkat model T.K.R Surabaya diperbolehkan dalam pelaksanaan kegiatan reka ulang sejarah terkhusus dalam penampilan kisah yang berhubungan dengan pertempuran Surabaya, beberapa waktu lalu rekan-rekan dari Sepanjang Heritage, Soerabaia Combine Reenactor, Bangiler Reenactor dan Begandring Soerabaia telah mempelopori penggunaan tanda pangkat ini dalam kegiatan reka ulang. Emang boleh?, boleh saja, kenapa tidak.
Oleh : Achmad Zaki Yamani.
