Pada 14 Agustus 2022, film dokumenter tentang Soekarno dirilis di Surabaya. Film berjudul Koesno, Jati Diri Soekarno tersebut diproduksi oleh TVRI Jawa Timur bekerja sama dengan Perkumpulan Begandring Soerabaia.
Film perdana penayangan tersebut berasa spesial. Karena dilakukan di Cinema XXI Tunjungan Plaza, Surabaya. Dihadiri ratusan undangan. Bukan hanya dari Surabaya, tapi juga warga dari berbagai daerah di Jawa Timur.
Film ini juga punya arti sendiri buat Eri Cahyadi, wali kota Surabaya. Wali kota penerus Bu Risma, panggilan karib Tri Trismaharini, yang kini Menteri Sosial RI.
Eri Cahyadi yang baru pertama main film, memerankan sosok Soekarno dewasa. Soekarno yang pernah hidup cukup lama di Surabaya. Yang tempat kelahirannya sempat diperdebatkan. Di mana publik awalnya tahu Soekarno lahir di Blitar. Bertahun-tahun.
Namun tempat kelahiran Soekarno direvisi. Soekarno ternyata lahir di Kampung Pandean Surabaya. Itu mengacu pada sumber dan referensi yang kuat, seperti ijazah, pengakuan Soekarno dengan kolumnis Amerika Serikat Cindy Adam, dan masih banyak lagi.
Sebagai penikmat film, saya tentu senang dan bersyukur lahirnya kreativitas yang menjadi kearifan lokal. Munculnya ide segar yang menghibur untuk menyampaikan pesan ke publik tentang kisah dan sejarah The Founding Father of Indonesia.
Saya kira, hal itu mudah untuk menampilkan cerita-cerita lama baru yang tersembunyi. Mencari sumber-sumber asli dan mengemasnya untuk menjadi cerita yang cair, basah, dan bisa diterima masyarakat.
Proses pembuatan film ini juga terbilang relatif pendek. Karena mencuat pada bulan Juni. Saat Bulan Bung Karno. Yang jamak diperingati, dimaknai, sekaligus glorifikasi terhadap proklamator dan Presiden pertama Indonesia itu. Juga terdapat momen-momen penting, yakni Kelahiran Pancasila sendiri jatuh pada 1 Juni, kelahiran Bung Karno pada 6 Juni 1901, dan wafat pada 21 Juni 1970.
Praktis, tak sampai dua bulan film ini diproduksi. TVRI yang memproduksi film tersebut, pantas bersyukur dengan bantuan para pegiat sejarah Begandring Soerabaia. Karena melalui kajian dan penelusuran lapangan yang dilakukan, banyak temuan-temuan baru yang menjadi “ruh” dari film ini.
Penemuan Jalan Guntur dan Jalan Megawati, misalnya. Dua jalan yang menjadi jejak sejarah Soekarno di Kota Pahlawan. Pun rumah di Kampung Plampitan yang tak terekspos ke publik. Rumah yang menjadi tempat diskusi Soekarno dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang berjasa dalam penyelenggaraan kemerdekaan Indonesia.
Di kalangan sineas dan kritikus film, sensasi menikmati film dokumenter sangat berbeda dengan film dari kisah nyata yang diperankan oleh film bintang.
“Film dari kisah nyata sudah melalui berbagai macam situasi yang bisa dimanfaatkan. Mulai dari pemeran hingga jalan cerita. Di film dokumenter tdak boleh ada cerita sedikit pun. Penonton menjadi hakimnya,” demikian sebut Orlow Seunke, sineas terkemuka asal Belanda.
Kata dia, film dokumenter sama pentingnya dengan jurnalisme karena memakai hati dalam menggarapnya. Baik film dokumenter dan jurnalisme memiliki kemampuan mengubah situasi menjadi lebih baik. Mereka sama-sama melakukan investigasi dan kritik.
Kearifan Lokal
Kehadiran film dokumenter Koesno Jati Diri Soekarno tentu layak diapresiasi. Karena selain menjadi identitas bangsa, film ini juga dikerjakan secara kolaboratif. Ada peran media massa, pemangku, dan pelibatan masyarakat yang diwakili oleh para pegiat sejarah dan budaya.
Lokasi yang dipakai syuting film sebagian besar diambil di kawasan Peneleh. Lokasi ini dikenal menjadi situs kebangsaan. Di mana terdapat sejumlah objek sejarah, di antaranya rumah lahir Bung Karno, rumah HOS Tjokroaminoto, Jembatan Peneleh, Masjid Jami, dan lain sebagainya. Juga di Lodji Besar, rumah kuno warisan zaman Belanda yang terletak di depan Makam Belanda Peneleh.
Di film dokumenter ini, tak satu pun pemerannya punya latar belakang seni peran. Mereka yang terlibat adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dengan pengembangan sejarah dan budaya. Mereka punya spirit yang sama: love kotanya dengan sepenuh jiwa.
Untuk itu, rasanya tak berlebihan kalau pemangku kebijakan, dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya, bisa terus merawat kearifan lokal ini. Tidak ada yang salah dengan orientasi pemerintah memberdayakan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) atau membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), program padat karya, dan seterusnya. Sama sekali tidak ada yang salah.
Hanya, yang harus diingat, kota ini juga butuh saluran ruang yang lebih lempang untuk lahirnya kreativitas dan inovasi dari masyarakat. Ruang berkreasi yang mampu melayani kebutuhan fisik, mental, sekaligus memberikan pengetahuan. Juga sebagai simpul dan sarana komunikasi pengikat sosial untuk menciptakan interaksi antarkelompok masyarakat.
Kita sangat berharap, setelah film dokumenter tentang Soekarno, akan muncul karya-karya baru. Yang lebih progresif dan berkemajuan. Yang bisa melibatkan lebih banyak kreator, khususnya anak-anak muda. Seperti harapan Soekarno yang meyakini kekuatan kaum muda bisa membuat horeg dunia. (*)