Bulan Bung Karno secara formal telah diawali dari Surabaya. Kini, perayaannya bergulir se-Nusantara. Bulan Bung Karno ditandai dengan tanggal lahir Bung Karno (6 Juni) dan berakhir pada haul Bung Karno (21 Juni).
Di Surabaya, memaknai Bulan Bung Karno diisi dengan serangkaian kegiatan. Hal ini dilakukan untuk lebih memperkenalkan Bung Karno. Bail spirit, kiprah, dan tempat lahirnya.
Tempat lahir Bung Karno adalah Surabaya. Semangat Bung Karno adalah api yang membara. Pesan yang bisa dipetik dari semangat ini adalah “Warisi Apinya, Jangan Abunya”.
Pesan itu juga jadi perhatian Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, “Terima kasih, saya juga pasang pesan yang sama di IG, “Warisi apinya, jangan abunya,” tulis dia setelah membaca artikel Begandring.com.
Pesan “Warisi Apinya, Bukan Abunya” menjadi pesan seksi. Pemerintah Kota Surabaya dalam upaya menyebarkan pesan itu kini tengah mempersiapkan serangkaian kegiatan.
“Ya, kita mengagendakan banyak kegiatan. Ada Sekolah Kebangsaan untuk siswa SMP, Jelajah Jejak Soekarno, Pameran Foto Soekarno, Haul Bung Karno, Lomba Design Rumah Lahir Bung Karno untuk rencana Museum serta pembuatan Patung Bung Karno”, ungkap Kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga serta Pariwisata Wiwiek Widayati, dalam rapat koordinasi bersama tim Begandring Soerabaia dan sejarawan Unesa Selasa (8/6/2022).
Sudah selayaknya Bung Karno dihormati di ajang Bulan Bung Karno. Isinya pemaknaan api semangat Bung Karno. Api semangat ini harus tetap menyala. Tidak boleh padam. Jika ada warga Belanda bangga terhadap Soekarno, apalagi orang Indonesia.
Dalam sebuah dengar pendapat di Meja Bundar Parlemen Belanda tentang Hasil Kontribusi Penelitian Indonesia 30 Mei 2022, seorang warga Belanda bergaya ala Bung Karno, menyampaikan pandangannya di Parlemen. Bahkan ia dipanggil Jeffrey Bung Karno. Bung Karno pun dikenal di manca negara.
Revitalisasi Jangan Asal-asalan
Tahun lalu, tim Begandring Soerabaia melakukan pengamatan terhadap rumah di Jalan Pandean IV/40, Surabaya, rumah tempat Soekarno dilahirkan. Pengamatan itu dilakukan sebagai bentuk sumbangsih pemikiran terhadap upaya pelestarian rumah yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya itu.
Apalagi rumah itu bakal dijadikan Museum Bung Karno. Ketika menjadi public space seperti museum, maka rumah itu secara fisik harus dibuat menarik. Salah satunya dari tampilan fisik (eksterior).
“Menurut pengamatan kami, rumah lahir Bung Karno secara fisik telah mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Bentuk fisik aslinya bisa dilihat dengan mengamati rumah-rumah lama di sekitarnya, yang dibangun dari era yang sama,” jelas Yayan Indrayana, sekretaris Begandring Soerabaia berprofesi sebagai arsitek.
Reputasi profesionalisme Yayan bisa dibilang sangat mumpuni. Dia terlibat dalam banyak proyek revitalisasi bangunan cagar budaya di level nasional. Di antaranya proyek revitalisasi bangunan bersejarah di Ternate, Makassar, dan masih banyak lainnya.
Dari hasil pengamatan terhadap rumah lahir Bung Karno, jika dijadikan sebuah ruang publik, apalagi sebuah museum, maka yang perlu diperhatikan adalah pengembalian bentuk fisik rumah. Karena yang terlihat pada tampak depan sudah hasil renovasi yang dilakukan pemilik rumah sebelumnya.
“Jika Bung Karno lahir tahun 1901 di rumah ini, berarti sebelum tahun itu, rumah ini sudah ada. Bisa jadi rumah ini dibangun pada akhir abad 19,” terang Yayan.
Rumah-rumah tua di sekitarnya bisa menjadi referensi untuk melihat seperti apa dan bagaimana bentuk asli rumah lahir Bung Karno. Sebetulnya secara fisik, masih nampak bagian-bagian rumah ini yang menunjukkan model rumah era abad 19. Apalagi tren model arsitektur bangunan pada suatu masa bisa jadi acuan dan kajian untuk melihat seperti apa rumah lahir Bung Karno.
Rumah-rumah hunian di Kampung Pandean pada era itu sebetulnya sudah terlihat model arsitekturnya. Misalnya, rumah-rumah itu memiliki teras yang lebar dan panjang. Teras rumah ini ditopang 4 pilar yang simetris. Bentuk pilar ada yang silinder dan persegi empat. Penempatan pintu dan cendela simetris: satu pintu di tengah yang di kiri dan kanan terdapat jendela.
“Tampak depan rumah umumnya seperti itu. Contoh-contoh rumah serupa bisa dilihat di sekitar rumah lahir Bung Karno,” imbuh Yayan sambil menunjuk beberapa rumah sezaman di Kampung Pandean IV.
Dalam rangka renovasi dan apalagi bersifat restoratif, maka perbaikan rumah harus dilakukan secermat mungkin agar hasilnya maksimal. Hasil maksimal ini bisa mengajak pengunjung memasuki lorong waktu (time tunnel) tahun kelahiran Bung Karno, yaitu tahun 1901.
“Karenanya, arsitektur rumahnya, tampak depan, harus diperhatikan dan menjadi perhatian utama dalam renovasi rumah,” pungkas Yayan. (*)