Para pejuang Surabaya berhasil menguasai sekitar 30.000 pucuk senjata, belum termasuk perlengkapan perang lainnya. Jumlah ini luar biasa besar untuk sebuah kota yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan.
Aksi perebutan senjata terhadap tentara Jepang dimulai setelah peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945. Para pemuda mulai mencegat patroli Jepang di jalanan, kemudian menyerang markas-markas militer mereka. Pertempuran berlangsung beberapa hari dan menelan korban di kedua pihak. Namun, rakyat Surabaya tidak mundur.
Markas-Markas Jepang yang Diserbu Rakyat Surabaya
Puncak serangan terjadi pada 2 dan 3 Oktober 1945. Dalam dua hari itu, rakyat Surabaya menyerbu Gedung Kempetai, Markas Kaigun Embong Wungu, dan Gubeng. Ketiga lokasi tersebut sudah mereka kepung selama tiga hari sebelumnya.
Beberapa markas Jepang yang menjadi sasaran antara lain:
- Kitahama Butai/Lindeteves Stokvis.
- Asrama Jepang Sambongan.
- Braat Butai Ngagel.
- Gedung General Electronic Kaliasin.
- Lapangan Terbang Morokrembangan.
- Arsenal Kaisutiro Butai/Don Bosco.
- Kohara Butai Gunung Sari.
- Dai Ichi Daidan PETA Gunung Sari.
- Kedung Cowek Butai.
- Tobu Jawa Rikugun Butai/H.V.A (Angkatan Darat).
- Markas Kaigun Embong Wungu (Angkatan Laut).
- Markas Kaigun Gubeng (Angkatan Laut).
- Markas Kempetai (Polisi Militer).
Dengan keberhasilan itu, Surabaya menjadi kota pertama di Indonesia yang merebut senjata Jepang secara besar-besaran.
Senjata dan Kendaraan: Simbol Kekuatan Republik
Rakyat Surabaya sadar bahwa kemerdekaan hanya bisa bertahan jika mereka memiliki senjata dan kendaraan untuk bergerak cepat. Saat itu, banyak anggota PETA yang Jepang pulangkan tanpa senjata. Karena itu, rakyat mulai bertindak sendiri.
Mereka menghadang mobil pembesar Jepang di jalan raya. Ketika mobil berhenti, para pemuda meminta pengemudi turun. Setelah memastikan mobil itu bukan milik pihak anti-Republik, mereka menempelkan bendera Merah Putih di kaca depan dan menyatakannya sebagai milik Republik.
Aksi seperti itu terjadi berulang kali. Rakyat merebut mobil, truk, bahkan kendaraan besar lainnya. Setiap keberhasilan membuat keyakinan mereka tumbuh. Jepang tampak semakin ragu dan lemah. Akibatnya, rakyat yakin bahwa sudah waktunya mereka merebut senjata.
Bangkitnya Kekuatan Lokal: Polisi Istimewa dan PRI
Sementara itu, Pasukan Polisi Istimewa di bawah pimpinan Keibu Moehammad Jasin terus memperkuat barisan keamanan. Para mantan anggota PETA juga membentuk organisasi baru bernama Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Beberapa hari kemudian, muncul laporan bahwa pemuda Belanda mulai membawa senjata. Rakyat menuduh Jepang telah mempersenjatai mereka secara diam-diam. Tuduhan ini memicu keberanian baru.
Rakyat memutuskan untuk melucuti senjata pasukan Jepang. Mereka menargetkan prajurit yang berjalan sendiri, lalu menyerbu pos-pos kecil dan gudang logistik di Sawahan. Para pelajar dari sekolah teknik membantu agar pelucutan berlangsung tanpa bentrokan. Akhirnya, rakyat berhasil merebut senjata tanpa menumpahkan darah.
Pertempuran dan Diplomasi di Tangsi Don Bosco
Semangat rakyat semakin menyala. Setelah berhasil mengambil alih gudang logistik, mereka mengepung Tangsi Don Bosco, salah satu markas Jepang terbesar di Surabaya.
Pasukan Jepang menolak menyerah dan memilih bertahan dalam posisi tempur. Ribuan rakyat menunggu di luar pagar tangsi. Mereka menuntut agar semua senjata diserahkan. Komandan tangsi menolak dan hanya menawarkan uang.
Rakyat menolak mentah-mentah.
“Kami tidak butuh uang! Kami butuh senjata!” teriak mereka.
Ketegangan meningkat. Akhirnya, Suyitno (Keibodan), R. Moehammad (BKR), dan Jamal (PRI) datang untuk berunding. Setelah pertemuan panjang, komandan tangsi berjanji akan menyerahkan senjata setelah mendapat izin atasannya. Malam itu, rakyat memilih bubar dengan tertib, sambil menunggu hasil perundingan.
Awal Kekuatan Republik di Surabaya
Keesokan harinya, tepat pukul 08.00, ribuan rakyat kembali mendatangi Tangsi Don Bosco. Kali ini, Moehammad Jasin hadir sebagai juru bicara Republik.
Setelah mendengar alasan rakyat, komandan tangsi akhirnya setuju menyerahkan senjata. Ia hanya meminta surat serah terima resmi sebagai bukti bagi Sekutu. Moehammad Jasin langsung menulis dan menandatangani surat itu, disaksikan oleh Komite Nasional Daerah Jawa Timur.
Tidak lama kemudian, ratusan senjata berbagai jenis memenuhi halaman Tangsi Don Bosco. Para anggota Polisi Istimewa dan BKR mengangkutnya untuk dibagikan ke seluruh wilayah Surabaya. Peristiwa ini menandai lahirnya kekuatan bersenjata Republik di Jawa Timur.
Inventaris Senjata yang Dikuasai Pejuang Surabaya
Mayor Jenderal Higoe Iwabe, Komandan Tobu Jawa Butai, mencatat jumlah senjata yang berhasil direbut rakyat Surabaya, antara lain:
- 18.790 senjata laras panjang berbagai jenis
- 750 senjata laras pendek berbagai jenis
- 2.500 senapan mesin sedang dan berat
- 200 pelontar granat
- 17 pucuk meriam Howitzer
- 145 pucuk meriam anti serangan udara
- 25 pucuk meriam anti tank
- 650 pucuk mortir
- 18 unit tank berbagai jenis
- 65 unit panser
- 1.600 kendaraan bermotor berbagai jenis
Selain itu, gudang Jepang juga menyimpan senjata rampasan dari Amerika, Australia, dan Belanda. BKR dan Polisi Istimewa segera membagikan senjata-senjata tersebut kepada para pejuang dan rakyat. Dengan begitu, seluruh Surabaya berubah menjadi benteng pertahanan Republik.
Senjata Rakyat, Api Revolusi
Dengan senjata di tangan, semangat arek-arek Suroboyo berkobar. Mereka siap menghadapi pasukan Inggris dalam Pertempuran Surabaya fase pertama (28–30 Oktober 1945) dan fase kedua (10 November–1 Desember 1945).
Meskipun pada akhirnya Surabaya jatuh ke tangan Sekutu, perlawanan rakyat menjadi legenda. Selama 21 hari, mereka bertempur tanpa kenal lelah. Semangat itulah yang kemudian menggelorakan revolusi di seluruh Indonesia.
Pada akhirnya, perjuangan rakyat Surabaya membuktikan bahwa kekuatan sejati bangsa bukan terletak pada senjata, melainkan pada tekad dan keberanian untuk mempertahankan kemerdekaan.



