KH Hasyim Asy’ari dan Penjara Koblen

Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari  (1871-1947) menjadi fokus perhatian dalam peringatan Hari Santri. Karena beliaulah yang membuat fatwa Jihad (11 September 1945) yang kemudian menjadi konsideran lahirnya Resolusi Jihad (22 Oktober 1945). Selanjutnya, Resolusi Jihad menjadi dasar penetapan dan peringatan Hari Santri Nasional.

Resolusi Jihad yang tercetus pada 22 Oktober 1945 melahirkan keputusan yang isinya merupakan seruan kepada pemerintah Republik Indonesia. Isinya adalah :

  1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan dan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya.
  2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam 

Sedangkan Fatwa Jihad, yang dikeluarkan KH Hasyim Ashari tertanggal 11 September 1945 lebih ke seruan kepada warga umat Islam yang isinya bahwa:

Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu ‘ain yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam: Iaki-Iaki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak, bagi yang berada dalam jarak Iingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh”.

Isi Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad ini berbeda dan ini ditegaskan oleh Gus Sholahuddin Azmi ketika menerima kunjungan Ketua DPD Gerindra Jatim, Anwar Sadad, di Kantor PCNU Surabaya di jalan Bubutan VI Surabaya. Kantor PCNU Surabaya ini adalah tempat di mana Resolusi Jihad dikeluarkan pada 22 Oktober 1945, yang kala itu berfungsi sebagai kantor pengurus besar, Hoofdbestuur Nahdatoel Oelama (NO).

Anwar Sadad memberi sambutan dalam napak tilas Hasyim Asy’ari di Koblen. foto: begandring

 

“Isi Fatwa Jihad itu ditujukan kepada umat Islam dan ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng Jombang pada 11 September 1945. Sementara Resolusi Jihad dibuat di kantor besar Nahdlotoel Oelama (NO) di Bubutan, Surabaya pada 22 Oktober 1945,” tegas Sholahuddin Azmi, cucu Kiai Ridwan, pembuat logo Nahdatul Ulama.

Baca Juga  Surabaya Dalam Menyongsong Kongres Bahasa Jawa VII di Surakarta.

“Kami ini menapak tilas perjalanan KH Hasyim Ashari, yang secara langsung merasakan kejamnya penjajahan. Dengan napak tilas ini kami sedikit bisa ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Mbah Hasyim Ashari ketika ditawan Jepang mulai dari Jombang, Mojokerto dan Surabaya. Penyiksaannya luar biasa. Karenanya kekejaman itu harus dilawan. Karenanya, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Jihad,” kata Anwar Sadad saat menapaktilasi Penjara Koblen.

KH Hasyim Asy’ari memang pernah ditawan Jepang karena melakukan penolakan terhadap Seikerei, ritual penghormatan terhadap Kaisar Hirohito dan ketaatan pada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Jepang memang mewajibkan Seikerei bagi rakyat Indonesia kala itu. Seikerei dilakukan dengan membungkuk ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi.

Bagi Hasyim Asy’ari hanya Allah yang patut disembah, bukan manusia atau matahari. Karena itu ia ditahan. Selama dalam tahanan, banyak penyiksaan fisik yang diterima Hasyim. Bahkan salah satu jarinya patah hingga tidak dapat digerakkan. Itulah penderitaan yang dialami Hasyim Asy’ari. Penjara Koblen adalah penjara terakhir sebelum ia dibebaskan. Namun Hasyim Asy’ari sempat mendekam di penjara selama 3 bulan.

Penjara Koblen menjadi saksi penyiksaan Hasyim Asy’ari dan penjara Koblen menjadi saksi sejarah jejak pendiri NU itu.

“Ini menjadi latar belakang kami melakukan jelajah jejak sejarah KH Hasyim Asy’ari. Memang saal saal penjara sudah tidak ada. Yang tersisa adalah tembok penjara. Karenanya perlu ada pelestarian nilai sejarah di eks Penjara Koblen ini”, pungkas Anwar Sadad.

 

Pelestarian Cagar Budaya 

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, sudah mengajak Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya untuk melestarikan cagar budaya secara tematik. Yakni, pelestarian yang dilakukan dengan orientasi nilai peristiwa yang terjadi di objek atau kawasan cagar budaya dan orientasi nilai arsitekturnya.

Baca Juga  Wujud Adaptasi Ekologi Bengawan Solo di Bedanten

Ada nilai penting yang pernah terjadi di Penjara Koblen, terkait dengan perjuangan dan kepahlawanan Arek-Arek Suroboyo dalam mempertahankan kedaulatan bangsa. Nilai perjuangan Arek-Arek Suroboyo ini dicatat tidak hanya bersifat lokal, tetapi sudah berskala nasional. Karenanya, harus ada upaya upaya yang terstruktur dalam hal pelestarian, pengelolaan dan pemanfaatan cagar budaya eks penjara Koblen ini.

Menurut Wayan Arcana, pengelola aset cagar budaya, ia sudah merencanakan pemanfaatan lahan seluas 3,8 hekatar ini untuk aktivitas ekonomi yang serasi dengan aktivitas edukasi untuk menjaga nilai sejarah yang pernah terjadi di Koblen ini.

Rapat di Hoodfbestuur Nahdlatoel Oelama di Bubutan, 22 Oktober 1945. foto: repro

 

“Sesuai dengan izin pemanfaatan lahan eks penjara Koblen ini bahwa di tempat ini salah satunya adalah untuk pasar wisata. Kami juga merencanakan untuk fungsi edukasi, ilmu pengetahuan dan pariwisata”, jelas Wayan ketika mendampingi Anwar Sadad ketika napak tilas di Koblen.

Sebagai manfaat pendidikan, Wayan juga sedang membangun gedung sekolah untuk mewadahi keinginan warga setempat akan kebutuhan pendidikan tingkat dasar.

“Sekolah menjadi cara untuk melestarikan nilai nilai sejarah yang terukir di eks Penjara Koblen. Dengan kelembagaan sekolah yang formal, maka sekolah bisa mengajarkan sejarah Koblen sebagai muatan lokal,” jelas Wayan.

Wakil Ketua DPRD Surabaya A Hermas Thony yang juga ikut napak tilas, merespons pembangunan sekolah yang berada di luar tembok sisi barat. Menurutnya, pembangunan gedung sekolah ini menjadi itikad baik (good will) dari pengelola eks Penjara Koblen demi upaya pelestarian nilai-nilai sejarah dan cagar budaya eks Penjara Koblen.

“Terkait dengan pembangunan gedung sekolah di luar tembok penjara itu, saya memang mendapat laporan tentang itu. Saya sempatkan melihat proyek pembangunan itu. Letaknya di luar tembok sisi barat dan langsung menghadap kampung. Saya lihat memang ada jarak antara tembok penjara dan tembok gedung sekolah yang sedang dibangun,” jelas AH Thony.

Baca Juga  Makam Marga Han di Pasar Bong dan Petunjuk Persebaran Priyayi Islam

Atas pembangunan gedung sekolah itu, pihak pengelola sudah mendapat surat pemberitahuan dari Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) agar memperhatikan keberadaan cagar budaya yang ada.

Menanggapi surat pemberitahuan itu, Wayan mengatakan bahwa ia sudah memperhatikan keberadaan bangunan cagar budaya yang ada. Karenanya ia memberi jarak antara tembok penjara dan bangunan gedung sekolah.

Wayan mengaku akan meminta pihak pengelola sekolah, Kodam V/Brawijaya, untuk memperhatikan eksistensi nilai cagar budaya dan nilai peristiwa yang pernah terjadi di lingkungan penjara Koblen. Untuk mendukung nilai edukasi buat siswa sekolah, ia akan memasang papan informasi yang edukatif tentang sejarah Penjara Koblen di lingkungan sekolah.

Sementara itu, Anwar Sadad, juga berkomentar tentang upaya pemanfaatan eks Penjara Koblen sebagai wahana edukasi sejarah.

“Tempat ini perlu diberi atraksi sejarah, misalnya teatrikal tentang keberadaan Hasyim Asy’ari di penjara Koblen dan kisah pembebasan Hasyim Asy’ari dari Penjara Koblen. Ini menjadi atraksi pariwisata sejarah di tempat ini,” papar Anwar.

Secara fisik, yang tersisa dari bangunan penjara Koblen ini, hanya tembok penjara dan bekas rumah kepala lapas, yang kini dimanfaatkan sebagai kantor pengelola. Karenanya tembok dan eks rumah kepala lapas ini perlu dijaga kelestariannya guna menjaga memori publi tentang sejarah dan peristiwa yang pernah terjadi di penjara yang mulai dibangun pada akhir 1920-an ini. Di antaranya sejarah Kiai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan penulis Fatwa Jihad. (*)

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x