Mal Jaga Tradisi Jawa

Begandring.com: Surabaya, 8/9/23 – Dalam dua minggu terakhir ini sejak media ini menghadirkan rubrik baru, Litarasi Jawa, pada 1 September 2023,hampir tiap hari konten pemberitaannya terkait isu isu tentang aksara dan bahasa Jawa. Di sana ada ruang aksara Jawa, puisi dan cerita cekak (cerpen) berbahasa Jawa.

Selain itu juga masih memuat artikel artikel tentang bagaimana upaya yang dilakukan Komunitas Begandring Soerabaia dalam membangun kolaborasi dengan lembaga lembaga aksara dan bahasa Jawa, baik pemerintah maupun swasta, dari komunitas hingga media masa, baik yang di dalam kota maupun luar kota. Termasuk mereka yang dari Mancanegara mulai Jepang hingga Amerika.

Memang sungguh mendadak. Tetapi ini bukanlah yang mengagetkan bagi redaksi. Buat pembaca, iya. Sampai sampai ada pertanyaan “mengapa Begandring.com begitu peduli dengan aksara Jawa? “.

Pertanyaan itu. sungguh sederhana, tapi begitu dalam artinya.

Kiranya, kita perlu Kontemplasi sejenak dan mawas diri bahwa bumi Jawa Timur ini sebenarnya rumah peradaban leluhur yang luar biasa. Bukti bukti peradaban itu terdapat dimana mana dan masih bisa ditemukan keberadaannya. Diantaranya berwujud prasasti yang menyimpan aksara para Dewata. Wujud aksara nya Jawa Kuna atau Kawi, turunan dari aksara Pallawa, yang kemudian melahirkan aksara aksara Nusantara.

Interior Plaza Surabaya yang bercirikan tradisi Jawa. Foto: nng/Begandring.

Di era moderen, aksara peradaban luhur itu seolah terkubur masa. Hanya segelintir orang dan komunitas tertentu saja yang mempertahankannya. Bisa jadi mereka adalah titisan para dewa atau tempat dimana leluhur menjelma menembus masa.

Mereka adalah orang orang yang bisa mengenali dan menggunakan aksara itu. Sayang jumlahnya terbatas. Kerena lainnya sudah tidak bisa. Mereka sudah terkooptasi perubahan. Padahal mereka sendiri adalah keturunan orang Jawa.

Baca Juga  Masuk ke Zaman Romawi di kota Nijmegen, Belanda. 
Kenya, pengunjung Plaza Surabaya yang serasi dengan nuansa dan tema plaza. Foto: IS/Begandring.

Seorang kenya mengatakan “Menjadi Jawa tapi buta Hanacaraka. Mengaku Jawa tapi menyewa kebaya”. Statement ini sangat ironis tapi nyata adanya.

Di tengah hiruk pikuk belantara kota Surabaya, mall mall yang umumnya menjadi etalase modernisasi, ternyata masih ada satu mall yang tidak meninggalkan tradisi Jawa.

Sebuah pepatah Jawa pun menghiasi mall.. Foto: nng/Begandring.

Tradisi Jawa ini berbentuk seni dan literasi. Jika kita teliti, maka di sana sini terselip bukti tradisi itu.

Di hari Literasi Internasional ini, di tengah tengah modernisasi, mall ini tidak merasa gengsi dengan ekspresi tradisi. Di sela sela solek masa kini, terselip tampilan tradisi sebagai pengisi ruang ruang sunyi. Mall ini adalah Plaza Surabaya di Jalan Pemuda Surabaya, yang berdiri di depan RRI.

Plaza Surabaya atau yang biasa disebut dengan nama Delta Plaza adalah pusat perbelanjaan di Surabaya. Mal ini didirikan pada tahun 1988 dengan penyewa – penyewa yang sudah terkenal sebagai perusahaan besar baik skala nasional maupun internasional.

Pusat perbelanjaan ini terletak di Surabaya Pusat, bersebelahan dengan Monumen Kapal Selam dan terdapat pintu akses untuk mengakses monumen dari parkiran mal. Mal ini sangat ramah literasi nusantara, utamanya Jawa.

Di pintu gerbang Timur disertai dengan tulisan berbahasa Jawa, “Lawang Wetan”. Di pintu masuk utara pun demikian dilengkapi dengan tulisan “Lawang Lor”. Termasuk jalur menuju parkiran ke atas yang disertai dengan petunjuk berbahasa Jawa “Monggo Minggah”.

Masih di luar gedung di dekat area parkir, menuju ke gedung lewat Lawang Wetan terdapat gapura bertuliskan “Sugeng Rawuh”. Pun demikian ketika pengunjung hendak meninggalkan mall, jalan menuju ke parkiran sepeda motor terdapat petunjuk bertuliskan “Sugeng Tindak”

Baca Juga  Beda Mina Kruseman dan Kartini dalam Perjuangkan Kesetaraan Gender
Ucapan selamat datang dalam bahasa Jawa menyambut para pengunjung. Foto: nng/Begandring.

Di gedung bagian Timur, dekat lawang wetan, ada ornamen pintu candi lengkap dengan sepasang dwarapala. Sementara itu di dalam gedung terdapat gambar gambar dan hiasan Gunungan.

Dalam pewayangan, Gunungan itu berbentuk kerucut (lancip ke atas) yang melambangkan tempat kehidupan manusia. Semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, manusia harus semakin mengkerucut (golong gilig) manunggaling Jiwa, Rasa, Cipta, Karsa, dan Karya dalam kehidupan manusia (semakin dekat dengan Sang Pencipta).

Gunungan sebagai simbol bumi dimana manusia berpijak. Foto: nng/Begandring.

Dengan dipasang di ruang publik seperti mall, siapa pun sang pemilik atau pengelola Mall, Plaza Surabaya, dapat dipastikan mereka mengerti ilmu kejawen yang sesungguhnya memiliki nilai universal. Sebuah nilai bagaimana seharusnya manusia hidup dan berkehidupan.

Ada pesan luhur yang disampaikan oleh pengelola atau pemilik kepada para pengunjung dan tenant agar tetap menjaga tradisi dan ajaran ajaran leluhur Jawa.

Pepatah luhur menjadi pitutur bijak. Foto: nng/Begandring.

Misalnya selain ada ungkapan leluhur yang berbunyi “Gemah Ripah Lah Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja”. Artinya kondisi masyarakat dan wilayah yang subur makmur. Serta keadaan suatu wilayah yang tertib, tentram, sejahtera, serta berkecukupan segala sesuatunya.

Sebuah ungkapan leluhur yang berisi sebuah doa untuk kemakmuran semua orang mulai pengelola, para tenant dan pengunjung serta pelanggan.

Watak penokohan orang pun menjadi bagian dalam dekorasi mall ini. Foto: nng/Begandring.

Hanya pelanggan, yang mengerti makna makna leluhur itu yang bisa merasakan bahwa ruh leluhur itu ada di sana. Mereka menembus ruang dan waktu melihat cucu cucunya. Sayang para cucu banyak yang sudah tercerai berai dan tercabut dari akar leluhur. Cucu yang masih terikat dengan tali peradaban leluhur tentu tak segan dan tak sulit mengenakan dan menggunakan atribut leluhur.

Baca Juga  Kukuhkan Surabaya sebagai Titik Jalur Rempah Nusantara
Sulit menjaga tradisi kalau tidak ada pembiasaan. Kenya ini terbiasa, jadi bisa. Foto: IS/Begandring.

Kenya itu berkebaya di antara mereka yang berbusana ala Korea yang cenderung terbuka. Berkebaya di mall menjadi pemandangan yang berbeda dan kontras. Bagi si kenya, ini adalah biasa. Tapi tidak demikian bagi kebanyakan orang di sana.

Itulah potret mall yang menjadi ekspresi modernisasi. Bagi pengelola, ini adalah tantangan. Tapi ia terus berjalan demi Peradaban nenek moyang. (nng)

Artikel Terkait

Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x