Namanya Masjid Bahagia. Lokasinya di Jalan Makam Peneleh Nomor 37, Surabaya. Bangunannya tidak kelewat besar, sekitar 100 meter persegi dengan dua lantai. Bersebelahan dengan Makam Belanda Peneleh yang legendaris.
Tak banyak orang tahu kalau Masjid Bahagia adalah bagian dari jejak sejarah Muhammadiyah di Surabaya. Masjid ini juga menjadi saksi bisu perjalanan dakwah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Masjid Bahagia berdiri di kawasan situs kebangsaan yang bersejarah di Kota Pahlawan. Tidak jauh dari masjid itu ada rumah Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto di Peneleh VII/29-31, Surabaya.
Rumah HOS Tjokroaminoto tersebut dikenal sebagai dapur nasionalisme. Karena banyak tokoh besar Indonesia yang menjadi murid HOS Tjokroaminoto. Sebut saja, Soekarno, Semaun, Musso, Alimin, dan Kartosuwiryo.
Masjid Bahagia juga dekat dengan Rumah Lahir Bung Karno di Jalan Pandean IV/40. Rumah itu kini sedang direhab dan bakal diresmikan sebagai museum, setelah dibeli oleh Pemerintah Kota Surabaya, tahun 2021.
Masjid Bahagia juga hanya seratus meter dari Sumur Jobong di Jalan Pandean Gang I. Sebuah sumur tua, sisa kejayaan Majapahit yang masih membekas di Surabaya. Keberadaan Sumur Jobong kini lagi hits. Banyak wisatawan berkunjung di sana, baik dari domestik maupun mancanegara.
Cerita berdirinya Masjid Bahagia ini cukup unik. Masjid tersebut dibangun pada tahun 1968. Pemiliknya, H. Syafi’i (kini sudah almarhum). Dia seorang saudagar Muhammadiyah. Orang tuanya berdarah Aceh. Sebagian keluarganya punya pondok pesantren di Bangil.
H. Syafii Punya usaha konveksi yang cukup gede. Mempekerjakan puluhan orang. Order-nya lumayan besar. Baik dari instansi pemerintah maupun swasta.
“Zaman itu, pesanan di konveksi kakek yang saya ingat ada dari Angkatan Laut. Oh ya, seluruh baju dinas yang dipakai semua pegawai terminal di Surabaya waktu itu juga dibuat di tempat usaha kakek,” ungkap Abdul Rachman (52), cucu H. Syafi’i.
Selain usaha konveksi, H. Syafi’i juga punya apotek. Masa itu, apotek miliknya termasuk yang terbesar kedua setelah Apotik Kali Asin (AKA), milik orang tua legenda rock, Ucok Harahap.
Nama AKA kemudian dipakai jadi grup musik rock yang sangat terkenal di era 70-an. Nama-nama personelnya yang terkenal selain Ucok Harahap, ada Arthur Kaunang, Sonata Tanjung, dan Syech Abidin.
Ada satu lagi usaha yang dimiliki H. Syafi’i, yakni loket pembayaraan listrik. Masa itu, banyak sekali masyarakat yang menggunakan jasa tersebut. Bahkan bisa sampai terjadi antrean panjang, apalagi kalau mendekati masa terakhir pembayaran listrik.
***
Abdul Rachman mengungkapkan alasan mengapa kekeknya membangun masjid itu. Masa itu, kakeknya pernah cemas. Gara-garanya anaknya sempat keblowok (jatuh ke selokan) ketika mau ngaji ke masjid yang lokasinya puluhan meter dari rumahnya.
Karena kejadian itu, Syafi’i lantas kepikiran untuk membuat tempat ibadah sendiri yang bisa digunakan untuk keluarganya dan orang-orang di sekitarnya.
Lalu, Syafi’i memutuskan mengamputasi sebagian lahan di rumahnya yang luasnya sekitar 2.000 meter persegi untuk dipakai sebagai langgar atau musala. Waktu itu belum disebut masjid.
Setelah jadi, setiap hari, bukan hanya keluarganya tapi juga banyak warga sekitar menunaikan salat di masjid tersebut. Seiring waktu, di situ juga digelar kegiatan mengaji dari Juz Amma dan Alquran untuk anak-anak dan orang dewasa.
“Lambat laun jamaahnya terus bertambah. Hingga kemudian ada yang mengusulkan untuk dipakai Jumatan. Makanya bukan lagi disebut musala, tapi masjid,” kata Rachman.
Salah satu anak H. Syafi’i yang aktif memakmurkan Masjid Bahagia adalah Fatimah yang dinikahi Usman Effendi. Keduanya adalah orang tua Abdul Rachman.
“Ibu dulu pengurus Aisyiyah Surabaya. Saya sering lihat ibu pakai baju Aisyiyah pergi bersama teman-temannya, katanya menghadiri pengajian,” beber Abdul Rachman.
Tak hanya itu saja. Rata-rata di keluarga Fatiman punya orientasi yang sama dalam menyekolahkan anak-anaknya. Setelah anak-anaknya lulus SD, biasanya melanjutkan SMP dan SMA di Mualimin dan Mualimat di Jogjakarta.
Lalu, kenapa dinamakan Masjid Bahagia? Karena persepsi banyak orang, nama masjid biasanya menggunakan bahasa Arab, seperti Masjid Jami’, Al Akbar, Al Falah, Al Abror, Al Muhajirin, Al Furqon, dan masih banyak lagi.
Rachman mengaku tidak tahu persis kenapa memilih nama bahagia itu. Karena sebelumnya masjid itu tidak ada namanya. Tak satu pun papan nama yang dipasang.
“Saya tanya ke orang tua dan bibinya, kenapa kakek milih kata bahagia. Beliau juga tak tahu alasannya. Hanya bilang kalau kakek punya CV Bahagia. Semua usahanya dinamakan bahagia. Tailor Bahagia, Apotik Bahagia. Mungkin karena itu orang-orang menamai Masjid Bahagia,” beber Rachman.
Aktivitas di Masjid Bahagia kian hari kian padat. Di setiap peringatan hari besar Islam seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Islam, Nuzulur Quran, dan lainnya, masjid tersebut selalu dipadati jamaah.
Saking banyaknya jamaah yang datang, tiap kegiatan keagamaan harus digelar sampai ke luar, menutup sebagian jalan. Seperti saat bulan puasa Ramadan, Masjid Bahagia dipakai untuk salat tarawih. Juga ketika digelar salat Id.
Agus Santoso, warga Pandean Gang I, Surabaya punya kenangan tersendiri di Masjid Bahagia tersebut. Semasa kecil, dia kerap ikut salat tarawih di sana.
“Selain menyediakan takjil, di masjid itu juga menyediakan nasi bungkus untuk buka puasa. Jamaahnya full, sampai meluber ke jalan,” tutur pria yang dipercaya sebagai juru pelihara Sumur Jobong.
“Nah, kalau malam likuran (sepertiga terakhir bulan Ramadan, red), yang ikut salat tarawih di Masjid Bahagia juga diberi angpao. Saya dan teman-teman waktu itu tak pernah melewatkan,” timpal Agus, lalu tersenyum.
***
Suatu hari, H. Syafi’i pernah ditemui KH. Nurhasan Al Ubaidah Lubis, pimpinan Darul Hadits. Sebagai muslim, H Syafi’i menerima dengan tangan terbuka kedatangan Nurhasan Al Ubaidah itu.
Dari pembicaraan, Nurhasan Al Ubaidah lalu menyampaikan niatnya untuk mengajak H. Syafi’i bergabung dengan Darul Hadits. “Namun kakek kami menolak,” beber Abdul Rachman.
Dalam perjalanan, H. Syafi’i tidak melanjutkan aktivitas usahanya. Apotek Bahagia miliknya lebih dulu dijual. Dia memang ingin membagi harta kekayaan yang dimiliknya untuk untuk 11 anaknya.
Sementara rumah di Jalan Peneleh Nomer 37, Surabaya dijual tahun 1982 setelah H. Syafi’i meninggal dunia. Yang membeli Hasan Abeldan. Dia punya usaha percetakan. Dia dikenal pengusaha dan pengurus Muhammadiyah.
“Hanya kakek berpesan sebelum meninggal, kalau rumah itu boleh dijual, tapi masjid tidak boleh dibongkar,” kata Rachman yang kini tinggal di Jakarta.
Rumah yang dulu dipakai usaha konveksi itu oleh Syafi’i tersebut akhirnya diganti menjadi usaha percetakan yang memiliki label Karunia.
“Keluarga kami mengamini wasiat Mbah Pi’i (H.Syafi’i, red). Makanya, ayah tidak mau membongkar Masjid Bahagia itu,” ungkap Rusdi Kurniawan, anak kedua H. Hasan Abdan.
Rusdi lalu mengungkapkan, saat mengelola Masjid Bahagia itu ayahnya dibantu Abdillah (dulu menjabat ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya).
Ada lagi yang juga aktif membantu, namanya M Jasin. Dia pejabat di Pemerintah Kota Surabaya, sempat menjabat sebagai Sekretaris Kota Surabaya era Wali Kota Sunarto Sumoprawiro.
Pada 14 Agustus 2005, waktu itu masih bernama Musholla Bahagia, diwakafkan Hasan Abdan kepada Pimpinan Cabang Aisyiyah Genteng Bagian Dikdasmen.
Dalam prasasti yang hinga kini masih ada di Masjid Bahagia, serah terima wakaf itu ditandatangani oleh H. Hasan Abdan selalu Muwafiq dan Hj. Siti M. Mighfar, S.Ag selaku Nadzir.
Selama menjadi binaan Muhammadiyah, aktivitas di Masjid Bahagia semakin padat. Masjid itu sering dipakai rapat dan pertemuan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Peneleh.
Kegiatan organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah, seperti Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, maupun Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) juga sering diadakan di Masjid Bahagia.
Meski tidak sebesar masjid-masjid Muhammadiyah yang lain, keberadaan Masjid Bahagia ini sangat efektif dalam menjalankan fungsi syiar dan dakwah.
Masjid Bahagia selalu terbuka untuk semua umat Islam yang mau melaksanakan ibadah. Barangkali selaras dengan namanya, jika siapa pun mau memakmurkan masjid, dia akan menemukan kebahagiaan.
Seperti pesan dalam suatu riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang membangun masjid karena Allah walaupun hanya selubang tempat burung bertelur atau lebih kecil, maka Allah bangunkan baginya (rumah) seperti itu pula di surga.” (HR. Ibnu Majah).(*)
*Agus Wahyudi, jurnalis senior tinggal di Surabaya