Menguji Keseriusan Pemerintah Melestarikan Bangunan Cagar Budaya

Sebagian orang sudah tahu, bangunan cagar budaya (BCB) di Jalan Tunjungan 80, Surabaya cepat atau lambat akan lenyap alias dibongkar. Kemudian untuk didirikan gedung baru pencakar langit. Bangunan ini dulunya adalah Loji Pamitran (Loge De Vriendshap). Dibangun pada 1812 untuk mewadahi perkumpulan yang didirikan oleh HJ Van Cattenburch pada 28 September 1809.

Sekarang. dikabarkan kalau gedung cagar budaya yang dikenal dengan Kantor BPN itu, telah dikuasai sebuah kantor jasa administrasi, yang mencatat dan mengurus  dokumen-dokumen penting dari bangunan bangunan peninggalan era Belanda.

Eddie Samson, pengamat Cagar Budaya dari Tim 11 Von Faber, yang dulunya pernah bekerja untuk kantor administrasi tersebut, menyebut kantor ini juga memiliki sejumlah aset tanah dan bangunan di Surabaya yang merupakan peninggalan era pemerintahan Hindia Belanda.

Pada 2019, kantor administrasi ini pernah berdiskusi dengan sebuah kantor Konsultan Perencanaan di Surabaya yang mengerjakan tata ruang di kawasan Tunjungan. Mereka punya rencana mendirikan bangunan di atas lahan gedung cagar budaya Loge De Vriendschap.

Sempat disampaikan oleh salah satu arsitek dari konsultan perencanaan, bahwa bangunan itu berstatus cagar budaya yang jika dikembangkan harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

foto: begandring

Eddie Samson membenarkan adanya rencana pembangunan gedung bertingkat di lahan gedung Loge De Vriendschap. Ia tidak setuju karena bangunan itu termasuk cagar budaya.  “Saya tidak setuju dengan rencana itu. Karenanya saya mengundurkan diri,” tutur Eddie Samson kepada Begandring Soerabaia, Senin (28/2/2022).

Lokasi aset BCB ini sangat strategis dan ekonomis. Berada di kawasan segitiga emas Central Business District (CBD), yakni Tunjungan–Embong Malang-Blauran. Apalagi di kawasan ini sudah bermunculan gedung-gedung pencakar langit. Termasuk di Jalan Tunjungan sendiri. Bukan tidak mungkin, gedung pencakar langit serupa akan dibangun di lokasi lahan BCB ini.

Baca Juga  Carel Reynierz, Gubernur Jendral Hindia Belanda ke-11 Pernah Tinggal di Gedung Setan

Adanya sebuah gambar perspektif yang menunjukkan pembangunan gedung  baru di lahan gedung Loge De Vriendschap, semakin meyakinkan jika BCB sebagai warisan budaya masa lalu yang dibangun tahun 1812 ini, terancam dibongkar.

Sebagai karya warisan budaya masa lalu, cagar budaya sesungguhnya menjadi penting perannya untuk tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata. Karena itu, sangat penting untuk dipertahankan keberadaannya.

foto: begandring

Warisan budaya baik yang bersifat bendawi (tangible) dan yang bukan bendawi (intangible), merupakan bagian integral dari kebudayaan secara menyeluruh. Karenanya, kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai penting harus dilestarikan.

Dalam rangka menjaga dan melestarikan cagar budaya dari ancaman pembangunan fisik di suatu wilayah perkotaan, misalnya di Surabaya, maka diperlukan kebijakan yang tegas dari Pemerintah untuk menjamin eksistensinya demi kepentingan umum yang bersifat ideologis, historis, akademis, dan bahkan ekonomis untuk publik.

Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan Kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar besarnya digunakan kemakmuran rakyat.

Isu tentang akan didirikannya gedung pencakar langit di lahan BCB Loge De Vriendschap yang berstatus bangunan cagar budaya akan menjadi ujian bagi Pemerintah Kota Surabaya dan para pegiat sejarah dan cagar budaya.

Menurut pengamat kebijakan publik Dr BF Soetadi, pemerintah harus tegas dalam melindungi aset cagar budaya yang telah ditetapkan sesuai undang-undang. Apalagi juga telah ditetapkan melalui SK Walikota Surabaya.

“Sanksi bagi para pelanggar sesuai undang-undang sangat ringan karena hanya masuk Tipiring (Tindak Pidana Ringan). Karenanya, dalam rangka pelestarian, penyelamatan, dan pemanfaatan sesuai amanah undang-undang, pemerintah harus tegas dan serius,” kata Sutadi.

Dalam rangka penyelamatan warisan cagar budaya yang memiliki nilai-nilai penting bagi tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata, DPRD Kota Surabaya menginisiasi dibuatnya Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya.

Baca Juga  Pandean Lor Diduga sebagai Kampung Lahir Bung Karno

Menurut Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya A. Hermas Thony, Raperda ini akan menjadi guideline pengelolaan, pemanfaatan dan upaya pemajuan warisan budaya, termasuk cagar budaya di Surabaya.

Raperda itu mendorong upaya pemajuan nilai nilai yang ada pada objek kebudayaan, kejuangan, dan kepahlawanan tanpa harus mengesampingkan pelestariannya.

Sekarang bagaimana caranya dan apa yang harus dilakukan agar Loge De Vriendschap tidak mengalami nasib serupa seperti Rumah Radio Bunga Tomo, Rumah Ibadah Synegog, dan Stasiun Semut.

“Kalau toh harus dimanfaatkan, maka perlu ada keseimbangan antara kepentingan ideologis, historis, akademis dan bahkan ekonomis,” kata A. Hermas Thony.

Bangunan Loge De Vriendschap adalah bangunan yang sangat langka, berusia lebih dari 200 tahun, dan satu satunya bangunan bergaya Yunani yang tersisa di Surabaya. Pilar-pilar penyangga teras dengan gawel segitiga adalah gaya Parthenon di Yunani. Karenanya bangunan ini sedah berstatus cagar budaya.

Dalam rangka pemanfaatan bangunan cagar budaya yang harus melakukan perubahan perubahan fisik, seharusnya setelah ada penetapan BCB atas suatu bangunan, maka perlu ada tindakan zonasi sebagaimana tersebut dalam pasal 73 UU Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya untuk menentukan bagian-bagian yang penting pada bangunan tersebut.

Menurut Ketua Tim Cagar Budaya Surabaya Retno Hastijanti, zonasi dilakukan setelah penetapan status cagar budaya. Zonasi diperlukan untuk tindakan konservasi. Karena dalam pembuatan zonasi, digunakan analisis kepentingan untuk mencari bagian mana yang paling penting dari objek tersebut.

“Nilai sejarahnya kah, atau lainnya, lalu representasinya dalam objek tersebut apa saja dan di mana saja. Itu yang jadi dasar penentuan zonasi, Undang-undang sebagai perlindungan hukum sudah sangat kuat,” kata Retno. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *