Panggung Terpanjang dalam Pertunjukan Perobekan Bendera

Gelaran “Refleksi Perobekan Bendera” berlangsung di depan Hotel Mojopahit, Minggu pagi (18/9/2022). Kegiatan ini dihelat oleh Pemerintah Kota Surabaya.

Dalam sambutannya, Wali Kota Eri Cahyadi menyatakan, Kota Surabaya bagaikan rumah keberagaman, rumah kebhinekaan.

Bak tata gaya orasi nan puitis, Eri yang berdiri di panggung kecil, menghadap undangan menggambarkan jiwa dan semangat Arek-Arek Suroboyo dengan penuh penjiwaan. Suaranya lantang. Mimik wajahnya ekspresif.

Ia mendeskripsikan Arek-Arek Suroboyo yang kala itu terlibat dalam perang kemerdekaan. Mereka sudah beragam dalam kebhinekaan.

Keragaman ini tampak dalam pidato Bung Tomo, ketika menyemangati pejuang pejuang Surabaya dalam menghadapi tentara Sekutu pada November 1945.

Dikatakan Bung Tomo: “ bahwa Rakyat Indonesia di Surabaya.

Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, Sulawesi, Pulau Bali, Kalimantan, seluruh Sumatera, Aceh, Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, …

Suasana di dJalan Tunjungan saat berlangsung acara Perobekan Bendera. foto: begandring

 

Dari isi pidato itu diketahui bahwa di Surabaya berdiam orang orang dari beragam suku, agama dan kepercayaan. Mereka telah bersatu mengamankan kedaulatan dari upaya kembalinya kolonialisme ke bumi pertiwi melalui gerbang Surabaya.

Rakyat Surabaya tanpa dikomando menolak upaya hadirnya bangsa Asing, yang hendak menjajah kembali Indonesia. Sikap itu ditunjukkan dengan penolakan berkibarnya bendera Merah Putih Biru di atas Hotel Yamato (Jepang), sekarang Hotel Majapahit.

Kebaragaman Nusantara itu diaktualisasikan dalam salah satu sekuel acara Refleksi Perobekan Bendera. Ada satu regu, yang anggotanya mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Papua hingga tanah Rencong Aceh.

Secara umum peristiwa bersejarah perobekan bendera ketika diaktualisasikan dalam sebuah pergelaran memang monoton, tidak ada perubahan. Ini beralasan karena garis sejarahnya memang seperti itu. Kisahnya diawali dengan suasana yang tentram, lalu terdengar berita proklamasi. Rakyat bersuka ria. Bendera Merah Putih pun berkibar menghiasi angkasa raya.

Baca Juga  Jelajah Jalur Rempah, Belajar Keberagaman

Tidak lama pasca kemerdekaan, kegaduhan terjadi di Surabaya dengan berkibarnya bendera Merah Putih Biru di atas tiang bendera hotel Yamato. Rakyat bergolak, menolak bendera itu karena dianggap ada upaya bercokol nya kembali kolonialisme.

Adegan heroik di depan Hotel Majapahit. foto: begandring

Insiden bendera terjadi. Bendera Merah Putih Biru disobek, dibuang birunya, Merah Putih dikibarkan meski ada nyawa menjadi taruhan. Surabaya berseru kepada Indonesia untuk bersatu mengamankan kedaulatan. Surabaya berseru kepada dunia bahwa Indonesia tidak mau dijajah.

Itulah peristiwa sejarah yang setiap tahun diperingati oleh rakyat Surabaya. Peringatan ini menunjukkan keberanian arek arek Surabaya, para pejuang Indonesia yang ada di Surabaya.

Namun ada yang berbeda dari pergelaran tahun ini dari tahun tahun sebelumnya. Jalan Tunjungan yang membujur sepanjang hampir 1 kilometer menjadi panggung pertunjukan. Inilah panggung pertunjukan terpanjang. Panggung bersejarah yang menjadi pijakan kiprah kreativitas arek arek Surabaya sekarang dalam menghargai para pendahulunya yang telah memerdekakan bangsa dari belenggu penjajahan.

Ribuan pemain berkonstalasi apik dalam menghadirkan pesan kemerdekaan dan perobekan bendera. Dari jalan Tunjungan sisi utara, fragmentasi pertunjukan dimulai. Seiring dengan jalannya scenario, gerak, langkah dan musik bergerak ke selatan hingga puncaknya di depan hotel legendaris. Disanalah puncak pertunjukan dipertontonkan.

Persis di depan hotel ini terpasang layar LED lebar, yang menayangkan rangkaian cerita yang bisa disimak oleh para undangan yang terdiri dari Walikota, jajaran OPD, para veteran, camat se Surabaya dan undangan lainnya. Teknogi ini menjadi pembeda dari tampilan pergelaran serupa di tahun tahun sebelumnya.

Hani, salah seorang pengunjung yang berdiri di seberang hotel mengatakan bahwa sajian kali ini enak karena pengunjung seperti dirinya bisa menyaksikan seluruh rangkaian acara hanya dengan melihat layar lebar.

Baca Juga  Catatan dari BWCF (Bagian 2): Membaca Sangguran yang Tak Kunjung Pulang

Secara teknis memang dikerahkan sejumlah perangkat dan sistim penyiaran. Ada sejumlah kamera video dan drone yang dipasang di beberapa titik untuk mengcapture adegan dan sajian yang dibuat online untuk dapat dilihat dalam satu kesatuan di layar lebar.

Tampak dari pantauan drone bahwa kondisi di sepanjang jalan Tunjungan penuh dengan warga Surabaya. Ribuan penonton ini kemudian dirajut dengan bendera merah putih sepanjang 800 meter. Bendera ini menyatukan warga yang beragam. Itulah akhir dari pertunjukan kolosal dalam peringatan insiden bendera pada 19 September. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *