Puncak Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) diperingati setiap 31 Mei. Penetapan tanggal tersebut mendapat sorotan tajam dalam webinar yang digelar Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur, Sabtu (28/5/2022). Kegiatan itu menghadirkan dua narasumber, yakni Dr. Sumarno (Unesa) dan Nanang Purwono (Ketua Begandring Soerabaia).
Nanang Purwono yang membeber tema “Meluruskan Sejarah Kota Surabaya”, menyebut lintasan sejarah Surabaya mulai dari era klasik hingga masa kemerdekaan, sangat panjang dan menyimpan sejuta kisah.
Ada tiga cerita terkait dengan sejarah Kota Surabaya yang perlu dikaji ulang agar tidak salah kaprah yang akhirnya menjadi pembenaran. Yakni, sejarah hari jadi, letak pelabuhan Hujung Galuh dan tuntutan penyematan kembali motto atau semangat pada emblem Kota Surabaya.
“Selama ini, Pemerintah Kota Surabaya meyakini Hari Jadi Kota Surabaya jatuh pada 31 Mei sesuai SK Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 64/WK/75 tentang Penerapan Hari Jadi Kota Surabaya Tanggal 31 Mei 1293 Masehi,” katanya.
Tanggal ini, terang Nanang, merupakan satu dari empat alternatif yang diajukan Tim Pencari Hari Jadi Kota Surabaya yang terdiri dari profesor, guru besar, sejarawan, akademisi dan budayawan. Tim ini dibentuk Wali Kota Soeparno pada 1973, dan dalam proses kerjanya, terjadi pergantian pada 1975, yakni dari Wali Kota Soeparno ke Wali Kota Soekotjo.
“Di tangan Soekotjo inilah empat alternatif Hari Jadi Kota ditentukan,” sebut pria yang juga wartawan senior itu.
Keempat alternatif Hari Jadi Kota Surabaya ini adalah: a) 31 Mei 1293, kemenangan Raden Wijaya atas Tartar, b) 11 September 1294, penganugerahan tanda jasa kepada Kepala Desa Kudadu atas jasanya membantu Raden Wijaya, c) 7 Juli 1358, Prasasti Canggu yang menuliskan nama Curabhaya sebagai Naditira Pradeca, dan d) 3 November 1486, Prasasti Jiu dimana Adipati Surabaya mulai menjalankan pemerintahan.
Tahun 1975, kata Nanang, kesaksian Yousri Nur Raja Agam, wartawan senior yang meliput proses penetapan HJKS, Wali Kota Soekotjo mempertimbangkan bulan yang tidak berdekatan dengan bulan-bulan peringatan hari besar lain yang sudah ada.
“Bulan Agustus, karena ada peringatan Hari Kemerdekaan dan bulan November karena ada peringatan Hari Pahlawan. Bulan yang berjauhan atau memiliki jarak dari bulan Agustus dan November adalah bulan Mei, yaitu 31 Mei 1293 sebagai alternatif pertama. Sedangkan alternatif kedua 11 September 1294, alternatif ketiga 7 Juli 1358 dan ke empat 3 November 1486,” jabar Nanang.
Tanggal 11 September dianggap dekat dengan bulan Agustus. Tanggal 7 Juli berdekatan dengan Agustus. Sedangkan tanggal 3 November sangat mepet dengan 10 November. Karena pertimbangan berdekatan dengan bulan-bulan besar,Agustus dan November, dipilihlah bulan Mei tanggal 31 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya.
“Aneh, dasar pertimbangannya kok agar tidak berdekatan dengan bulan-bulan perayaan yang sudah ada. Pemilihannya mengabaikan pertimbangan historis,” keluh Nanang.
Wali Kota Soekotjo kemudian menyerahkan keputusannya ke DPRD Kotamadya Surabaya agar disyahkan. Ternyata di tingkat pembahasan dewan pun masih terjadi perdebatan perihal hari yang dipilih wali kota.
Meski pun masih tarik ulur di tingkat pembahasan Pansus Dewan, akhirnya Dewan menetapkan 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Perdebatan ini terdokumentasikan pada buku Hari Jadi Kota Surabaya yang diterbitkan Humas Kotamadya Surabaya, 1975.
Namun demikian, dalam SK DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 2/DPRD/Kep/75, Dewan memberikan catatan, bilamana kelak di kemudian hari terdapat kekeliruan di dalam penetapan ini, maka penetapan ini ditinjau kembali.
Karena pesan hukum yang tertuang dalam SK DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya inilah, Perkumpulan Begandring Soerabaia, sebuah komunitas sejarah Kota Surabaya, mengingatkan pihak-pihak terkait, utamanya Pemerintah Kota Surabaya untuk melakukan kaji ulang terhadap Hari Jadi Kota Surabaya yang sejak tahun 1975 diperingati pada tanggal 31 Mei.
“Sebetulnya upaya ini sudah dilakukan tahun 2021 lalu, dengan berkirim surat ke Pemerintah Kota Surabaya melalui Wakil Wali Kota Armuji,” tandas Nanang.
“Ini adalah upaya pelurusan sejarah kota. Upaya ini tidak lepas dari sumber-sumber sejarah yang berhasil kami kumpulkan.” Imbih Nanang.
Letak Hujung Galuh
Selain sejarah HJKS, Begandring Soerabaia juga mencoba meluruskan sejarah mengenai letak Pelabuhan Hujung Galuh, yang selama ini diangap berada di Surabaya.
Diduga, pendapat yang akhirnya berubah menjadi sebuah keyakinan komunal bahwa Hujunggaluh adalah awal mula Surabaya, berasal dari sumber Buku Hari Jadi Kota Surabaya yang diterbitkan Pemkot Surabaya, tahun 1975. Terbitan ini memuat hasil kajian tim peneliti HJKS yang salah salah satunya mengisahkan Hujung Galuh yang ditulis sebagai cikal bakal Kota Surabaya atau Hujung Galuh berada di Surabaya.
Ada pun sumber sejarah yang dipakai sebagai dasar kajian tim peneliti adalah sebuah prasasti yang ada di desa Kelagen, Tropodo, Krian, Sidoarjo. Namanya Prasasti Kamalagyan, peninggalan Raja Airlangga dari abad X.
Padahal, pada prasasti ini disebutkan bahwa letak pelabuhan Hujung Galuh berada di hulu sungai, yang mengalir melewati Daerah Aliran Sungai (DAS) di daerah di mana Prasasti Kamalagyan berada.
Sementara, dari penelusuran Tim Begandring ke Desa Kelagen untuk mengamati Prasasti Kamalagyan, pada baris ke-12 berbunyi: ”Kapwa ta sukhamanaḥ nikāŋ maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri hujuŋ galuḥ, tkarikāŋ parapuhawaŋ prabaṇyaga sankāriŋ dwīpāntara”,
(Semua orang bergembira, dan berperahu (lah) menuju hulu, untuk mengambil barang dagangan di Hujung Galuḥ. Di sana datang (pula) para nakhoda dengan kapal-kapal dagang dari pulau pulau sekitar).
“Di prasasti disebutkan jelas bahwa letak Hujung Galuh berada di Hulu (barat laut) dari dimana prasasti itu berada (Kamalagyan), mengapa kemudian dalam buku Hari Jadi Kota Surabaya, disebutkan bahwa letak Hujunggaluh berada di Hilir sungai atau menuju ke muara. Jadi singkatnya Hujunggaluh itu tidak di Surabaya”, tegas Nanang.
Penggunaan Motto Surabaya
Kota Surabaya adalah kota yang kehilangan motto atau semangat yang secara formal umumnya tersematkan pada logo (emblem) kota dengan gambar ikan hiu, buaya, serta Tugu Pahlawan.
Jika dibandingkan dengan Negara Indonesia dan kota atau daerah lain, mereka ini memiliki motto yang bisa senantiasa menjadi semangat sebagai pijakan berkarya. Misalnya, Indonesia dengan lambang burung Garuda yang mottonya “Bhinneka Tunggal Eka”.
Lalu, Kota Malang bermotto “Malang Kucecwara”, yang artinya Tuhan menghancurkan yang bathil dan menegakkan yang baik”.
Kota Kediri bermotto “Jaya ing Baya”, artinya mengalahkan Marabahaya”. Kota Pasuruan bermotto “Sura dira satya pati”, artinya teguh dan setia kepada negara, agama, dan pemimpin. Serta Kota Blitar bermotto “Kridho Hangudi Jaya “, artinya bekerja keras untuk mencapai kejayaan atau kemenangan.
Bagaimana dengan Surabaya?
Kota ini bernama Surabaya dengan lambang ikan hiu dan buaya. Mottonya? Tidak ada!
Padahal dulu, motto Surabaya adalah “Sura ing Baya”. Motto ini secara harfiah artinya orang pemberani menghadapi bahaya atau tantangan. Bukti pernah adanya motto ini bisa dilihat pada emblem kota sebagai peninggalan Museum Kota Surabaya di SMA Trimurti.
“Sura ing Baya” ini secara harfiah bukan Surabaya yang sering diterjemahkan ikan hiu dan buaya.
“Sura ing Baya” secara harfiah adalah orang yang berani (pemberani) menghadapi bahaya atau tantangan.
Jadi motto “Sura ing Baya” itu merupakan kata sifat atau sifat yang dimiliki orang Surabaya. Yaitu orang Surabaya yang berani menghadapi bahaya dan tantangan. Ternyata sifat berani dalam menghadapi bahaya ini sudah ditunjukkan oleh para pendahulu ketika Arek-Arek Suroboyo berani menghadapi Sekutu yang bersenjata mesin lengkap.
“Meski pun pejuang Surabaya diultimatum, tapi mereka lebih memilih lebih baik mati dari pada dijajah kembali. Maka, pecahlah perang 10 November 1945,” pungkas Nanang (*)