Pembangunan Penjara Koblen yang Dramatik

Penjara Bubutan atau Penjara Koblen dibangun awal tahun 1930-an. Sekarang, di tahun 2023, usianya hampir mendekati satu abad alias 100 tahun. Di masanya, Penjara Koblen ini sudah terbilang sangat modern dalam design bangunan.

Bahkan hingga sekarang, ada saja warga kota Surabaya yang menduga bahwa Penjara Koblen itu adalah penjara baru alias bukan dari peninggalan kolonial.

Dugaan itu atas dasar material tembok penjara yang terbuat dari batu alam hias berwarna kuning kecoklatan yang biasa disebut batu palimanan. Batu jenis ini umum dipakai pada rumah rumah di kompleks perumahan mewah di Surabaya.

Padahal, Penjara Koblen ini dibangun pada masa pemerintahan kolonial. Di eranya, penjara ini memang penjara baru yang di-design visionir modern.

Hal ini disesuaikan dengan lokasi penjara yang merupakan kawasan elit pada masanya. Bubutan adalah salah satu kawasan elit di Bovenstad Surabaya. Bovenstad adalah area perluasan kota lama, Benedenstad.

Dua tahun sebelum pembangunan, atau di kisaran tahun 1928, memang sudah ada rapat-rapat anggota dewan (raad) dan pemerintah kota (gemeente), yang di salah satu rapat itu seorang anggota dewan menilai bahwa Pemerintah Kota Surabaya sudah sangat terlambat (te laat) dalam pembangunan fasilitas umum berupa penjara itu.

Padahal Kota Surabaya sudah sangat perlu memiliki sarana penjara yang baru sebagai pengganti penjara lama di Kalisosok di Kota Lama.

Ketika berbagai pembangunan di kota atas (bovenstad) pada awal tahun 1920-an sudah mulai dikerjakan, fasilitas penjara yang dibutuhkan belum ada.

Contoh fasilitas publik yang dibangun di awal 1920-an, di antaranya, Balai Kota di Ketabang (1923), Sekolah Santa Maria di Darmo (1920), pengadilan di Sawahan (1924) dan gereja Kristen di Bubutan (1924).

Baca Juga  Prasasti Canggu dan Pengembangan Peneleh
Pembangunan Penjara Koblen yang Dramatik
Menara pengawas di dalam area bekas Penjara Koblen. foto: begandring

Dalam rapat yang dihadiri anggota dewan dan pemerintah (gemeenteraad vergadering), pihak pemerintah banyak dikritik oleh dewan. Kala itu, wali kota Surabaya dijabat Ir Dykerman. Apalagi Dykerman juga bekerja untuk B.O.W. (Burgelijke Openbare Werken), sebuah dinas yang menangani pembangunan infrastruktur kota.

Karena banyaknya kritik itu, Pemerintah Kota Surabaya secara berangsur menyiapkan dana untuk rencana pembangunan penjara. Dana yang dibutuhkan sebesar f 45.000 gulden untuk pengadaan lahan, f 76.000 gulden untuk pembangunan tembok penjara, dan f 20.000 gulden untuk pembangunan ruang sel sel tahanan.

Ketika pemilihan lokasi untuk pembangunan penjara sudah muncul, maka berbagai perdebatan pun mengiringi. Awalnya, pemilihan lokasi penjara baru itu di daerah Sawahan. Karena dianggap berdekatan dengan kantor pengadilan, maka pemerintah Kota Surabaya tidak setuju.

Tapi pertimbangan pemerintah sendiri adalah bahwa lokasi itu dianggap jauh dari Balai Kota yang berlokasi di Ketabang. Selain itu, pertimbangan lain agar penjara baru tidak jauh sekali dari penjara lama Kalisosok yang ada di kota lama (Benedenstad).

Ada satu lagi pertimbangan penting, yaitu agar penjara baru tidak jauh dari gereja yang menjadi sumber pelayanan ruhani bagi tawanan.

Dengan mempertimbangkan hal hal itu kemudian ditemukan lahan kosong yang tidak ada penghuni. Lokasinya tidak jauh dari gereja serta berada di antara kantor pengadilan, Balai Kota dan penjara lama Kalisosok. Tempatnya di Bubutan, berjarak sekitar 200 meteran di barat Gereja Bubutan.

Sementara jalan Bubutan menjadi akses penting untuk hilir mudik dan menghubungkan penjara lama (Benedenstad) dan penjara labu (Bovenstad).

Dari lokasi itu, di selatan ada kantor pengadilan Sawahan, di timur ada Balai Kota dan di utara ada penjara lama Kalisosok.

Baca Juga  Semua Kampung Kelurahan Peneleh Layak Ditetapkan Cagar Budaya

Setelah disepakati lahan di Bubutan, maka pembangunan terfokus pada tembok penjara. Bahan bangunan untuk tembok dipilih batu batu alam yang sangat cadas dan keras.

Batunya artistik berwarna kuning kecoklatan alam, seperti batu palimanani. Permukaan setiap batu yang dipasang dibuat rata dan setiap batu yang dipasang memiliki jarak pasang (nat) yang relatif sama.

Terlihat bahwa setiap batu yang dipasang menyesuaikan dengan bentuk batu lainnya yang telah terpasang. Begitu seterusnya hingga membentuk tembok dengan tinggi sekitar 3,5 meter, tebal 50 cm dengan panjang tembok yang mengelilingi lahan seluas hampir 4 hektar.

Dengan tampilan yang modern itu, maka secara arsitektur keberadaan penjara Bubutan ini akan ramah dengan permukiman sekitar yang bakal muncul dengan elit dan modern. Sehingga, dari luar tampilan penjara Bubutan tidak terkesan sangar. Meskipun di dalam penjara kabarnya sangar.

Setelah pembangunan tembok (1929), proses pembangunan kompleks penjara sempat terhenti karena pemerintah kesulitan dana. Akibatnya, setelah tembok selesai, di dalam tidak ada bangunan.

Kerena itu pihak Dewan kembali menanyakan kepada pihak pemerintah tentang kelanjutan pembangunan penjara Bubutan. Di sadari bersama karena pemerintah memang kekurangan dana, maka kedua belah pihak harus sabar dalam proses dan kelanjutan pembangunan.

Lantas, pada tahun 1930, pembangunan dilanjutkan dengan pendirian gedung gedung untuk penjara dan segala pendukungnya.

Kini Penjara Koblen sudah berusia hampir 100 tahun. Kondisi sekarang bagai suasana sebelum ada pembangunan sal-sal di tahun 1929. Kini kondisi bekas penjara Bubutan atau Koblen ini hanya berupa tembok saja yang mengelilingi lahan.

Karenanya, peninggalan sejarah ini layak dijaga kelestariannya dan dikembangkan kemanfaatannya sesuai dengan kebutuhan asal tidak mengganggu kelestarian bangunan cagar budaya. Penjara Bubutan adalah salah satu bangunan yang ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya.

Baca Juga  Istana OEI TIONG HAM, SANG RAJA GULA LEGENDARIS

Menurut Undang Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya bahwa peninggalan cagar budaya dapat didayagunakan untuk kesejahteraan yang seluas luasnya dengan tetap mempertahankan kelestariannya.

Sejarawan Unair Prof Purnawan Basundoro berpendapat, memanfaatkan bangunan cagar budaya untuk kepentingan usaha tanpa harus mengubah dan apalagi merusak bangunan itu baik-baik saja. (nanang purwono)

 

 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *