Sebanyak 10 mahasiswa dari Universitas Chuo, Tokyo, Jepang menyisir Kampung Peneleh dan Pandean, Rabu (1/3/2023). Di bawah mendung yang bergelayut di langit Surabaya, mereka menikmati jalan-jalan sejarah sambil mempraktikkan bahasa Indonesia.
Kegiatan ini adalah bagian dari aktivitas edukasi (educational activity) mereka selama belajar di Jurusan Kejepangan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga. Kesepuluh mahasiswa Jepang ini terpilih dan mendapat kesempatan pergi ke Indonesia untuk memperdalam pelajaran Bahasa Indonesia.
Rencananya, mereka akan tinggal di Surabaya selama 3 minggu. Selama di Surabaya, selain memperdalam bahasa Indonesia, mereka juga diperkenalkan dengan budaya lokal. Selain di Peneleh, mereka juga akan mengunjungi Trowulan.
Ketika berkunjung ke Peneleh, mereka terhitung sudah tiga hari berada di Surabaya. “Saya baru datang di Surabaya tiga hari lalu. Jadi saya masih baru di sini”, kata Nakata Riri, salah seorang mahasiswi Universitas Chuo.
Menurut Dwi Anggoro, dosen Jurusan Kejepangan FIB Unair, para mahasiswa Jepang itu sengaja diajak mengamati kebiasaan lokal dan Peneleh menjadi jujugan.
“Karena Peneleh dikenal kaya akan sejarah. Ada sejarah klasik, sejarah kolonial, sejarah pergerakan hingga sejarah kemerdekaan,” jelas Dwi.
Di Peneleh ini mereka mengikuti program Surabaya Urban Track (Subtrack) yang dikelola Begandring Soerabaia. Selain mengenal jejak sejarah yang tersimpan di Peneleh, mereka juga diajak mengamati kampung-kampung di sepanjang perjalanan.
Sebuah pemandangan sosial kultur yang jauh berbeda dari Jepang. Di Pandean dan Peneleh, mereka diajak menyusuri gang-gang sempit dengan pemandangan aktivitas warga sehari-hari. Ada yang menjemur karak, ada yang menjemur pakaian di depan rumah, ada yang memasak di samping rumah, ada juga yang sedang menyusui bayi sambil bercanda dengan tetangga.
Itulah potret sosial budaya di daerah urban Surabaya. Namanya Kampung. Bagi kita orang Surabaya, kondisi kampung adalah hal biasa. Tapi bagi mahasiswa Jepang, pemandangan sosial budaya di kampung adalah luar biasa. Ada pemandangan kontras antara Kampung Surabaya dan kondisi urban di Jepang.
Ada momen cross cultural understanding (pemahaman silang budaya) di sana. Mereka belajar gaya hidup penduduk kampung. Orang kampung, termasuk kru Subtrack juga belajar kebiasaan orang Jepang.
“Luk, diberseni dewe-dewe (loh, dibersihkan sendiri sendiri),” ekspresi keheranan salah satu warga lokal ketika melihat rombongan mahasiswa Jepang membersihkan meja dan menempatkan piring piring dan gelas setelah mereka makan.
Ternyata bagi orang Jepang, membersihkan peralatan makan sendiri dan membersihkan meja di tempat umum setelah mereka makan adalah kebiasaan sehari hari.
Dua Bahasa dan Kolaborasi
Perjalanan Subtrack bersama mahasiswa Jepang diawali dari Lodji Besar sebagai titik keberangkatan. Kemudian melihat Sumur Jobong dari era majapahit, dilanjutkan mengunjungi Makam Eropa Peneleh, Rumah HOS Tjokroaminoto, menyisir Jalan Peneleh, dan terakhir melihat Rumah Lahir Bung Karno di Pandean IV.
Subtrack bersama mahasiswa Jepang ini berasa lebih istimewa. Pasalnya, di sepanjang perjalanan, mereka dipandu oleh guide dengan menggunakan dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Penyampaian narasi dalam bahasa Indonesia dibuat lebih lambat untuk memudahkan mereka memahami cerita yang disampaikan.
Agar mereka lebih memahami cerita, ada seorang penerjemah yang menyampaikan dalam bahasa Jepang. Penerjemah ini bukanlah dari mahasiswa atau penerjemah profesional, tetapi dari warga setempat yang sudah terampil berbahasa Jepang dan bertindak profesional. Ia adalah Dinar, ketua Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) di wilayah Kampung Pandean.
Dinar tidak asing dengan dunia pariwisata. Karena dia sudah lama bekerja di dunia pariwisata. Ia lulusan Sastra Jepang di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Karenanya ia mengerti bagaimana memperlakukan dan bercerita kepada wisatawan.
Interaksi antara mahasiswa Jepang dengan lingkungan di sepanjang perjalanan dan dengan dukungan ketua Pokdarwis dan warga, menjadikan sebuah interaksi kolaboratif yang mutual, saling menguntungkan. Semua bisa belajar satu sama lain dari interaksi ini.
Kelas Feedback
Seperti ketika Subtrack bersama mahasiswa Australia, beberapa waktu lalu, kali ini bersama mahasiswa Jepang juga diadakan kelas singkat yang berisi feedback.
Kelas feedback ini dibuka setelah mereka makan siang. Mereka makan ayam goreng indische dan es kopi susu premium yang menyegarkan. Suasana begitu santai dan ramah di bawah teduhnya langit Surabaya. Satu sama lain saling sapa dan komunikasi. Mereka mempraktikkan bahasa Indonesianya.
Macam-macam yang mereka bicarakan. Bahkan mereka berani memulai bertanya untuk membuka pembicaraan. Salah satunya, Nakata Riri. Ia memperkenalkan diri bahwa sebelumnya ia sudah belajar bahasa Indonesia di kampusnya di Tokyo.
Ia mengaku sangat senang bisa jalan jalan di kampung, melihat suasana dan aktivitas warga lokal. Saking menikmatinya, tak terasa perjalanan sudah selesai.
Riri merasa ingin melihat dan dekat dengan warga untuk bisa lebih mengenal kebiasaan warga lokal. Menurutnya waktu tiga minggu akan cepat berlalu dan saatnya harus balik ke Jepang.
Ia juga ingin mencoba menjelajah alam Jawa. Rafting di alam bebes menjadi impiannya setelah melihat foto-foto rafting di pulau Jawa.
Riri mengatakan, setelah kembali ke Tokyo, berikutnya ia akan kembali ke Indonesia lagi untuk kuliah di Makassar.
Secara umum mereka mendapatkan kesan yang sama. Mereka suka jelajah sejarah di Peneleh. Tapi ada sedikit yang mengganggu. Hawanya panas dan mendung. Maklum, saat ini di Jepang musim dingin. Ada perubahan iklim yang mendadak. Tiga hari sebelumnya, mereka merasakan hawa dingin. Kini mereka merasakan hawa panas dan lembab. (nanang purwono)