Jejak Soekarno di Surabaya sangat banyak. Salah satunya, keberadaan Monumen Tugu Pahlawan. Di monumen itu, terselip pesan-pesan tersembunyi Soekarno pada simbol-simbol di Kota Surabaya.
“Selain sebagai refleksi, Monumen Tugu Pahlawan ini juga sebagai simbol proyeksi bangsa Indonesia. Nilai proyeksi inilah yang tidak diketahui publik,” ujar Ketua Begandring Soerabaia Nanang Purwono dalam seminar Jejak Soekarno yang digelar Pemerintah Kota Surabaya di ruang auditorium Museum Tugu Pahlawan Surabaya, Sabtu (27/8/2022).
Seminar itu juga menghadirkan Prof Dr Purnawan Basundoro (Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya dan Kukuh Yudha Karnanta MA (Dosen FIB Unair) .
Dikatakan Nanang, selama ini, kebanyakan orang mengartikan monumen Tugu Pahlawan adalah tetenger peristiwa heroik pejuang Surabaya pada Perang 10 November 1945. Pemaknaan itu tidak salah.
Secara fisik, terang dia, bangunan monumen memang mengartikan peristiwa perang heroik yang pecah pada 10 November 1945. Misalnya angka 10 (tanggal) disimbolkan dengan jumlah lekukan (kurva) pada tubuh monumen. Angka 11 (bulan) diekspresikan melalui jumlah sap yang menyusun batang monumen.
“Angka 19 (tahun) diwaki oleh jumlah gambar gunungan yang menjadi ikat pada dasar batang monumen. Kemudian angka 45 (tahun) adalah ukuran tinggi monumen. Yaitu 45 yards,” jabar jurnalis senior itu.
Menurut Nanang, penanggalan 10 November 1945 ini adalah upaya Presiden Soekarno mengingatkan para penerus bangsa agar tidak melupakan sejarah. Mengingat pada peristiwa sejarah pada 10 November 1945.
“Penanggalan itu adalah bentuk refleksi agar kita senantiasa ingat perjuangan mereka. Jangan sekali sekali melupakan sejarah (Jas Merah),” cetus Nanang.
Soekarno, melalui Monumen Tugu Pahlawan, sesungguhnya mengajak generasi muda menjadi manusia tangguh guna meraih cita cita bangsa yang sekaligus harapan dari para pendahulu bangsa.
Nanang melanjutkan, simbol proyeksi bangsa ini terpampang pada bagian pangkal Tugu yang berbentuk sabuk melinggari Tugu. Sabuk ini wujudnya seperti untaian gunungan besar dan kecil berwarna keemasan. Pada gunungan gunungan ukuran besar terdapat relief, yang menyimpan makna upaya meraih cita cita bangsa.
“Reliefnya menggambarkan rahim perempuan yang melambangkan Padmamula atau Yoni. Di atas rahim terdapat gambar alat vital laki laki, yang melambangkan Stamba atau Lingga. Pada bagian atas lingga, terlahir pusaka milik Krisna yang bernama Cakra. Di atas pusaka Cakra ada pusaka Dewa Wishnu yang bernama Trisula,” terang dia.
“Pusaka Cakra dan Trisula menggambarkan putra-putra bangsa yang berkualitas, berkapasitas, tangguh dan bervisi besar dalam menatap dunia,” imbuh Nanang.
Mendiami Surabaya
Sementara itu, Purnawan Basundoro membeberkan peran Soekarno bagi bangsa ini, khususnya bagaimana dia mendapat tempaan sehingga memiliki visi yang besar bagi bangsanya.
“Surabaya, bagi Soekarno, adalah dapur kebangsaan. Ia yang di usia muda di Surabaya, yang sebenarnya mempunyai tugas belajar dengan bersekolah di Hogere Burgerschool (HBS), tapi pada akhirnya ia mendapat ilmu kebangsaan di luar sekolah,” ujar Purnawan.
Selama ia sekolah di HBS, terang dia, Soekarno indekos di rumah Tjokroaminoto, pemimpin Sjarikat Islam, yang kala itu anggotanya sudah mencapai 2,5 juta. Di rumah Pak Tjokroaminoto sering didatangi para tokoh bangsa dengan segala ideologi.
“Di sanalah Soekarno mendengar dan akhirnya terlibat dalam diskusi diskusi kebangsaan,” jabar Purnawan.
Dari Surabaya, jiwa dan semangat nasionalisme Soekarno tumbuh. Soekarno memang tidak lama di Surabaya. Di usia balita (bayi lima tahun), Ia hanya tinggal di Surabaya selama 6 bulan yang terhitung sejak Ia dilahirkan pada 6 Juni 1901 hingga Desember 1901.
Selanjutnya berpindah pindah mengikuti bapaknya Raden Soekeni Sosrodihardjo di beberapa kota seperti Jombang, Mojokerto, Tulungagung dan Sidoarjo. Soekarno muda kembali lagi ke Surabaya ketika bersekolah di HBS mulai 1916-1921. Soekarno remaja inilah yang menghantarkan menjadi Soekarno dewasa sebagai bapak bangsa, proklamator.
“Jadi Soekarno memiliki hubungan erat dengan Surabaya,” tangas Purnawan.
Kukuh Yudha Karnanta menyajikan kisah Raden Soekeni Sosrodihardjo. Ini adalah kisah di mana Soekarno belum ada, belum dilahirkan. Dia memaparkan hasil penelusurannya di Singaraja, Bali untuk mengangkat alur perjalanan karir Raden Soekeni sebagai seorang guru.
“Dari hasil temuan itu, yaitu berupa surat tugas kepindahan Raden Soekeni dari Singaraja, Bali ke Surabaya, maka diketahui bahwa Raden Soekeni setelah bertugas di Bali lalu berpindah ke Surabaya,” ungkap dia.
Waktu itu, kata Kukuh, Raden Soekeni masih memiliki anak satu, bernama Soekarmini, yang tidak lain adalah kakak Soekarno. Keluarga Raden Soekeni berpindah ke Surabaya pada 1898.
“Selama tinggal di Surabaya, Raden Soekeni mengajar di Inlandsche School Soeloeng, yang selanjutnya dikenal dengan nama SD Sulung. Ketika Soekeni di Surabaya, Soekarno dilahirkan, tepatnya pada 6 Juni 1906,” jelasnya.
Meski Soekarno tidak lama tinggal di Surabaya, tapi sebagai Arek Suroboyo, Soekarno seolah berdiam dan mendiami Surabaya hingga saat ini. Karena di-dan-dari Surabaya inilah, semangatnya masih menyala bagai api yang berkobar.
“Dari Surabaya, Soekarno berpesan kepada Indonesia agar terlahir pemuda pemudi tangguh, berkualitas, berkapasitas serta visionir bagai pusaka pusaka untuk meraih cita cita,” kata Kukuh.
Gak Perlu Bonus Demografi
Bung Karno dalam pidatonya berucap, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
“Bagaimana dengan sepuluh pemuda ia bisa mengguncang dunia? Kiranya itulah kalimat yang heroik dan penuh semangat yang dapat menuntun generasi muda untuk merenung dan dan berbuat,” tambah Nanang Purwono.
Menurut dia, ucapan Bunga Karno itu bukan isapan jempol. Ucapan Presiden pertama Republik Indonesia itu sudah menjadi kenyataan, bahwa ada anak-anak Indonesia bisa mengguncang dunia.
Nanang lalu menyebut Livi Zheng, sutradara muda asal Blitar, Jawa Timur. Usianya baru 27 tahun. Dia mengguncang perfilman Amerika Serikat Hollywood. Ada lagi, Nadiem Makarim. Sebelum menjadi Menteri Pendidikan, ia mengguncang dunia dengan Go-Jek.
“Masih ada dari Jawa Timur, Gamal Ali Bin Said. Pria 27 tahun asal Malang, yang berhasil mencuri perhatian Pangeran Charles Inggris lantaran inovasi Asuransi Bank Sampah,” imbuh dia.
Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, mereka adalah segelintir warga negara. Meski hanya segelintir, tapi mereka sudah mampu menggelontorkan kemampuannya sehingga dunia terguncang.
Jumlah sedikit, misal 10 pemuda yang diharapkan Bunga Karno, tidak jadi masalah asalkan berkuitas dan berkapasitas. Jika direnungkan dengan seksama apa isi pidato Bung Karno itu, maka sejatinya jumlah demografi yang besar saja tidaklah cukup untuk bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan diperhitungkan di kancah dunia.
Bung Karno tidak perlu menunggu bonus demografi untuk bisa memberikan kehormatan yang layak bagi bangsa dan negaranya. Bung Karno hanya membutuhkan kaum muda unggul yang memiliki kualitas dan visi yang besar dalam menatap dunia.
Bagaimanapun, dengan demografi pemuda pemudi aktif yang besar sesungguhnya juga merupakan peluang (opportunity) yang sangat strategis bagi sebuah negara untuk dapat melakukan percepatan pembangunan ekonomi dengan dukungan ketersediaan sumber daya manusia usia produktif dalam jumlah yang cukup signifikan.
Ketika Bung Karno hanya membutuhkan 10 pemuda saja, berarti ada pesan penting yang ia sampaikan kepada bangsa ini: Ciptakanlah pemuda pemudi yang berkualitas, berkapasitas, tangguh dan bervisi besar dalam menatap dunia.
Apalagi dalam percaturan dunia internasional seperti sekarang, anak-anak muda Indonesia harus berwawasan global agar bisa menjadi pemain dalam percaturan itu. Bukan penonton.
Indonesia harus bisa menjadi jembatan dunia. Secara geografis, keberadaan Indonesia berada pada simpul persimpangan dua benua dan dua samudra. Maka sangat sayang, jika Indonesia tidak bisa mengambil peran strategis dalam percaturan dunia internasional itu. (*)