“Surabaya itu hebat. Benar benar hebat. Berbeda dengan kota kota lain”, itulah pernyataan seorang penulis, tour operator dan sekaligus traveller asal Belanda, Emile Leushuis. Emil baru sehari tiba adi Surabaya dan pada hari berikutnya (16/12) sudah menyempatkan diri menjelajah Surabaya dengan berjalan kaki.
Dari hotel di jalan Tunjungan tempatnya menginap, ia menyusuri jalan Simpang Dukuh, Genteng kali, Undaan, jalan Makam Peneleh, masuk ke kampung kampung di Pandean, nyebrang sungai Kalimas, alun alun Contong, perkampungan Bubutan, mendekati kantor Gubernuran, jalan Pahlawan, jalan Gemblongan hingga jalan Tunjungan. Jaraknya lumayan jauh tapi itulah yang disukai Emile, penulis buku “Gids Historische Stadswandelingen Indonesie” atau Panduan 9 Kota Pusaka Indonesia”. Salah satunya adalah Surabaya.
Dalam proses penulisan pada awal awal abad ke 21 itu, Emile sudah menjelajah beberapa kawasan di kota Surabaya. Ada kawasan Kota Tua (Benedenstad) dan ada pula Kota Elit/Atas (Bovenstad). Dalam buku yang sengaja ditulis sebagai buku panduan wisata heritage itu, Emile menyajikan gambaran Kota Tua Surabaya dan perkembangannya menjadi kota moderen yang berkembang ke arah selatan dan sebagai contoh adalah kawasan Tunjungan, Simpang dan Ketabang.
Penulisan buku itu tidak lepas dari usaha pariwisata yang ia geluti. Bersama Indotracks, sebuah biro perjalanan yang ia bangun di Belanda, ia mengajak warga Belanda melihat Indonesia. Menurutnya ada 2 juta warga Belanda yang memiliki ikatan dengan Indonesia yang dulu bernama Hindia Belanda. Mereka yang sudah generasi ke tiga ingin melihat wajah Indonesia sebagaimana persepsi Indonesia yang mereka dapatkan dari kakek neneknya.
“Dalam pikiran mereka Indonesia itu berwajah sawah dengan petani membajak sawah, ada gemercik air sungai, pohon pohon kelapa. Tapi begitu sampai di Jakarta, mereka kaget”, cerita Emile mengenai pengalaman tamunya yang harapannya tidak sesuai dengan kenyataan.
Pengalaman itu menjadi pelajaran yang bagus bagi Emile dalam merancang paket wisata di Indonesia. Karenanya, ia selalu mempelajari pasar (calon calon tamunya) dalam merancang paket wisata di Indonesia.
Paket wisata, yang ia kemas melalui Indotracks ini, sedikit bersifat petualangan karena kegiatannya lebih banyak berjalan kaki, walking tracks, di kawasan kawasan yang ia nilai memiliki potensi sejarah, utamanya kawasan yang sudah menjadi area peradaban bangsa Eropa termasuk Belanda.
Meski sudah menelurkan buku panduan wisata heritage, Emile tidak henti hentinya menikmati kawasan yang bernilai sejarah itu. Buktinya ia masih suka menjelajah kota Surabaya dengan berjalan kaki dari satu kampung ke kampung berikutnya.
“Saya bisa ketemu dan berbicara dengan warga. Dari logat mereka, saya tahu bahwa ada orang Jawa, ada orang Madura dan ada orang Tionghoa”, jelas Emile yang Rabu malam (16/12) sengaja diundang Forum Begandring Soerabaia dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Masa Lalu Untuk Masa Depan’.
Emile sempat membandingkan tiga kota pesisir pulau Jawa: Surabaya, Semarang dan Jakarta. Menurutnya Surabaya hebat. Meskipun pernah ada kebijakan pengelompokan warga etnis di kota kota itu, tapi di Surabaya warganya, yang heterogen, tetap saja berinteraksi sosial di satu ruang lingkup yang sama. Mereka seolah tidak terhambat oleh kebijakan pengelompokan etnis (wiekenstelsel) yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda kala itu.
Emile lebih jauh menceritakan bahwa kawasan kampung Pandean, Peneleh dan Undaan sudah lama ada pemukim dari berbagai etnis. Ada etnis Tionghoa, Eropa dan tentu Jawa. Ini terlihat dari rumah rumah lawas yang masih ada di kawasan itu.
Kuncarsono Prasetyo, salah seorang koordinator Forum Begandring Soerabaia, menambahkan bahwa orang orang yang bermukim di Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat dinamis. Pergerakan dan mobilitasnya begitu tinggi sehingga saling menembus sekat sekat yang dipagari oleh wiekenstelsel.
Sementara itu, Chotib Ismail, warga Ampel Menara yang juga pegiat sejarah dan pariwisata dari Ampel Heritage, mengalami secara nyata pembauran antar etnis yang sudah lama ada di lingkungannya. Meski di kawasan kampung Ampel yang di sana bermukim warga etnis Arab, juga ditemukan warga etnis Tionghoa bermukim di sana. Merek aterjalin dalam satuburusan ynag sama. Yaitu perdagangan dan Surabaya sudah lama tercipta sebagai kota dagang. Bahkan jauh sebelum bangsa Eropa masuk Surabaya, Surabaya sudah menjadi pintu gerbang perdagangan kerajaan Majapahit.
Fakta sejarah inilah yang menurut Emile menjadi kekuatan bagi kota Surabaya di sektor pariwisata. Surabaya tidak memiliki potensi alam dan budaya seperti Jogjakarta dan Bali, tapi Surabaya memiliki sejarah panjang yang bisa dimanfaatkan sebagai potensi wisata. Yaitu wisata heritage.
Nanang Purwono, koordinator Forum Begandring Soerabaia yang dalam diskusi itu bertindak sebagai moderator juga menyampaikan bahwa potensi heritage kota Surabaya ini banyak dan belum banyak dikuak untuk dikelola dan dimanfaatkan. Karenanya dengan kehadiran Forum Begandring Soerabaia yang sudah menjalin kerjasama dengan Stichting Oost Indisch Doof di Belanda dimana Emile Leushuis beradap di dalamnya, potensi sejarah Surabaya dapat terus digali dan dinarasikan sebagai bahan edukasi untuk kedua negara.
Sehari sebelum diskusi di Lodji Besar, ada sebuah Focus Discussion Group (FGD) yang membahas tentang “Penataan Urban Heritage Toursm” sebagai strategi revitalisasi budaya berbasis industri kreatif. Diskusi yang melibatkan lima pilar: akademisi, pemerintah, pengusaha, komunitas dan media ini, mencoba mendalami dan sekaligus memetakan potensi heritage kota Surabaya yang sangat potensial untuk dijadikan sebagai aset pariwisata kota Surabaya. Diskusi yang digelar oleh Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair ini sangat relevan dengan pengalaman Emile yang menyimpulkan bahwa pariwisata yang bisa diandalkan dari Surabaya adalah Wisata Heritage (heritage tourism). Karenanya harus ada arah dan kebijakan dari pemangku Kota untuk menata itu.
Musdiq Ali Suhudi, kepada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya, yang hadir dalam begandringan (diskusi) di Lodji Besar menceritakan bahwa arah pembangunan di kota Surabaya pernah berorientasi ke depan, tanpa pernah melihat masa lalu yang bisa dijadikan salah satu dasar pembangunan masa depan Surabaya sehingga pembangunan masa depan Surabaya bisa berkarakter. Musdiq menambahkan bahwa dengan semakin disadarinya oleh publik tentang kekayaan masa lalu Surabaya, pemerintah kota sekarang pun sudah mulai memperhatikan heritage kota sebagai unsur penting dalam pengembangan dan pembangunan kita Surabaya ke depan.
AH Thony, wakil ketua DPRD Surabaya, di hari yang bersamaan pada Rabu pag (16/12) juga menggelar diskusi terbatas untuk mulai membahas “Raperda Pemajuan Kebudayaan, Pemajuan dan Kepahlawanan Kota Surabaya”. Melalui perda inisiatif dewan ini diharapkan pembangunan kota Surabaya ke depan terwarnai dengan nilai nilai luhur dan kearifan lokal Surabaya, yang diantaranya adalah nilai heritage.
Thony menjelaskan nilai heritage Surabaya ini menggambarkan lintas masa dan jaman yang panjang. Yakni mulai dari jaman pra kolonial, kolonial, pra kemerdekaan dan kemerdekaan. Semua latar belakang sejarah ini menjadi ruh bagi kota Surabaya. Apalagi kota ini sudah dikenal sebagai kota Pahlawan. Maka, nilai nilai yang tersimpan pada perjalanan panjang sejarah kota ini harus turut mewarnai masa depan pembangunan kota baik yang bersifat fisik maupun non fisik.
Karenanya harus ada regulasi dan payung hukum yang mengaturnya dalam rangka pelestarian nilai nilai kearifan lokal yang ada. Nantinya “Perda Pemajuan Kebudayaan, Pemajuan dan Kepahlawanan Kota Surabaya” akan menjadi pelengkap Perda Cagar Budaya Kota Surabaya yang sudah ada. (*)
Ditulis Oleh : Nanang Purwono, jurnalis senior, ketua Begandring Soerabaia