Masih ingat aksi damai di Jalan Pangung pada 2018? Ya, aksi yang digelar komunitas dan pegiat sejarah di Surabaya memprotes langkah Pemerintah Kota Surabaya merevitalisasi Kota Lama. Di mana, banyak fasade bangunan di koridor Jalan Karet dan Jalan Panggung dicat warna warni yang dianggap tidak sesuai dengan sejarah,
Paket pengecatan di Jalan Panggung dan Jalan Karet sejatinya adalah wujud upaya revitalisasi sebagian dari kawasan Kota Lama Surabaya. Tapi revitalisasi dilakukan sembrono.
“Pengecatan itu maksudnya baik, tapi tidak memakai dasar kearifan dan sejarah lokal yang ada. Mereka justru mencontoh sudut kota tua di Singapura yang tidak ada kaitannya dengan Surabaya. Padahal, di Singapura sendiri, bangunan yang dicat warna warni itu hanya satu unit dan aplikasi pewarnaannya bagus. Ada perpaduan warna yang serasi,” kata Kuncarsono Prasetyo, terang pemerhati sejarah.
Selain pengecatan, masih ada lagi contoh kegiatan revitalisasi yang dianggap gagal. Khususnya di koridor Jalan Karet. Perbaikan trotoar hanya sebagian, tidak menyeluruh. Trotoar yang mestinya menggunakan batu hias, ternyata dipasang keramik. Akibatnya, keramiknya sudah banyak yang rusak.
Pun demikian dengan penerangan jalan umum (PJU) yang juga dipasang sebagian karena menyesuaikan trotoar yang diperbaiki.
“Dulu, ada rencana peruntukan koridor Jalan Karet yang berfungsi sebagai kawasan jasa ekspedisi akan diganti menjadi kawasan pariwisata. Nyatanya hingga sekarang masih belum ada tanda-tanda itu,” timpal Kuncaraono, salah seorang pendiri Perkumpulan Begandring Soerabaia.
Tiga tahun telah berlalu, terhitung sejak 2018 hingga 2022. Jalan Karet hanya dibenahi sebatas perbaikan sebagian trotoar, pemasangan PJU, dan pengecatan berwarna putih yang terkesan apa adanya. Hingga sekarang, tidak ada perubahan dan perkembangan berarti.
Banyak bangunan yang sudah dipakai usaha jasa ekspedisi tetap berjalan sebagaimana biasanya. Bangunan yang kosong dan tidak terawat tetap dibiarkan teronggok dan menambah kesan angker yang natural dari Jalan Karet.
Celakanya, tidak ada pihak yang berinisiatif dan berani mulai membuka usaha di bidang pariwisata sebagaimana diharapkan. Revitalisasi Jalan karet bisa dibilang semu. Tidak sungguh sungguh. Ini karena tidak ada grand design tentang pengelolaan kawasan cagar budaya sebagai acuan kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang publik dan bangunan di kawasan Kota Lama.
Potensi Kota Lama
Sebagai perbandingan Samarang dan Jakarta, yang juga memiliki kawasan Kota Lama seperti Surabaya. Keduanya berhasil mengelola dan memanfaatkan kawasan Kota Kama sebagai daerah tujuan pariwisata.
Luas kawasan Kota Lama Surabaya dibandingkan Semarang dan Jakarta terhitung paling kecil. Tidak seluas kawasan di Semarang dan Jakarta. Apalagi bangunan bangunan yang ada di kawasan Kota Lama Surabaya, relatif aktif yang umumnya sudah digunakan untuk berbagai kepentingan usaha.
Bangunannya hidup. Tidak mati. Apalagi bangunan bangunan di kawasan yang dikenal sebagai eks kawasan Kampung Eropa, di barat Kalimas, kondisinya terawat dengan baik.
Namun, bagaimana dengan bangunan-bangunan di timur sungai, khususnya kawasan Pecinan?
Kawasan Pecinan, khususnya di koridor Jalan Karet, tidak seindah di eks Kampung Eropa. Tapi sesungguhnya, Jalan Karet memiliki daya tarik tersendiri. Lingkungannya eksotik. Suasannya lebih tenang. Tidak ramai lalu lintas. Utamanya pada akhir pekan. Wajar kalau kawasan ini menjadi jujugan fotografer sebagai setting fotografi.
Banyak kegiatan yang memanfaatkan kawasan ini untuk mendukung penciptaan memorabilia. Sayang, jika kegiatan mereka sering berhimpitan dengan aktivitas jasa ekspedisi. Mereka harus mengalah jika kendaraan ekspedisi harus berlalu lalang. Belum lagi kendaraan umum yang melintas di Jalan Karet. Mereka tidak memiliki tempat dan ruang untuk menikmati suasana klasik dengan nyaman dan aman.
Tidak satu pun bangunan di jalan Karet ini ramah pariwisata (tourism friendly). Sangat berbeda jika ada salah satu bangunan di jalan ini, yang menjadi ruang dan tempat publik, bisa dimanfaatkan sebagai arena untuk menikmati kawasan Kota Lama.
Heintje (19), penikmat bangunan cagar budaya, mengaku menikmati eksotika Jalan Karet melalui seni fotografi. “Saya berandai-andai. Misalnya, ada sebuah kedai kafe yang dipadu dengan geleri seni yang bisa menjadi tempat kongkow inspiratif. Ya, semacam co-working and socializing space lah. Niscaya tempat ini akan menjadi jujugan para pencari dan pecinta memorabilia dari dalam dan luar kota,” tutur Heintje.
Jalan Karet secara alamiah sebetulnya kawasan kultural. Termasuk kawasan Pecinan, di mana cita rasa budaya Tionghoa masih kental. Di samping ada bangunan-bangunan bercorak Tionghoa, seperti rumah Rumah Abu. Di kawasan ini juga ada klenteng tua, usianya 200 tahun lebih. Namanya, Klenteng Hok An Kiong.
Secara fisik, bangunan-bangunan Kota Lama menyimpan perpaduan gaya arsitektur. Ada gaya Tionghoa dan Eropa. Dari sejumlah bangunan di jalan ini, ada satu bangunan bergaya kolonial yang sangat indah. Eksteriornya simetris dengan aksentuasi arc yang mempertontonkan batu bata ekspos. Gaya arsitektur ini mirip dengan karya HP Berlage (Bapak Arsitektur Moderen) yang mendesain Gedung De Algemene atau Gedung Singa di Jalan Jembatan Merah.
Bangunan kolonial itu berada di Jalan Karet 72. Statusnya bangunan cagar budaya. Itu sebagaimana terlihat dari plakat cagar budaya yang tertempel pada tembok depan bangunan.
Dengan status cagar budaya, maka secara ideal bangunan ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik, namun harus tetap bersifat ekonomis bagi pemilik dan pengelola bangunan. Siapa pun itu.
Artinya, agar bangunan ini bermanfaat sebagai objek yang menunjang dan bahkan meramaikan pariwisata Kota Lama Surabaya, maka dukungan pemerintah terhadap pemanfaatan bangunan ini harus nyata dan dapat benar-benar dirasakan oleh pemilik atau pengelola. Misalnya, intervensi terhadap pemberian insentif kepada pemilik dan pengelola bangunan.
Insentif
Dalam Undang Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, diamanatkan pemberian insentif pada setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya.
Pada Pasal 1 Butir 12 dinyatakan bahwa Insentif adalah dukungan berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk lain bersifat nondana untuk mendorong pelestarian Cagar Budaya dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Lebih lanjut mengenai insentif ini terdapat pada Pasal 22 yang menyebutkan bahwa: (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya berhak memperoleh kompensasi apabila telah melakukan kewajiban melindungi cagar budaya.
(2) Insentif berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan dan/atau pajak penghasilan dapat diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada pemilik cagar budaya yang telah melakukan pelindungan cagar budaya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Arif Afandi, mantan wakil wali kota Surabaya, selaku pengelola sebuah gedung cagar budaya di kawasan Simpang Surabaya, berharap Pemerintah Kota Surabaya lebih peduli terhadap keberadaan bangunan cagar budaya.
Dia juga berharap ada reward berupa insentif itu diberikan secara otomatis kepada pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya. Terutama yang sudah melaksanakan kewajikan dalam perlindungan asetnya yang telah diberi status cagar budaya.
Kini, bola di tangan Pemerintah Kota Surabaya. Revitalisasi Kota Lama Surabaya adalah satu dari sekian persoalan yang menyangkut pelestarian bangunan cagar budaya. Jika tidak ada langkah revolutif dan inovatif, rasanya revitalisasi itu memang tidak pernah dikerjakan secara serius. (*)