Adegan pidato Bung Karno dalam peresmian Tugu Pahlawan pada 10 November 1952 menutup film Soera ing Baia. Adegan ini diproduksi pada Minggu (13/11/2022). Yang berperan sebagai Bung Karno adalah Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi.
Berdiri persis di bawah tugu yang menjulang setinggi lebih 40 meter (45 yards), Bung Karno mengatakan:
“Sebuah tugu yang megah-perkasa, yang tingginya lebih dari 40 meter menjulang ke langit, terbuat dari beton yang kuat-sentausa. Sebuah tugu yang moga-moga nanti, kalau kita sudah mati, kalau anak-anak kita, cucu-cucu kita, buyut-buyut kita, canggah-canggah kita, dan demikian seterusnya sudah mati, masih tetap menjulang ke langit sebagai satu lambang, bahwa nilai kepahlawanan tidak akan mati, tetapi akan hidup terus sepanjang masa, dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, dari zaman ke zaman…”sebuah petikan pesan dalam text pidato Bung Karno yang dibacakan oleh Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi dalam adegan pamungkas film Soera ing Baja.
Eri Cahyadi memerankan Soekarno dengan berapi-api. Ekspresinya penuh penjiwaan, natural, tegas yang seolah generasi muda saat ini yang tidak menyaksikan peristiwa bersejarah pada 10 November 1945, dapat merangkak di lorong waktu (time tunnel) melihat peristiwa bersejarah itu.
Alam dan lingkungan yang cukup sakral di Tugu Pahlawan itu bersaksi atas niat baik dan tulus warga Surabaya yang dipimpin Eri Cahyadi dalam langkah estafet pembawa pesan dari para pendahulu untuk generasi masa depan melalui film dokumenter ini.
Ada pun scenes terakhir perundingan antara presiden Soekarno yang didampingi oleh perwakilan pihak Republik lainnya dan Jenderal Hawthorn yang didampingi Berigadir AWS Mallaby dari pihak Sekutu. Pengambilan gambar ini bertempat di sebuah ruangan di Balai Kota Surabaya, menggantikan tempat yang sesungguhnya di kantor Gubernur Jawa Timur.
Setelah perundingan yang membahas gencatan senjata di Surabaya, maka dilakukan pengambilan gambar yang menceritakan pelepasan mobil pembawa pesan gencatan senjata yang akan berkeliling kota. Setting pengambilan gambar pemberangkatan ini bertempat di rumah dinas Wali kota Surabaya, yang tidak jauh dari Balai Kota.
Untuk memberikan kesan bahwa pemberangkatan itu bertempat di Kantor Gubernur Jawa Timur, sesuai dengan foto dokumentasi, maka dibuatkan properti yang berwujud papan nama yang bertuliskan “Kantor Goebernoer Djawa Timoer” dan dipasang di salah satu pilar teras kediaman Wali Kota Surabaya.
Di teras itu, jajaran pihak Republik dan Jenderal Hawthorn berdiri menyaksikan keberangkatan mobil yang ditumpangi Brigadir AWS Mallaby yang diperankan seorang warga Belanda, Emile Leushuis dan dr. Soegiri yang diperankan Nanang Purwono, ketua Begandring Soerabaia.
Eri Cahyadi (Bung Karno), Emile Leushuis (Mallaby) dan Andrew (Jendreal Hawthorn) di Balai Kota Surabaya. foto: begandring
Setelah dari rumah dinas, setting berikutnya di Jalan Kalisosok Kidul yang menggambarkan laju mobil perdamaian yang diutumpangi AWS Mallaby dan dr. Soegiri. Di atas mobil sedan kuno hitam bermerk Hudson buatan tahun 1967, Mallaby (Emile Leushuis) dan dr. Soegiri (Nanang Purwono) menyerukan gencatan senjata dengan berkeliling kota. Mereka melalui kerumunan warga dan pejuang.
Di malam hari, dengan bertempat di lingkungan Balai Kota, dilakukan pengambilan gambar yang mengiluatrasikan terbunuhnya AWS Mallaby di dalam mobil yang ditumpanginya. Secara historis peristiwa ini terjadi di bantaran Kalimas di barat Jembatan Merah pada 30 Oktober 1945.
Sebagai scene pamungkas adalah di bawah Tugu Pahlawan yang menggambarkan peresmian hasil pembangunan Tugu Pahlawan pada 10 November 1945. Secara resmi Bung Karno memberikan sambutan tentang harapan agar Tugu Pahlawan ini bisa tahan dan lestari hingga seribu tahun.
“ … dan alhamdulillah, hari ini, tepat pada hari Pahlawan, tugu ini telah dapat diresmikan… Doa kita ialah moga-moga tugu itu materiil benar-benar dapat tahan berdiri sedikitnya seribu tahun, idiil berlipat-lipat ganda lebih dari seribu tahun. Moga-moga ia tetap melambangkan kepahlawanan Indonesia dari penghinaan dan perhambaan! .. “, begitu isi petikan text pidato Bung Karno yang direka ulang oleh Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi.
Meleburnya Wali Kota dan Rakyat
Film Soera ing Baja ini adalah film kedua yang diproduksi secara kolaboratif antara Pemkot Surabaya, TVRI Jatim, Begandring Soerabaia dan rekan serta FIB Unair. Film pertama yang diproduksi adalah Koesno, Jati Diri Soekarno yang terpilih menjadi nominasi FFI 2022.
Dari pengamatan lapangan, khususnya kegiatan proses produksi film Soera ing Baja, menjadi wadah meleburnya antara wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, dengan rakyatnya. Eri memerankan Soekarno yang setting-nya ada di beberapa tempat, baik dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor). Selain di Balai Kota dan Rumah Dinas, kegiatan produksi ini juga digarap di Jalan Kalisosok dan Tugu Pahlawan.
Dalam interaksi proses produksi film ini, Eri sangat egaliter menerima dan melayani para pemain dan krew produksi serta warga yang melihat proses produksi untuk berfoto dan berdiskusi mendadak. Seperti yang sering diucapkan Eri , bahwa jika Surabaya maju, itu bukan karena wali kotanya tapi karena rakyatnya yang sadar dalam pembangunan.
Emile Leushuis (AWS Mallaby) dan Nanang Purwono (dr. Soegiri) memulai perjalanan keliling Surabaya untuk gencatan senjata. foto: begandring
“Kalau mau datang sebagai wali kota Surabaya, jangan datang untuk dilayani, tapi harus mau melayani Arek-Arek Suroboyo,” tegas Eri dalam produksi talkshow di TVRI tentang karya kolaboratif ini.
Karenanya, di tempat tempat yang menjadi setting pembuatan film, kehadiran Eri di tengah tengah mereka membuat mereka lebih akrab dan hubungan walikota dan rakyatnya terlihat egaliter dan akrab. Semua senang, gembira dalam wadah produksi film bersama, Koesno, Jati Diri Soekarno dan Soera ing Baja.
“Saya ingin dalam kolaborasi berikutnya, kita memprodukasi film untuk bioskup. Saya yakin kawan kawan dalam kolaborasi ini bisa. Mereka tidak bisa digantikan oleh artis ibukota ketika mengangkat film yang bertema tentang Surabaya. Karakter, logat dan gaya Suroboyoannya tidak bisa digantikan oleh artis ibukota”, tegas Eri.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya, Wiwiek Widayati, mengatakan bahwa selain akan ditayangkan di museum pendidikan, film Soera Ing Baja juga akan ditayangkan di sekolah-sekolah sebagai salah satu pembelajaran atau pendidikan karakter.
Menurutnya, dengan menggunakan media film dokumenter, anak-anak akan mudah memahami dan senang ketika belajar soal sejarah.
“Kami berharap, ke depannya ketika anak-anak belajar sejarah itu tidak perlu kaku dan membosankan. Namun belajar sejarah itu bisa dengan cara yang fleksibel, melalui sebuah film,” terangnya.
Eri mengatakan kepada Tim produksi dan meminta agar dirinya diberi informasi mengenai jadwal penayangan di Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI agar ia bisa memasang iklan penanyangan di seluruh videotron yang tersebar di Surabaya.
“Pokoknya, saya diberi tahu kapan akan ditayangkan, agar saya bisa publikasikan di videotron se Surabaya seminggu sebelumnya”, tegas Eri.
Sementara bagi tim kolaborator (Begandring Soerabaia dan rekan, TVRI Jatim dan FIB Unair), semua ini menjadi pemacu semangat dalam berkarya lebih baik untuk Kota Surabaya. (*)