SD Sulung Merana, Pemkot Surabaya Bisa Apa?

Kesungguhan Pemerinta Kota Surabaya merawat bangunan cagar budaya layak dipertanyakan. Pasalnya, masih banyak bangunan cagar budaya yang dibiarkan merana. Satu di antaranya, SD Sulung yang kini bernama SDN Alun-Alun Contong I-87, beralamat Jalan Sulung Sekolahan Nomor 1, Surabaya.

Tak banyak orang tahu keberadaan sekolah tersebut. Bahkan yang memprihatinkan, warga setempat pun tak mengenal sejarah SD Sulung. Tak menutup kemungkinan, cepat atau lambat, bangunan ini bakal lenyap dan hilang dari ingatan.

Padahal, SDN Alun-Alun Contong I-87 yang ada sejak awal tahun 1900-an ini, menjadi tonggak kebangkitan bangsa. Di mana, muncul gerakan untuk menyadarkan masyarakat akan arti penting pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Jika di abad 19 atau sepanjang tahun 1800-an, gerakan bangsa ini bersifat fisik yang diwarnai dengan peperangan fisik seperti perang Pattimura (1817), perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Aceh (1873), maka memasuki abad 20 atau tahun 1900-an, berubah ke gerakan intelektual. Yaitu, melalui jalur pendidikan, kebudayaan dan perekonomian. Gerakan pendidikan ini seiring dengan lahirnya Boedi Oetomo pada 1908.

Pegiat sejarah Begandring memerikasa papan tulis lama. foto: begandring

“Sulung” menjadi kata kunci dalam melestarikan nilai-nilai dari peninggalan bersejarah itu. Kata “Sulung” diambil untuk melestarikan sejarah sekolah yang asalnya dari Inlandsche School Soeloeng atau setingkat Sekolah Rakyat (SR) Soeloeng. Sekolah ini dibuka secara resmi oleh Asisten Controleur Kabupaten Surabaya, tahun 1900.

Inlandsche School (IS) Soeloeng ini adalah sekolah khusus bagi siswa bumiputera. Kemudian pada tahun 1914, statusnya ditingkatkan menjadi Hollandsche Inlandsche School (HIS) Soeloeng. Pengajarannya menggunakan bahasa Belanda.

Di sekolah inilah nama presiden pertama RI Soekarno dikaitkan, karena sekolahan Sulung menjadi tempat di mana bapaknya, Raden Soekeni Sosrodihardjo mengajar setelah pindah tugas dari Singaraja, Bali ke Surabaya. Ketika dipindah tugaskan ke Surabaya dan mengajar di Inlandsche School Soeloeng, Soekeni mencari tempat tinggal  kontrakan di kampung yang berdekatan dengan Sulung, yakni Pandean.

Dengan jarak yang dekat itu, Soekeni bisa berjalan kaki dari rumah ke sekolah. Sulung dan Pandean hanya dipisahkan Sungai Kalimas. Ada dua akses untuk melintasi sungai, yaitu berjalan lewat jembatan dan menyeberang dengan naik perahu tambangan. Sulung ada di barat dan Pandean di timur Kalimas.

Soekeni memang tidak lama mengajar di Inlandsche School Soeloeng, terhitung dari kepindahan tugas mengajar mulai 1898 hingga 1901. Sebelum berpindah tugas lagi ke Ploso Jombang, Desember 1901, di Pandean telah lahir seorang bayi yang berjuluk Putera Sangat Fajar.

Baca Juga  Menguak Makna dan Simbol Tugu Pahlawan

Koesno, putera Sangat Fajar itu, lahir pada 6 Juni 1901 pukul 05.30 ketika Fajar menyingsing. Koesno, nama kecil Soekarno, yang baru berusia 6 bulan, harus ikut diboyong orang tuanya karena bapaknya berpindah tugas mengajar ke Ploso, Jombang.

Meski terhitung singkat bagi Soekeni untuk mengajar di Soeloeng dan juga terlalu singkat bagi Soekarno kecil tinggal di Pandean, namun jejak Soekeni sebagai guru yang menebar benih ilmu pengetahuan tertoreh di sekolahan itu.

Semangat Soekeni dalam proses kebangkitan bangsa melalui jalur pendidikan telah terukir di sekolah dan telah pula terwariskan melalui sang buah hati, Soekarno, yang kemudian tumbuh dewasa menjadi presiden pertama Indonesia.

Sekolah Langka

SDN Alun-Alun Contong I-87, Surabaya, yang merupakan peninggalan Hollandsche Inlandsche School (HIS) Soeloeng, sudah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya dengan SK Walikota nomor: 188.45/242/ 436.1.2/2014.

Berdasarkan pengamatan langsung, gedung dengan salah satu ruang kelasnya yang masih lengkap dengan seperangkat meja-bangku kunonya serta papan tulis hitam (blackboard), merupakan benda dan bangunan yang masih in situ.

Bangunan dan seperangkat meja bangku serta papan tulis ini adalah langka. Tidak ada satu set ruang kelas dengan seperangkat fasilitas belajar mengajar yang bisa ditemukan di Surabaya, kecuali di SD Sulung.

SDN Alun-Alun Contong I-87 lokasinya persis di belakang Kantor Gubernur Jawa Timur. Sementara di sebelah selatan sekolah adalah kawasan perdagangan Jalan Pasar Besar. Ironisnya, gedung bersejarah ini terhimpit, terselip, dan tersembunyi. Apalagi bangunan bangunan di kompleks sekolah sendiri juga semakin menenggelamkan keberadaan gedung bersejarah. Dari depan pagar sekolah saja tidak kelihatan gedung yang sudah berstatus cagar budaya itu.

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Drs A. Hermas Thony, M.Si mengaku kaget melihat kondisi mutakhir  SD Sulung ini. Pasalnya sekolah ini adalah bagian dari sejarah kebangkitan bangsa melalui jalur pendidikan. Apalagi SD Sulung terkait sejarah sang proklamator Soekarno,  karena bapaknya, Raden Soekeni, mengajar di sekolah ini sebelum ia dilahirkan.

“Ada semangat kebangsaan dan kebangkitan dari sekolah ini. Karenanya publik harus tahu sehingga bisa dipetik nilai-nilai penting dari sekolah ini. Kalau sosok bangunannya terselip dan tidak diketahui publik, maka tidak ada artinya bangunan ini ditetapkan oleh wali kota Surabaya sebagai Bangunan Cagar Budaya,” kata politisi Partai Gerindra itu.

Baca Juga  Mal Jaga Tradisi Jawa

“Karenanya perlu ada upaya bersama untuk merevitalisasi bangunan dan lingkungannya agar sekolah ini pantas sebagai jujugan sekolah kebangsaan. Sekolah ini persis di belakang kantor Pemerintah Provinsi Jawa Timur, lho,” imbuh Thony.

Kata dia, bangunan yang masih lengkap dengan sarana belajar mengajar bisa menjadi sebuah Laboratorium kebangsaan. Minimal dapat digunakan sebagai ruang kelas mata pelajaran muatan lokal (mulok).

“Mata pelajaran lokal terkait dengan sejarah gedung ini bisa diajarkan oleh sekolah dengan menggunakan ruang kelas ini. Apalagi yang pernah ada di sekolah ini adalah orang-orang besar seperti Raden Soekeni dan Cak Roeslan Abdoelgani. Sejarah nyata ini penting diajarkan ke siswa-siswi SD Sulung. Ironis, jika mereka tidak tahu sejarah lokalnya,” jlentreh Thony.

Terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair Prof Purnawan Basundoro menegaskan perlu ada memorial room mengenai sejarah SD tersebut. Ya, semacam museum mini yang menyimpan berbagai peralatan dan foto penyelenggaraan belajar mengajar pada masa lalu.

“Agar SD tersebut memiliki tautan dengan masa lalu yang kuat, maka nama SD sebaiknya diubah menjadi SDN Sulung Kelurahan Alun-alun Contong. Hal tersebut perlu dilakukan karena keberadaan SD ini terkait erat dengan sejarah Bung Karno,” tegas Basundoro yang juga yang juga ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur.

Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya Ir. Retno Hastijanti mengatakan, bangunan-bangunan yang telah berstatus cagar budaya harus dipelihara dan dikembangkan serta dikelola sesuai prinsip-prinsip konservasi yang sudah diamanatkan di UU dan PP terkait.

“Untuk mendukung keberadaan BCB (bangunan cagar budaya), diperlukan tanda tanda, rambu-rambu dan penunjuk petunjuk arah yang mengacu kepada lokasi BCB,” tandas Retno Hastijanti yang menjabat Pembantu Rektor Untag Surabaya itu.

Satu set bangku meja kuno masih tersimpan. foto: begandring

Pengelolaan Cagar Budaya

Pemerintah Kota Surabaya telah membuat Raperda Pengelolaan Cagar Budaya dan kini sedang dalam pembahasan di DPRD Kota Surabaya. Jika sudah disetujui, harapannya bangunan-bangunan cagar budaya akan dikelola dan dimanfaatkan sesuai amanat Undang Undang Cagar Budaya. Yaitu, dapat digunakan untuk tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan, keagamaan, pariwisata, hingga kesejahteraan.

Karenanya,  jika sedini mungkin diketahui adanya bangunan cagar budaya yang sangat berpotensi dikelola dan dimanfaatkan, maka berbagai pihak terkait bisa saling berkolaborasi untuk kepentingan publik sebagaimana diamanahkan dalam undang-undang. Contohnya, Gedung Cagar Budaya di lingkungan SDN Alun Alun Contong I-87 Surabaya.

Baca Juga  Jejak Kerajaan Majapahit dan Bengawan Solo

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dalam berbagai kesempatan mengatakan, saatnya pascapandemi untuk bergotong royong merajut sejarah Kota Surabaya dan selanjutnya dimanfaatkan demi peningkatan kesejahteraan.

Apalagi ada sejarah yang terkait dengan Soekarno. Belum lama ini, Eri Cahyadi membintangi film dokumenter berjudul “Koesno”. Film yang diproduksi TVRI Jatim yang melibatkan Begandring Soerabaia dan FIB Unair ini, dalam upaya merajut sejarah Soekarno di Surabaya.

Gedung sekolah tampak dari samping halaman. foto: begandring

Salah satu bagian dari sejarah Soekarno adalah SD Sulung, di mana bapaknya, Raden Soekeni, mengajar. Karenanya simpul simpul sejarah Soekarno di Surabaya perlu dikemukakan dan dipopulerkan demi penguatan fakta bahwa Soekarno Arek Suroboyo.

Bagian bagian dari sejarah Soekarno ini adalah Hollandsch Inlandache School (HIS) di Jalan Sulung, Rumah Lahir Bunga Karno (RLBK) di Pandean IV, Rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII, dan HBS di jalan Kebon Rojo. Ketika tiga BCB lainnya (Rumah Lahir Bybg Karno, Rumah HOS Tjokroaminoto dan HBS Kebon Rojo) sudah banyak diketahui publik, maka HIS yang kini menjadi SD Sulung juga perlu diangkat dan dipopulerkan melalui upaya revitalisasi lingkungan sekolah.

Menurut Retno Hastijanti, gedung HIS ini memiliki nilai sejarah cukup tinggi karena merupakan BCB yang dapat memvalidasi bahwa Bung Karno memang lahir di Surabaya dan memiliki masa balita di Surabaya.

“Saya berharap, pengelola BCB SD Sulung, dapat selalu berkoordinasi dengan Pemkot melalui Disbudporapar, utamanya terkait pemeliharaan bangunannya, terutama dengan Disbudporapar. Sedangkan yang terkait dengan materi pendidikan, tentu dikoordinasikan dengan Dispendik”, begitu jelas Retno Hastijanti.

Untuk mendukung dan mengawali itu semua, menurut Purnawan Basundoro, adalah  penataan fisik agar secara dini keberadaan gedung bisa dilihat dan diketahui publik dengan mudah.

“Penataan fisik dan akses menuju area sekolah adalah prioritas sehingga keberadaan BCB diketahui oleh masyarakat luas. Selain itu narasi mengenai sejarah SD tersebut juga harus dibuat agar diketahui oleh khalayak,” tandas Purnawan.

Sayangnya, hingga sekarang, belum ada langkah konkret dari Pemkot Surabaya untuk merevitalisasi SD Sulung yang bersejarah itu. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *