Surabaya Pernah Dikitari 49,4 Km Rel Trem, Kini Tak Tersisa

Sistem transportasi publik Surabaya sebenarnya sudah dirancang ideal lebih dari seabad silam. Bayangkan, hingga awal abad 19, ketika penduduk kota ini masih kisaran 150.000 jiwa, kota ini sudah dikitari rel trem sepanjang 32 kilometer.

Panjang rel trem terus bertambah hingga 49,4 kilometer pada 1924, hingga tembus Krian, Sidoarjo. Sayang, sekarang tidak ada satu pun yang tersisa.

Ini belum termasuk jalur kereta api antarkota yang relnya mengular dari stasiun utama, hingga ke menyentuh ujung beberapa dermaga kapal di Tanjung Perak, menghampiri armada Angkatan Laut.

Rel menjulur ke sana ke mari, langsung menyusuri depan pintu-pintu gudang di sepanjang bantaran Sungai Kalimas.  Rel juga tembus di loading dock pabrik-pabrik kawasan Industri Ngagel, hingga kilang minyak besar di kawasan Jagir, Wonokromo.

Jalur rel antarkota dengan trem yang keliling kota ditata terintegrasi. Sejumlah halte trem dibangun di depan pos transportasi publik lain. Halte paling utara jalur trem tepat di dermaga penyeberangan ke Madura dan dermaga antarpulau Tanjung Perak.

Di depan tiga stasiun kereta api antarkota di Surabaya selalu dilengkapi halte trem. yaitu Stasiun Pasar Turi, Stasiun Gubeng, dan Stasiun Surabaya Kota.

Platform trem di Stasiun Trem Wonokromo (Dok Pribadi)

Sejarah Trem di Surabaya 

Trem di Surabaya mulai ada pada paruh kedua abad ke-19. Berbekal izin pada 1886, dibentuk perusahaan khusus pengelola trem Jawa Timur bernama Ooster Java Stoomtram Maatschappij (OJS) pada 7 Juni 1888.

Sejak saat itu blue print sistem transportasi publik dalam kota mulai dirancang, pembangunan dilakukan multi years. Bertahap mulai jalur paling utara.

Berikut jalur-jalurnya:

Jalur Ujung (PT PAL) – Fort Prins Hendrik (Stasiun Benteng Armatim) diresmikan 10 Desember 1889.

Baca Juga  Duh, Masih Banyak Pembiaran Bangunan Bersejarah

Setahun berikutnya jalur Fort Prins Hendrik-Stasiun Kota diresmikan, pada 17 Desember 1890. Jalur ke selatan melewati Jl Benteng- Jl KH Mas Masyur (sekarang)- Jl Dukuh- Jl Waspada- Jl Siaga- Jl  Stasiun Kota.

Pada 15 April 1890 rute Jl Stasiun Surabaya Kota- Tanam Kota (sekarang Gedung BI) ke selatan Jl Pahlawan – Jl Kramat Gantung- Jl Gemblongan- Jl Tunjungan- Jl Simpang- Jl Basuki Rahmad- Jl Keputran- Jl Dinoyo berhenti di Stasiun Grudo (sekarang tidak ada).

Lokomotif Trem Uap yang tersisa di depan Stasiun Pasar Turi (Foto: Boby)

Lanjut ke selatan dari Dinoyo- Jl Darmokali hingga Stasiun Trem Wonokromo  yang diresmikan 14 Mei 1890. Lokasi Stasiun Trem Wonokromo ini sekarang menjadi perkampungan padat dijepit Terminal Joyoboyo dan Kebun Bintang Surabaya.

Dari Wonokromo, rute trem disambung hingga perbatasan kota yaitu melewati, Jl Gunungsari- Jl Kebraon- Jl Karangpilang, hingga Sepanjang Sidoarjo (diresmikan 27 September 1890).

Tujuh tahun kemudian (1 Juni 1897 ) ada penambahan jalur baru rute Jl Kebonrojo ke Jembatan Merah dan jalur jalur rel sepanjang kedua sisi sungai kalimas . Kemudian dan rute trem lanjutan Sepanjang-Krian, Sidoarjo beroperasi pada 14 Februari 1898.

Inilah jalur trem pertama di Surabaya, ketika kawasan perumahan Darmo belum dibangun, dan listrik belum dikenalkan di Surabaya. kota ini sudah setara dengan Eropa dalam membangun jaringan transportasi publik. Padahal teknologi trem awal mula ini masih menggunakan lokomotif uap. Mirip loko kereta api antarkota tapi berukuran kecil.

Jika ingin tahu bagaimana bentuk loko trem uap itu, satu yang tersisa dijadikan monumen di depan Stasiun Pasar Turi:

Dua puluh tahun tahun kemudian, Infrastruktur trem di Surabaya dirombak total. Ini menyusul perkembangan teknologi listrik sekaligus mulai berkembangnya pemukiman baru di Surabaya Selatan, di kawasan Darmo. Pada tahun 1923, OJS memperkenalkan trem tenaga listrik alias listrik tepat saat panjang lintasnya mencapai 36 km.

Baca Juga  Bikin Polling Ganti Nama Alun-Alun Surabaya

Jalur dari Stasiun Trem Wonokromo yang melalui Jl Darmokali- Jl Dinoyo- Jl Keputran- Jl Kaliasin ditutup. Rute dari Stasiun Trem Wonokromo itu dibuatkan dua percabangan jalur yang sama-sama menuju Surabaya Utara.

Jalur pertama melewati tengah Jl Darmo – Jl Urip Sumoharjo- Jl Panglima Sudirman – Jl Gubernur Suryo hingga depan Apotek Simpang. Ini menyambung ke rute lama 20 tahun lalu.  Rute ini digunakan untuk Trem listrik.

Sedangkan jalur trem uap yang semula di Jl Darmokali dibuatkan rute baru dari Wonokromo. Yaitu bercabang ke arah Jl Diponegoro- Jl Pasar Kembang- Jl Arjuno- Jl Semarang- Pasar Turi- Jl Kebonrojo dan tembus di rute 20 tahun lalu di halte trem Jl Stasiun Kota ke arah Ampel dan berakhir di Jembatan Petekan.

Rute utara-selatan sudah beres, kali ini lintasan timur barat mulai digarap di tahun yang sama. Yaitu menghubungkan Gubeng di timur dan Sawahan di barat. Dibangunlah jalur mulai di ujung barat Jl Sulawesi di Gubeng, bercabang di depan Stasiun Gubeng, melewati Jl Pemuda- Jl Gubernur Suryo- Jl Simpang, Jl Embong Malang- Jl Tidar dan berakhir di Sawahan.

Di ujung timur itu kemudian dibangun dipo trem terbesar plus pembangkit listriknya. Hingga kini pembangkit listrik itu masih digunakan sebagai gardu induk PLN Sawahan. Sedangkan Dipo trem mangkrak dan menjadi pergudangan.

Hingga peresmian jaringan trem listrik pada 15 Mei 1923, semua area kota sudah tercover angkutan massa berbasis rel. Saat itu, beralan kaki dari kampung-kampung dan perumahan ke jalur trem tidak lebih 1 kilometer.

Efektif menghubungkan tempat tinggal dengan semua aktivitas bisnis, sekolah, dan perkantoran. Juga terintegrasi dengan angkutan  massal lain.

Baca Juga  Adi Sutarwijono, Ketua DPRD Kota Surabaya Luncurkan Buku Sejarah Surabaya dan Disaksikan Sejarawan Belanda. 

Saat itu, Surabaya dianggap kota ideal. Sebagai kota berpenduduk 187.903 pada sensus 1920, jalanan kota relatif luas, area kota baru seperempat dari wilayah sekarang, namun angkutan massalnya sudah modern. jadwalnya tepat. Tiap 30 menit trem pasti datang.

Trem Uap OJS yang menyusuri jalanan Surabaya 1930 (KITLV Leiden)

Kisah Kemundurannya

Zaman Jepang menjadi awal kemunduran trem di Surabaya.  Jalur Karangpilang-Krian terpaksa mati akibat semua rel dibongkar pekerja romusha Jepang. Termasuk semua jalur kereta api antarkota yang sebelumnya dua jalur menjadi satu jalur hingga sekarang.

Pasca kemerdekaan masa depan trem semakin  terpuruk. Akibat kirisis yang berakibat tidak adanya perawatan dan modernisasi teknologi, trem listrik mulai menemui ajalnya tahun 1968.

Secara bertahap hingga  1969, trem listrik dihentikan operasinya. Kabel listrik yang berada di atas jalur trem dicabut. Jalur jalur rel sebagian juga ditutup aspal.

Saat itu yang tersisa hanya jalur trem uap rute Wonokromo hingga Ujung. Namun akibat urbanisasi yang masif, sekaligus kebijakan Orde Baru yang membuka impor kendaraan pribadi dari Jepang pada awal 1970an, memukul nasib trem uap.

Angkutan umum ini berjalan sangat lambat, berebut penumpang yang semakin padat, berdesakan dengan kendaraan pribadi di jalanan yang makin macet. Belum lagi pengelolaannya yang jauh dari profesional sehingga kerap dilaporkan terjadi kebocoran dalam laporan keuangan.

Senja kala trem di Surabaya berakhir pada 1978. Sampai sekarang, kota ini belum berhasil menciptakan lagi sistem transportasi massal yang efisien, murah, dan terintegrasi. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *