Jejak Soekarno (Bung Karno) di Surabaya sangat kuat. Presiden Pertama RI tersebut memang lahir di Surabaya, bukan di Blitar. Data dan fakta sejarah yang ditemukan sangat sulit dibantah.
Arsip registrasi Soekarno sebagai mahasiswa di Technische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada 1921, menyebutkan Soekarno lahir di Surabaya, 1 Juni 1901.
Bukan itu saja. Ada data yang ditemukan Begandring Soerabaia berdasarkan buku nikah Bung Karno dengan Hariyatie, perempuan Surabaya.
Buku nikah Soekarno–Hariyatie dikeluarkan di Jakarta, Selasa Pahing, 21 Mei 1963. Di situ tertulis, Ir. Dr. H. Soekarno, putera dari R. Sukemi Sasrodihardjo, lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901. Jabatannya Presiden RI, tinggal di Jakarta. Sementara Hariyatie terdata sebagai warga Surabaya. Lahir pada 24 Agustus 1940 dengan usia 23 tahun. Soekarno saat itu berusia 62 tahun.
Tidak hanya buku nikah, ada sejumlah foto pribadi keluarga yang belum pernah dipublikasikan. Juga surat-surat pribadi Bung Karno untuk Hariyatie yang ditulis pada kertas bekas amplop kepresidenan lengkap dengan cap lambang negara Garuda. Semua dokumen tersebut masih disimpan Enny Wishnu Wardhani, keponakan Hariyatie.
Pernikahan Soekarno dan Hariyatie menambah kedekatan Soekarno dengan Surabaya. Hubungan pernikahan ini juga menguak kehadiran Soekarno di Surabaya yang selama ini tidak diketahui publik.
Kedatangan Soekarno ke Surabaya yang bersifat pribadi yang tidak diketahui masyarakat. Misalnya, setelah menikahi Hariyatie, mereka memiliki rumah tinggal di Jalan Comal 2, Surabaya, permukiman elit di kawasan Raya Darmo Surabaya. Sementara orang tua Hariyatie adalah keluarga biasa biasa yang secara ekonomis tidak mungkin memiliki aset di kawasan tersebut.
Enny Wishnu Wardhani menuturkan, ibunya adalah kakak kandung Hariyatie. Mereka delapan bersaudara. “Ibu saya bernama Rr. Soeherlien, anak ketujuh. Sedangkan Bulik Hariyatie anak kedelapan, paling kecil,” ungkap Enny, ditemui di rumahnya, Jalan Cipunegara, Surabaya.
Tempat tinggal Enny berada di sederetan bangunan lama di era 1940-an. Bangunannya bertingkat. Pelataran rumah cukupluas, design tata ruang bangunan rumah tempo dulu. Penataan ruangan di lantai rumah itu sangat vintage. Penuh hiasan dan perabotan antik. Ruang kenangan, full nostalgia. Di sana terpampang foto-foto keluarga, termasuk foto resmi Presiden Soekarno bersama Hariyatie, tahun 1963. Ada juga foto-foto keluarga yang mengabadikan momen Bung Karno di antara keluarga besar Soekarno–Hariyatie. Berikut surat-surat romantis Bung Karno untuk Hariyatie masih tersimpan rapi.
Melihat kertas-kertas amplop kepresidenan yang dipakai Bung Karno untuk menyampaikan pesan kepada Hariyatie, seperti mewakili sifat sederhana dan egaliter Bung Karno sebagai Arek Suroboyo. Dalam surat-surat itu, Bung Karno tanpa tedeng aling-aling mengutarakan isi hati dan pikirannya kepada Hariyatie.
Enny mengaku pernah menjadi anak pancingan Soekarno-Hariyatie saat usianya masih balita. Kata dia, Soekarno orangnya terbuka. Bung Karno tergolong orang yang tidak malu malu mengekspresikan isi hatinya melalui surat-suratnya. Padahal, surat-surat itu tidak dibungkus amplop dan bisa dibaca oleh siapa pun yang disuruh.
“Bukan hanya menyembah, tapi B.K. sering mengangkat kakiku di atas kepala beliau. Tidak malu surat ini dibaca orang lain.”
Kalimatnya Puitis
Soekarno adalah pemimpin besar. Pemimpin yang berpengaruh karena kharisma, ketegasannya, serta keberaniannya. Dia bisa sejajar dengan para pemimpin besar di dunia.
Soekarno sebagai pribadi tetap saja manusia biasa. Tapi sebagai pemimpin besar, Soekarno mampu menunjukkan diri sebagai sosok negarawan yang berkarakter.
Suatu hari, ketika tengah menulis draf naskah sambutan upacara 17 Agustus 1963, Soekarno masih menyempatkan menulis surat kepada Hariyatie. Bukan dalam bahasa Indonesia atau Jawa, tapi dalam Bahasa Inggris.
Bahasa Inggris Bung Karno keren. Grammar-nya bagus dan benar. Kalimat- kalimatnya tersusun rapi. Pilihan diksinya mewakili pancaran isi hati dan pikiran. Kalimatnya puitis. Menunjukkan perasaan yang dalam. Sebuah karya tulis yang dihasilkan dengan cermat.
“I am writting my speech for the 17th of this month. I try to concentrste my mind, to concentrate all my soul, on what I shall say to the people on that day. In doing so, I think of you every moment. Because you are my inspiration, you are my strength of soul. That is why I ask you, my darling, to always strengthen my heart, my mind, my soul. Make me strong, make me the king of kings.
Oh darling, don’t cry in my presence, because it makes me confused. It makes me like a living corpse, it makes me like having no ground. It makes me so weak, so weak, so weak. It makes me cry and weep in my heart. You are my only hold. You are my only strength. You are my only hope. Don’t make me weak and don’t make me have no hope in life. Remember always: you are my only love. I live in you, and you live in me.
Again: In writting this speech (17th of August) I concentrate my mind intensely on what I shall say to the people, and on you. I repeat you are my inspiration, you are the bright star shining over me.
Tie, adikku wong aju, bodjoku terakhir, mung kowe gondelaku, mung kowe pepundjerku.
Wis ya wong aju. Pipiku tumempel ing pipimu, lambeku tumempel ing lambemu, atiku tumempel ing atimu.
Mas Soekarno”.
(“Aku menulis pidato ini untuk tanggal 17 bulan ini. Aku mencoba untuk memusatkan pikiranku, untuk memusatkan seluruh jiwaku, pada apa yang akan aku katakan kepada masyarakat pada hari itu. Sambil menulis naskah, aku memikirkanmu setiap saat. Karena kamu adalah inspirasiku, kamu adalah kekuatan jiwaku. Itulah sebabnya aku memintamu, sayangku, untuk selalu menguatkan hatiku, pikiranku, jiwaku. Kuatkan aku, jadikan aku raja di atas segala raja.
Oh sayang, jangan menangis di hadapanku, karena itu membuatku bingung. Itu membuatku seperti mayat hidup, membuatku seperti tidak punya tanah. Itu membuatku sangat lemah, sangat lemah, sangat lemah. Itu membuatku menangis dan menangis di hatiku. Kamu adalah satu-satunya peganganku. Kamu adalah satu-satunya kekuatanku. Kamu adalah satu-satunya harapanku. Jangan membuatku lemah dan jangan membuatku tidak punya harapan dalam hidup. Ingatlah selalu: kamu adalah satu-satunya cintaku. Aku hidup di dalam dirimu, dan kamu hidup di dalam diriku.
Sekali lagi: Dalam menulis pidato ini (17 Agustus) aku memusatkan pikiranku secara intens pada apa yang akan kukatakan kepada masyarakat, dan padamu. Ku ulangi, kamu adalah inspirasiku, kamu adalah bintang terang yang menyinariku.
Tie, adikku yang cantik, istriku terakhir, hanya dirimu peganganku, hanya dirimu belahan jiwaku.
Sudah ya orang cantik. Pipiku tertempel di pipimu, bibirku tertempel di bibirmu, hatiku tertempel di hatimu.
Mas Soekarno”)
Soekarno juga sangat menyanjung Hariyatie. Seperti terlihat pada tulisan berikut ini:
“Sedela sedela aku kepingin marani kowe, kepingin nelpon. Sedela kepingin weruh rupa adjengmu, senadjan ta mung saktleraman”.
(Sebentar sebentar aku ingin mendatangimu, kepingin menelpon mu. Sebentar sebentar ingin melihat wajah cantikmu. Meskipun hanya sebentar.)
“Jen kowe Lunga senadjan sedela, aku bakal sedih bingung mbokmenawa kaja botjah tjilik nangis mrana mrene nggoleki mbok’e”.
(Jika dirimu pergi meski pun sebentar, aku pasti sedih bingung bagai anak kecil yang menangis merengek mencari ibunya).
Masih banyak surat pribadi Soekarno untuk Hariyatie yang masih disimpan Enny Wishnu Wardhani di rumahnya. Sebagian dipajang di tembok rumah, sebagian disimpan di album. (*)