Kontroversi pemasangan papan reklame di Viaduct Gubeng masih berlanjut. Kali ini, mencuat kabar adanya izin pemasangan reklame di ruang milik jalan (Rumija) PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Sesuai peraturan yang berlaku, setia pendirian bangunan di lahan milik PT KAI harus mendapatkan izin dari pemilik prasarana, dalam hal ini PT KAI Daop 8.
Menurut sumber di Dinas Kebudayaan kepemudaan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya, pemasangan reklame di Viaduct Gubeng tersebut sudah mendapatkan izin dari PT KAI. Benarkah?
Dikonfirmasi soal itu, Kahumas PT KAI Daop 8 Luqman Arif belum bisa memberikan keterangan sekarang. “Saya cari info dulu,” jawabnya singkat melalui WA.
Jika merujuk aturan, pemasangan reklame bukanlah infrastruktur atau kegiatan yang diperbolehkan di ruang milik jalan PT KAI sesuai dengan pasal 59 ayat 2, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian.
Reklame adalah objek yang berukuran besar dan mudah dipandang mata yang nyata berada di lokasi ruang milik jalan PT KAI. Karenanya, PT KAI harus mengetahuinya, termasuk mengenai perizinan atas pendirian reklame itu.
Melanggar Aturan
Pada kisaran tahun 2015, pemasangan reklame di Viaduct Gubeng pernah disoal. Persoalan ini sama dengan adanya kontroversi papan reklame yang terjadi sekarang.
Sebuah studi pernah mengkaji atas maraknya pemasangan reklame di Koridor Jalan Kertajaya, termasuk pada titik Viaduct Gubeng yang dianggap melanggar aturan.
Kala itu, hasil studi menunjukkan sejumlah pelanggaran. Salah satunya adanya satu reklame videotron yang berada di dalam ruang milik jalan (Rumija) PT KAI, yaitu di Viaduct Gubeng.
Studi itu menyimpulkan, walaupun pemasangan videotron pada kaki Viaduct Gubeng mendapat izin tertulis dari PT KAI Daop 8 Surabaya. Seharusnya, dalam Rumija Kereta Api, terutama yang berada pada kaki Viaduct Gubeng, tidak digunakan untuk menempatkan reklame videotron.
Ini karena videotron tidak termasuk salah satu infrastruktur yang diizinkan sesuai pasal 59 ayat 2, PP Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian.
Sesuai dengan pasal 59 ayat 2, PP Nomor 56 Tahun 2009 bahwa kegiatan yang diizinkan di dalam Rumija Kereta Api adalah pemasangan (a) pipa gas, (b) pipa minyak, (c) pipa air,(d) kabel telepon, (e) kabel listrik, atau (f) menara telekomunikasi.
Dari pasal 59 ayat 1 sudah menyebut bahwa Rumija Kereta Api dapat digunakan untuk keperluan lain atas izin pemilik prasarana perkeretaapian dengan ketentuan tidak membahayakan konstruksi jalan rel, fasilitas operasi kereta api, dan perjalanan kereta api.
Kegiatan lain yang dimaksud itu adalah sebagaimana disebut pada Pasal 59 ayat 2, yakni pemasangan pipa gas, pipa minyak, pipa air, kabel telepon, kabel listrik, atau menara Telekomunikasi atas seizin Daop 8 PT KAI.
Dalam kesimpulan studi, yang berjudul “Pemasangan Reklame di Koridor Jalan Kertajaya Ditinjau Dari Aspek Hukum” yang dilakukan oleh Suprapti, Niken Prasetyawati, Usman Arif dan Heru Purwadio, menyatakan dengan tegas bahwa pemasangan reklame di viaduk bukanlah kegiatan yang diizinkan sesuai aturan.
Tahun 2017, isu pemasangan reklame di Viaduct Gubeng sempat mencuat dan ramai dibicarakan. Isu ini sempat menjadi adu argumentasi di meja DPRD Kota Surabaya.
Di DPRD Kota Surabaya, pemasangan sempat lolos dan berdirilah reklame itu. Namun, pada akhirnya reklame di Viaduct Gubeng tersebut dipotong oleh Pemerintah Kota Surabaya karena dianggap bodong.
Pemilik reklame tidak terima dan menggugat Pemkot melalui PTUN terkait legalitas reklame di Viaduct Gubeng, namun Pemerintah Kota Surabaya menang atas gugatan itu di tingkat banding.
Sekarang, justru Pemerintah Kota Surabaya memasang papan reklame di lokasi yang sama. Di Viaduct Gubeng yang termasuk bangunan cagar budaya. Buntutnya, tidak hanya warga yang bersuara, para wakil rakyat di DPRD Kota Surabaya juga turut bersuara. (tim)