Jejak Rel yang Menyulap Rembang

Penulis: Ilham Baskoro*

Sejarah Kabupaten Rembang, coba tebak apa yang terlintas ketika mendengar tiga kata tersebut? Mungkin akan terbersit sejarah dan makamnya R.A. Kartini, atau Kota Lasem yang populer sejarah pecinan hingga industri batiknya. Namun, pernahkah terbayang bagaimana ekonomi di Kabupaten Rembang sebenarnya juga digerakkan oleh kereta api?

Kabupaten Rembang secara geografis terletak sangat strategis di pesisir utara Jawa Tengah. Keuntungan geografis ini membuat Rembang memiliki sejarah yang sarat akan perubahan dan kuat secara ekonomi, terutama pada masa Hindia Belanda.

Salah satu perubahan paling signifikan di bidang ekonomi dan sosial Kabupaten Rembang adalah pembangunan jaringan kereta api. Rel kereta api tidak hanya membawa barang dan manusia, tetapi juga semangat modernisasi yang mendalam. Kereta api menjadi penggerak utama yang menyulap Kabupaten Rembang dari daerah yang relatif terisolasi menjadi pusat aktivitas ekonomi yang dinamis.

Potongan peta jalur kereta api di Kabupaten Rembang yang dibangun SJS. Sumber : Universitaire Bibliotheken Leiden

Pembangunan kereta api di Kabupaten Rembang dimulai pada akhir abad ke-19, ketika pemerintah kolonial Belanda menyadari potensi ekonomi yang dimiliki wilayah ini. Pada tahun 1884, perusahaan kereta api swasta, Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) beroperasi.

Perusahaan ini diberikan konsesi dari pemerintah untuk membuka jalur kereta api yang menghubungkan Semarang dengan Kudus, Pati, hingga akhirnya diperluas mencapai Rembang.

Kemudian diresmikan jalur Juwana – Rembang pada tahun 1900 hingga dilanjutkan pembangunan jalur Rembang- Lasem – Pamotan – Jatirogo serta jalur cabang ke arah selatan Rembang – Blora – Cepu.

Kedua jalur tersebut pada akhirnya menjadi jalur utama yang mendatangkan keuntungan besar bagi perusahaan Samarang–Joana Stoomtram Maatschappij (SJS)

Uniknya, para Residen Rembang memiliki beragam komentar terkait pembangunan infrastruktur kereta api ini. Dikutip dari buku “MEMORIE van OVERGAVE (M.v.O) Potret Hindia Belanda Dalam Ingatan Residen Rembang, 1905-1936”, George Lodewijk Gonggrijp selaku Residen Rembang 1907 – 1913 menyatakan bahwa sejatinya wilayah Rembang adalah wilayah yang potensial.

Baca Juga  Meniti Jejak Peradaban Delta Surabaya

Mayoritas Residen Rembang sebelum beliau tercatat di M.v.O selalu mengeluh bila Rembang adalah wilayah terbelakang, tidak menguntungkan untuk agraria, dan cenderung sulit untuk berkembang. Akan tetapi, Gonggrijp dengan kacamata ekonominya justru melihat potensi besar perekonomian di Rembang.

Menurutnya, salah satu hambatan terbesar adalah sulitnya aksesibilitas yang masih terhalang hutan lebat dan berbukit di wilayah selatan Rembang. Oleh karena itu, Gonggrijp mendorong dibangunnya jalur kereta api yang membuka akses Rembang ke Cepu yang kaya akan minyak serta akses dari Rembang ke Jatirogo melewati Pamotan yang kaya akan tambang.

Portret George Lodewijk Gonggrijp, Residen Rembang 1907 – 1913. Sumber : KITLV

Sesuai prediksi Gonggrijp, kehadiran kereta api di Rembang membawa dampak signifikan terhadap perekonomian lokal.

Rel kereta api memungkinkan pengangkutan barang dengan lebih cepat dan efisien dibandingkan dengan transportasi tradisional seperti gerobak sapi atau perahu.

Komoditas pertanian yang sebelumnya sulit dijual ke luar daerah kini bisa dikirim ke pasar-pasar besar seperti Semarang dengan lebih mudah. Hal ini mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat di Rembang. Tidak hanya itu, kereta api juga memantik industri di Rembang untuk memperluas distribusi hingga ke luar Pulau Jawa.

Salah satu bukti nyata signifikansi kehadiran kereta api bagi industri di Rembang bisa dilihat dari arsip penemuan jaringan perdagangan batik Nyah Lasem abad 20. Ternyata, menurut komunitas Yayasan Lasem Heritage, dengan dibangunnya infrastruktur transportasi di Lasem memudahkan para pebisnis batik mengirim hasil batiknya ke luar Pulau Jawa hingga ke Malaysia.

Kereta api juga dipakai untuk memborong bahan baku batik dari Solo, Pekalongan, dan Surabaya menuju Lasem. Bisa dibayangkan, tanpa adanya kereta api maka distribusi perdagangan batik akan tersendat karena hanya bisa diangkut tenaga hewan.

Baca Juga  Carel Reynierz, Gubernur Jendral Hindia Belanda ke-11 Pernah Tinggal di Gedung Setan

Peta Kota Lasem dengan jalur kereta api dan stasiun yang telah dibangun. Sumber : Handinoto, Lasem : Kota Tua Bernuansa Cina.

Tujuan utama pembukaan jalur kereta api memang bertujuan untuk memperlancar pengangkutan hasil bumi, hasil industri, dan barang tambang yang menjadi komoditas utama. Akan tetapi, pembangunan stasiun-stasiun kereta api di beberapa titik strategis, seperti di Lasem dan Pamotan, juga menjadikan daerah-daerah tersebut sebagai pusat perdagangan baru.

Pasar-pasar tumbuh di sekitar stasiun dan penduduk setempat mulai berdagang dengan para pedagang dari luar daerah yang datang menggunakan kereta api. Infrastruktur ini juga mendorong urbanisasi, di mana masyarakat dari pedesaan mulai pindah ke daerah sekitar stasiun untuk mencari peluang ekonomi yang lebih baik. Bahkan aspek ini masih dapat dilihat hingga sekarang.

Bekas Stasiun Rembang sekarang berubah menjadi pasar dan pertokoan pun didirikan didalam overcapping atau atap asli stasiun. Di sekitar bekas Stasiun Rembang juga menjadi ramai hingga akhirnya didirikan Pasar Kecamatan Rembang tepat di seberang bekas stasiun.

Perbandingan kondisi Stasiun Rembang tahun 1900an (kiri) dan bekas Stasiun Rembang sekarang (kanan) yang berubah menjadi pasar. Sumber : KITLV dan Radar Kudus

Kereta api tidak hanya mengubah ekonomi Rembang, tetapi juga membawa perubahan sosial dan budaya. Masyarakat mulai terbiasa dengan mobilitas yang lebih tinggi, baik untuk kepentingan dagang maupun sosial.

Tingginya mobilitas penduduk yang memakai kereta api bahkan membuat SJS menambah armada untuk difokuskan mengangkut penumpang dari Semarang ke Rembang pada tahun 1930an. Hal ini mengimplikasikan hadirnya kereta api memang memudahkan mobilitas warga Rembang menuju Semarang, Surabaya, maupun ke arah selatan Pulau Jawa menaiki kereta.

Sungguh, inilah aspek yang terasa benar-benar hilang setelah ditutupnya semua jalur kereta api Rembang pada tahun 1990.

Setelah melewati masa Hindia Belanda, rel kereta api di Kabupaten Rembang tetap menjadi tulang punggung transportasi dan ekonomi wilayah ini. Bahkan kereta api di jalur Rembang tetap kuat aktif meskipun terseok-seok hingga akhirnya ditutup permanen sebelum jatuhnya rezim Orde Baru.

Baca Juga  Catatan Penelusuran di Rumah Cak Roes: Dari Al-Quran Bung Karno hingga Ketikan Terakhir

Meskipun terjadi berbagai perubahan politik dan sosial setelah kemerdekaan Indonesia, warisan rel kereta api tetap berperan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.  Sudah sepatutnya kita menjaga warisan tersebut jangan seperti habis manis sepah dibuang.

Jejak rel kereta api di Kabupaten Rembang merupakan saksi bisu dari perjalanan panjang modernisasi ekonomi dan sosial wilayah ini.

Dari masa Hindia Belanda hingga era Orde Baru, kereta api telah memainkan peran vital dalam membuka aksesibilitas wilayah Rembang, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan membawa perubahan sosial yang signifikan.

Meski menghadapi berbagai tantangan, kereta api tetap menjadi penggerak utama yang menyulap Rembang menjadi wilayah yang dinamis dan terus berkembang.

Rel kereta api adalah bukti bahwa infrastruktur yang dibangun dengan visi jangka panjang mampu menciptakan transformasi yang bertahan hingga generasi ke generasi (*)

 

*Ilham Baskoro. Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah FIB Unair.

 

Referensi

Alawiyah, Resti. (2023). Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij, 1881-1919.  Penerbit Dramaturgi dan Kendi

Basundoro, P. (2023). Pengantar Kajian Sejarah Ekonomi Perkotaan Indonesia (1st ed.). Prenada Media Group.

Kusuma, R., & Purnomo, A. (2018). Sejarah Kereta Api Rute Semarang-Rembang Tahun 1967-1988. Journal of Indonesian History, 7(1), 56–61.

Pratama, Cahya Aditya & Gerry Erlangga. (2023). Dinamika Perusahaan Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). Narasisejarah.id. Diakses dari Dinamika Perusahaan Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) – Narasi Sejarah

Rizaldi, A. (2019). Dinamika Perkeretaapian Lintas Semarang-Juwana Tahun 1950-1998. Skripsi: Universitas Diponegoro, 1(1), 1–10.

Syahabuddin, A. (2019). Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS): Jalur Semarang Juwana Tahun 1881-1910. Ilmu Sejarah, 206–220.

Warto. (2010). MEMORIE van OVERGAVE (M.v.O) POTRET HINDIA BELANDA DALAM INGATAN RESIDEN REMBANG, 1905-1936. Penerbit LPP UNS dan UNS Press

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *