Mengenang Soeranten, Juru Kunci Kidal di Era Kolonial

Penulis: Eva N.S. Damayanti*

Juru kunci adalah pekerjaan tradisional. Namun tak berarti lebih mudah dibanding pekerjaan ‘modern’. Juru kunci adalah profesi yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, namun juga kepekaan dan kedalaman spiritual.

Bagi para pecinta cagar budaya mungkin nama Candi Kidal sudah tidak asing lagi. Candi bergaya klasik muda era Singhasari ini terletak di Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.

Candi Kidal merupakan Cagar Budaya Peringkat Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 205/M/2016.

Pertimbangannya, karena ada banyak makna dan nilai penting yang terkandung di dalamnya, sebagaimana ketentuan yang tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Candi Kidal dihubung-hubungkan dengan Anusapati, raja Singhasari yang wafat pada tahun 1248 M. Nama Kidal pernah dicuplik dalam Kitab Negarakretagama, namun kitab tersebut tidak menjelaskan mengapa candi pendharmaan Anusapati ini dinamakan Kidal. Ada pendapat bahwa penamaan ini terinspirasi dari cara pembacaan relief candi.

Pada umumnya, cerita yang terpahat dalam panil-panil relief candi dibaca secara searah jarum jam (pradaksina) namun keunikan relief Candi Kidal adalah dari cara pembacaannya yang secara prasawiya atau berlawanan dengan arah jarum jam atau meng-kiri-kan candi.

Kali ini saya tidak ingin membahas Candi Kidal dari sisi arkeologi karena sudah banyak akademisi yang mengkajinya. Tetap bertema masa lalu, namun saya ingin melihatnya dari sisi yang berbeda. Saya ingin sedikit mengulas tentang sosok Pak Soeranten, juru kunci Candi Kidal di masa Hindia Belanda. Awalnya cerita tentang beliau saya peroleh dari Pak Imam Pinarko, Juru Pelihara Candi Kidal yang beberapa tahun belakangan pindah tugas menjadi Juru Pelihara Candi Jago. Jarak kedua candi terpaut sekitar 7,5 km.

“Ini foto yang saya janjikan kemarin. Foto buyut saya, juru kunci pertama Candi Kidal. Namanya Buyut Soeranten”.

Begitu bunyi pesan singkat dari Pak Imam siang itu. Sebuah foto hitam putih yang sudah mulai menguning tampak di layar gawai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, juru kunci dapat diartikan sebagai penjaga dan pengurus tempat keramat, makam, dan sebagainya.

Baca Juga  Pemugaran Makam Peneleh Dimulai

Foto Pak Soeranten dan istrinya, Bu Jaminah. Tahun tidak diketahui. Sumber: koleksi foto Imam Pinarko

Di dalam satu kesempatan, Pak Imam bercerita bahwa foto ini telah menghias dinding rumah sejak puluhan tahun yang lalu dan kini menjelma menjadi artefak bersejarah bagi keluarga besarnya. Mengenai tahun berapa foto ini diambil, Pak Imam tidak pernah mengetahuinya secara pasti.

Namun ia mendengar cerita turun-temurun, bahwa foto diambil ketika ada kunjungan bangsawan atau pejabat penting ke Candi Kidal di masa Hindia Belanda, lalu hasil fotonya diberikan kepada Pak Soeranten sebagai kenang-kenangan.

Pak Soeranten nampak sudah sepuh, duduk berdampingan dengan istri terakhirnya yang bernama Bu Jaminah di bawah Pohon Rambutan yang tumbuh di belakang halaman rumah beliau. Memang, rumah Pak Soeranten dekat dengan candi yang letaknya sekarang kira-kira ada di sekitar bangunan kantor di dalam kompleks Candi Kidal.

Kisah Pak Soeranten bisa mempunyai rumah di sekitar Candi Kidal dan menjadi juru kunci. Pak Imam mengatakan bahwa buyutnya dulu adalah salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yang menyingkir ke arah timur pasca kecamuk Perang Jawa pada tahun 1825-1830. Beliau bersama dengan beberapa orang rekannya membuka hutan di sekitar candi dan lalu bermukim di sana.

Nama asli Pak Soeranten adalah Qhaeru. Beliau berganti nama dari Soeranten menjadi Qhaeru karena adanya masukan dari para cantrik. Yah, Pak Soeranten memang seorang tokoh agama yang disegani sehingga banyak orang yang berguru pada beliau.

Sebagai penanda bahwa beliau adalah pengikut Pangeran Diponegoro, maka ditanamlah sebuah Pohon Sawo Kecik di halaman rumah. Namun sayang, jejak pohon langka yang besar diameternya kira-kira bisa dipeluk 2 orang dewasa tersebut hilang karena terpaksa ditebang tahun 1980an dalam rangka penataan lingkungan.

Keberadaan pohon-pohon berukuran besar memang berpotensi membahayakan struktur candi karena perakarannya, selain itu pepohonan tersebut menyebabkan kelembaban di sekitar candi meningkat dan bisa menimbulkan efek negatif pada kondisi fisik candi.

Candi Kidal dan artefak temuan dengan latar rumah penduduk tahun 1890. Salah satu di antaranya adalah rumah Pak Soeranten. Sumber: digitalcollections.universiteitleiden

Baca Juga  Museum Hidup Kantor Polisi di Surabaya

Ketokohan Pak Soeranten nampak jelas pada foto hitam yang dikirim Pak Imam itu. Nampak beliau mengenakan baju kebesarannya, yaitu baju adat Jawa lengkap mulai dari udeng, beskap, kain batik, dan tak lupa sebilah keris yang diselipkan di perut.

Dalam dunia perkerisan, makna penempatan keris terselip di depan disebut dengan istilah nyonthe. Gaya nyonthe seperti ini biasanya berkaitan dengan status si pemakai yang menandakan bahwa ia adalah seorang tokoh atau pemuka agama. Motif kain batik yang dikenakan juga menarik, kain batik motif khas pesisir yang terpengaruh motif daratan Cina.

Terlihat ada salah satu motif berbentuk kupu-kupu, yang dalam filosofinya berarti panjang usia atau menandakan usia 90 tahun. Memang, diceritakan bahwa Pak Soeranten meninggal di usia 100 tahun lebih.

Selain bersumber pada penuturan Pak Imam, saya juga mencoba menelusuri jejak digital di internet. Tidak banyak yang saya peroleh. History of Java, maha karya Raffles yang ditulis ketika Perang Jawa berkobar menyebut Kidal sebagai Kedal dengan situasi candi yang dikelilingi hutan.

Tinggi bangunan 35 kaki, berhiaskan area singa yang melekat pada pilar-pilar yang menonjol pada setiap sisinya. Relief yang lain yaitu naga yang kepalanya saling melilit, jambangan air, dan relief yang menggambarkan wanita.

Laporan Pemugaran Candi Kidal yang ditulis tahun 1992 juga menyebutkan bahwa kunjungan orang Eropa ke Candi Kidal selanjutnya adalah Brumund yang menulis Candi Kidal lebih detail daripada Raffles, karena candi ini keadaannya sudah bersih dari pepohonan yang melapisnya. la menemukan dinding sebelah timur, utara dan selatan, relung, garuda-garuda, naga-naga dan lain-lain. Brumun juga menyebutkan bahwa di depan candi terdapat teras yang disebut altar.

Setelah Brumund, masih ada De Haan, F.D.K. Bosch, dll yang mengadakan penelitian dan restorasi di Candi Kidal.

Berdasarkan sumber History of Java dan laporan kunjungan Brumund tahun 1867 menyiratkan dua kondisi yang berbeda. Raffles menyebutkan bahwa candi masih tertutup hutan. Sedangkan pada era Brumund, penampakan candi sudah terlihat lebih terbuka.

Hal ini mengindikasikan bahwa sudah ada pemukiman penduduk (para pembuka hutan yang diawali oleh Pak Soeranten) di kawasan candi yang bermukim dalam rentang waktu mulai akhir Perang Jawa tahun 1830 sampai dengan 1867.

Baca Juga  Makam Marga Han di Pasar Bong dan Petunjuk Persebaran Priyayi Islam

Keberadaan sosok Pak Soeranten terdeteksi dalam sebuah berita di surat kabar Soerabaijasch handelsblad tanggal 22 Februari 1935 yang bertajuk Bewaking Oudheden (Memantau Benda-Benda Purbakala) menyebutkan bahwa Pak Soeranten yang sudah tua mencurahkan segenap perhatiannya pada pelestarian Candi Kidal sejak pertengahan tahun 1919 dan juga sebuah foto potret Candi Kidal pada tahun 1935, dengan sosok seorang pria sepuh yang berdiri di depannya.

Seorang laki-laki tua yang diperkirakan sebagai Pak Soeranten tahun 1935. Sumber: digitalcollections.universiteitleiden

Tidak diketahui secara pasti kapan Pak Soeranten meninggal karena menurut cerita turun-temurun Pak Seranten meninggal tahun 1928, sedangkan dalam sebuah berita di koran Belanda dan foto di atas masih menyiratkan bahwa beliau masih hidup di tahun 1935.

Sepeninggal Pak Soeranten, putranya yang bernama Pak Kadir menggantikannya sampai tahun 1960, selanjutnya digantikan oleh Pak Rabun, putra menantu sampai dengan tahun 1990an, dan dilanjutkan hingga oleh hari ini oleh putrinya, yaitu Bu Siti Romlah, sedangkan Pak Imam Pinarko pindah tugas menjadi Juru Pelihara Candi Jago.

Imam Budhi Santosa dalam bukunya yang berjudul Profesi Wong Cilik mengkategorikan juru kunci sebagai pekerjaan tradisional, sebuah pekerjaan yang tidak hanya mengandalkan fisik namun juga sisi spiritual.

Juru kunci biasanya adalah profesi turun-temurun, dari generasi ke generasi karena adanya keterikatan batin dengan sebuah benda keramat yang dijaga secara komunal dengan sepenuh hati karena juru kunci biasanya tinggal tak jauh dari lokasi dimana obyek tersebut berada.

Hal inilah yang terjadi pada Pak Soeranten dan para keturunannya. Sang pembabat alas, yang mendharmabaktikan hidupnya untuk merawat tinggalan leluhur hingga ke generasi keempat. Istilah juru kunci saat ini mengalami pergeseran menjadi juru pelihara yang tugas dan kewajibannya tidak hanya membersihkan, merawat, dan mengamankan cagar budaya saja namun juga memberikan pelayanan informasi kepada pengunjung terkait obyek yang dipeliharanya.

 

*Eva N.S. Damayanti. Reenactor Modjokerto, perangkai repihan masa lalu

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *