Sejak berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diterima oleh Surabaya pada 17 Agustus 1945 jam 12.05 di kantor berita Domai maka upaya-upaya penyebaran berita kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari desas-desus hingga aksi penempelan pamflet digedung-gedung dan kampung, bala tentara Dai Nippon pun tidak mau tinggal diam dalam menangapi aksi tersebut, mereka membuat berita bantahan dan akan memberikan sanksi keras kepada siapapun yang melakukan penyebaran Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, namun meskipun Kempetai melarang koran Suara Asia tetapi memuat berita Proklamasi tersebut pada tanggal 23 Agustus 1945 sebelum itu Surabaya Hoso Kyoku atau Radio Surabaya menyiarkan Proklamasi dalam bahasa Madura, sehingga jangkauan berita Kemerdekaan Indonesia semakin meluas.
Koran Asia Raya pada 19 Agustus 1945 memuat berita tentang Undang-Undang Dasar yang jelas pada Pasal 35 menyatakan Bendera Negara Indonesia adalah Sang Merah-Putih, maka secara sah bahwa Sang Merah-Putih harus menjadi lambang perjuangan serta persatuan dalam membela Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Maka tidak heran Surabaya yang menjadi kota kedua terbesar tidak lepas dari gerakan Merah-Putih, baik yang melibatkan puluhan hingga ratusan ribu orang, kami memandang ada 5 peristiwa bendera di Surabaya yang sangat penting untuk diketahui,antara lain :

19 AGUSTUS 1945, Pengibaran Sang Merah-Putih pertama di Kota Surabaya Markas Tokubetsu Keisatsu Tai Surabaya Syuu.
Gedung Broederschool yang terletak di Coen Boulevard No 7 Soerabaia (Jl M Jasin Polisi Istimewa saat ini) dibangun dengan arsitek Hulswit, Fermont & Ed. Cuypers dari Weltevreden, Batavia. Gedung ini mulai digunakan pada tahun 1923 sebagai Lagere School (SD), kemudian berubah menjadi Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO (SMP).
Pada tahun 1942, Jepang menyerbu Hindia-Belanda tentunya juga masuk ke Kota Surabaya, tahun 1943, Broederschool dikuasai oleh Jepang dan digunakan untuk Sekolah Polisi Jepang Futsuka, asrama Keibodan serta dijadikan Markas Tokubetsu Kaisatsu Tai Karesidenan Surabaya, Kesatuan Polisi Khusus bentukan Jepang yang dipimpin oleh Keibu Moehammad Jasin.
Moehamad Jasin selaku komandan Surabaya Syuu Tokubetsu Keisatsu Tai, pada tanggal 18 Agustus 1945 mendapatkan kepastian berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari anak buahnya yang bernama Nainggolan. Perlu dicatat bahwa penyebaran informasi pada masa itu belumlah semudah sekarang, apalagi Jepang menyegel radio-radio yang ada. Nainggolan saat itu begitu bersemangat, kemudian ia mengajak seorang kawannya yang bernama Sugito untuk merencanakan pengibaran bendera Indonesia, bendera Merah-Putih. Mereka merencanakan untuk mengibarkan bendera pada keesokan harinya.
Pada hari minggu tanggal 19 Agustus 1945 terjadilah peristiwa bersejarah itu, Nainggolan dan Sugito sungguh-sungguh melaksanakan rencana mereka. Ketika pimpinan Jepang mengetahui bahwa bendera Merah-Putih dikibarkan maka marahlah ia. Sugito dan Nainggolan ditempeleng dan dimaki-maki. Merah putih pun kembali turun dan bendera Jepang kembali dikibarkan.
Bendera Merah-Putih sempat dikibarkan selama beberapa waktu, sebelum ketahuan Jepang, rupanya peristiwa ini diketahui oleh masyarakat sekitar yaitu warga kampung Dinoyo. Warga Dinoyo ini membentuk kelompok perjuangan dengan nama Pemuda 40.000 Dinoyo. Saat itu lokasi sekolah ini sangat terbuka, belum banyak bangunan dan juga tidak banyak pepohonan, nampak luas dan sepi dengan tiang-tiang lampu gas ditepi jalan sebagai penerangan saat malam tiba. Sehingga peristiwa naiknya merah putih dapat dengan mudah terlihat dan segera menyebar ke penduduk kampung.
Para pemuda kampung Dinoyo yang melihat dan mendengar peristiwa itu mendidih darahnya, lima orang pemuda menghadap Inspektur Polisi Tk 1 Moehamad Jasin dan menyatakan diri sebagai utusan dari Pemuda Dinoyo serta menyatakan mendukung tindakan Polisi Istimewa dalam pengibaran bendera Merah Putih, bagi Nainggolan dan Sugito, semangat para pemuda kampung ini pun ibaratkan tuangan bensin pada api. Mereka kembali terbakar dan menurunkan bendera Jepang, disusul segera menaikkan kembali bendera Merah-Putih. Kali ini para pemuda kampung Dinoyo turut menjaga sekeliling tiang bendera, para anggota Tokubetsu Keisatsu Tai menempatkan pagar berduri disekeliling tiang.
Melihat situasi tidak kondusif, Jepang memutuskan untuk tidak mengambil langkah apapun, mereka membiarkan aksi itu terjadi. Jepang saat itu kondisinya sudah kalah perang, mereka sudah menyerah, moril mereka sudah runtuh. Bendera Merah-Putih masih berkibar di tempatnya hingga beberapa hari. Para pemuda Dinoyo ini kemudian mengirimkan perwakilan untuk menemui pak Jasin, tujuan mereka untuk menyampaikan jangan sampai Tokubetsu Keisatsu Tai bernasib sama seperti PETA, dilucuti persenjataannya. (Lintasan perjalanan Kepolisian RI sejak proklamasi 1950, Hadiman, Jakarta, 1985.)

1 SEPTEMBER 1945, Pengibaran Sang Merah-Putih pertama Di gedung pemerintahan Jepang.
Sabtu 01 September 1945, serombongan mahasiswa dan pelajar Surabaya menuju tiang atas Kantor Surabaya Syuu (Kantor Karesidenan Surabaya, saat ini Kantor Gubernuran Jawa Timur), seorang diantaranya membawa bendera Merah Putih, mereka cepat naik dan dalam waktu singkat Sang Dwi Warna berkibar dengan gagahnya.
Gerakan cepat itu membuat serdadu Kempetai Jepang yang bermarkas diseberang Kantor Surabaya Syuu terkesima, mereka tak sempat mencegah. Orang-orang Belanda yang baru saja bebas dari interniran terpana, mereka melihat dengan penuh kebencian, sontak mereka memprotes tetapi ditolak oleh para pegawai Kantor Surabaya Syuu.
Tak lama ke kemudian Kempetai menangkap serta menahan tokoh mahasiswa dan pelajar yang menggerakkan aksi pengibaran Sang Dwi Warna. Mendengar ditahannya para tokoh mahasiswa dan pelajar oleh Kempetai, seketika Ketua Komit Nasional Indonesia Surabaya pak Doel Arnowo mendatangi Kempetai, beliau minta Kempetai membebaskan mereka dan berhasil. (Hari-hari Bahagia Bersama Rakyat, Soetjipto, Jakarta, 1997).
Bersambung : ,,