Peninggalan sejarah harus dimanfaatkan, bukan hanya dikenang. Karena sejarah bisa dipakai untuk membentuk karakter manusia di masa depan.
Pun pemanfaatan peninggalan masa lalu juga bisa dijadikan bahan pelajaran muatan lokal di sekolah.
Seperti yang dilakukan SD Alun Alun Contong I Surabaya. Sekolah ini ingin menjadikan peninggalan sejarah di lingkungan sekolah menjadi muatan muatan lokal. Namun, sampai sekarang, harapan itu tidak terealisasi karena terbentur aturan.
“SD Alun Alun Contong ini dulu dikenal dengan nama SD Sulung, atau di era kolonial disebut Openbare Inlandsche School Soeloeng. Dibuka pada 20 Desember 1900,” jabar Dian Nur Aini, salah seorang penggagas pemanfaatan artefak sekolah sebagai pendukung materi muatan lokal.
Di sekolah ini ada peninggalan sejarah berupa ruang kelas, benda-benda seperti bangku bangku, papan tulis, dan meja guru. Juga buku-buku induk yang patut dipreservasi itu sudah tertata dan siap menjadi salah satu materi pengajaran. Bahan dan materi muatan lokal itu layak disebut museum.
Miftakhur Ridlo, pengurus SD Alun Alun Contong, mengatakan istilah museum menjadi ranah Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata. Sementara sekolah berada di bawah naungan Dinas Pendidikan.
“Kami disarankan oleh Dispendik Kota Surabaya untuk tidak menggunakan kata “museum” untuk mengacu pada ruang dan aset bersejarah di lingkungan sekolah bila dimanfaatkan untuk menampilkan barang-barang peninggalan bersejarah. Kami akhirnya menggunakan nama “Artefak Sekolah” sebagai pengganti museum sekolah”, kata Ridlo yang berlatar belakang bidang pendidikan sejarah.
Dia menuturkan, pihak sekolah terus mengupayakan terwujudnya kegiatan mengajar dengan muatan lokal. Sebab, Muatan lokal di SD Sulung sangat jelas. Sekolah yang sudah ada sejak awal abad 20 ini, adalah tempat R. Sukeni Sastrodiharjo, ayah Bung Karno, mengajar sejak kepindahannya dari Singaraja, Bali. Kala itu, Soekarno belum lahir. Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di Kampung Pandean, tidak jauh dari Openbare Inlandsche School Soeloeng.
Soekarno memang tidak di sini R Sukeni harus berpindah tugas ke Jombang, Tulungagung, dan Mojokerto, sebelum akhirnya Soekarno masuk lagi ke Surabaya di usianya yang menginjak remaja dan karena di Hogere Burger School (HBS) Soerabaia, sekolah lanjutan setingkat SMA.
Soekeni pun tidak lama mengajar di SD Sulung yang berada di lokasi strategis, pusat pemerintahan Surabaya kala itu (sekarang pusat pemerintahan Jawa Timur). Bahkan lokasi di mana SD Sulung pada pra kolonial merupakan kawasan kuno yang sudah ada pada peta 1677.
SD Sulung berada di kawasan pusat pemerintahan klasik Surabaya, di mana di sebelah barat terdapat alun-alun luas dengan Pendopo Kasepuhan dan Pendopo Kanoman (Twee Regent). Bahkan, daerah Sulung dan Johar disebut pernah ada bangunan kuno peninggalan pra Mataram. Pra Mataram dikenang ada dari era Majapahit.
Di era Majapahit ini, dapat dikoneksikan dengan temuan sumur kuno yang disebut Sumur Jobong. Lokasinya di Kampung Pandean. Berdasarkan hasil uji karbon pada fragmentasi tulang belulang manusia yang diketemukan di sekitar dan di dalam sumur, bahwa usia kematian tertua orang Pandean berdasarkan uji karbon pada fragmentasi tulang itu adalah tahun 1430.
Artinya, Sumur Jobong secara fisik sebagai media peletakan (kubur) tulang manusia usianya sudah lebih dahulu ketimbang keberadaan tulang manusia yang diletakkan di sekitar sumur.
Bukan tidak mungkin, materi muatan lokal yang dapat dipersembahkan oleh sekolah kepada murid-muridnya bisa berkembang ke sejarah peradaban Sulung mulai pra kolonial, kolonial, hingga kemerdekaan.
Sayang jika nilai-nilai ini tidak memiliki wadah dalam penyajiannya. Penyajian nilai-nilai ini wujudnya adalah materi pelajaran muatan lokal. SD Sulung telah memiliki sarana yang sangat mendukung untuk aplikasi penyajian muatan lokal. Tidak hanya berupa tempat yang berbentuk benda, struktur dan bangunan, tetapi juga materi ajar.
Hanya Memorabilia
Sabtu (23/7/2022), beberapa pegiat sejarah Begandring Soerabaia mengunjung SD Sulung. Ini kaitan penelusuran pada penulisan buku tentang Soekarno muda.
Dalam penulisan itu memang ada angel yang mengulik tentang kehadiran bapaknya Soekarno, R. Sukeni, di Surabaya yang mengajar di SD Sulung.
Sayang sekali, di lokasi Artefak Sekolah SD Sulung tidak banyak menyajikan kisah R. Soekeni. Yang dominan memorabilia Roeslan Abdoelgani. Di sana ada prasasti yang ditandatangani oleh Roeslan Abdoelgani dan ditempelkan di dinding luar kelas. Pemasangan itu sebagai upaya untuk mempertahankan sekolah yang pernah akan dibongkar karena rencana pembangunan kompleks kantor Gubernur Jawa Timur.
Melihat masih perlunya pengayaan khazanah kepustakaan untuk mendukung Artefak Sekolah, Begandring Soerabaia berkontribusi menyumbang buku-buku yang berisi tentang riwayat Soekarno dan R. Soekeni untuk SD Sulung.
Begandring Soerabaia berharap aset bersejarah di SD Sulung bisa dikelola dan dimanfaatkan sebagai sarana untuk mendukung pengajaran muatan lokal. Dan secara khusus dapat dimanfaatkan sebagai objek kunjungan edukasi dan pariwisata sejarah.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya A Hermas Thony mengatakan, aset di lingkungan sekolah dan digunakan untuk kepentingan sekolah serta pendidikan, secara otomatis semua itu ranahnya di Dinas Pendidikan.
Perihal nama atas aset itu misalnya, terang dia, pemilihan diksi “museum”, “laboratorium” atau “artefak” sesungguhnya tidak jadi masalah. Asalkan ada pencatatan aset yang menegaskan bahwa aset itu adalah milik sekolah, yang dalam hal ini keberadaannya di bawah Dinas Pendidikan.
“Yang penting asetnya sangat nyata peruntukannya. Itu dapat digunakan untuk menunjang muatan lokal. Harusnya pemkot mendukung merealisasikan agar aset ini benar-benar dapat dirasakan manfaatnya,” tegas Thony, menanggapi tentang potensi dan hambatan terkait pengakuan dan pengelolaan aset SD Sulung..
“Aset bersejarah ini tidak hanya semata-mata membuat sekolah, tapi akan bermanfaat untuk publik Surabaya dan umum,” imbuh politisi Gerindra itu.
Kata dia, semakin banyak sekolah muatan muatan lokal, maka itulah yang menjadi target kurikulum Merdeka Belajar. Pun kurikulum muatan lokal bisa jadi kekhasan yang dimiliki masing-masing sekolah. Misalnya, kurikulum lokal tentang sejarah seperti yang dimiliki SD Sulung.
Untuk diketahui, Pemerintah Pusat sudah mulai mengimplementasikan Merdeka Belajar sesuai dengan tema Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2022, yakni “Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar”.
Berlatar lebijakan itu, inisiasi oleh SD Sulung untuk memanfaatkan aset historisnya sebagai upaya gerakan Merdeka Belajar sesuai tema Hardiknas. Karena inisiasi ini perlu,mendapat dukungan dari semua pihak. (*)