Cari Alternatif Nama Pengganti Alun-Alun Surabaya

Penolakan terhadap pemakaian nama Alun-Alun Surabaya makin membesar. Bukan hanya dari pegiat sejarah, para akademisi, praktisi , dan masyarakat umum juga menyuarakan hal serupa lantaran pemakaian nama Alun-Alun Surabaya dianggap mengaburkan sejarah Balai Pemuda.

Hasil interview dengan beberapa anak-anak muda yang mengunjungi Alun-Alun Surabaya, membuktikan jika mereka tak paham tempat bersejarah tersebut. Terlebih, banyak di antara masyarakat yang menyebut kompleks Balai Pemuda dengan nama Balai Kota.

Menanggapi fakta akan ketidaktahuan publik, utamanya generasi milenial tentang Balai Pemuda, para pegiat sejarah yang tergabung dalam Perkumpulan Begandring Soerabaia mendesak agar nama Alun-Alun Soerabaia segera diganti.

“Kembalikan saja ke nama Balai Pemuda. Perkara dalam Komplek ini ada fasilitas fasilitas yang beragam, nama namanya bisa sesuai dengan masing masing fasilitas yang ada”, tegas Kuncarsono Prasetyo, salah seorang pendiri Begandring Soerabaia, dalam diskusi sejarah dan budaya di Lodji Besar, Jalan Peneleh, Jumat (14/1/2022) malam.

Untuk diketahui, kompleks Balai Pemuda telah revitalisasi. Di tempat itu sekarang jauh lebih indah dan moderen. Apalagi dilengkapi plaza yang dibangun di bawah tanah.

Di Balai Pemuda ada beberapa bangunan. Yakni, Gedung Utama, Gedung Merah Putih. Balai Budaya, dan Masjid As Sakinah. Terakhir, dibangun plaza bawah tanah yang diberi nama Alun-Alun Surabaya.

Kuncarsono menturkan, nama Balai Pemuda pantas disematkan pada kompleks bersejarah itu. Nama Balai Pemuda pantas dipasang untuk menggantikan nama Alun Alun Surabaya yang selama ini sudah terpampang di pojokan Jalan Gubernur Suryo dan Jalan Yos Sudarso.

“Bahwa di Komplek sBalai Pemuda ada fasilitas masjid, maka nama masjidnya bisa dituliskan pada papan nama. Begitu pula dengan papan nama yang menunjukan ruang atau kantor kesenian,” jelas dia.

Baca Juga  Rumah Kelahiran Bung Karno jadi Museum

Termasuk dengan adanya perpustakaan, imbuh Kuncarsono, maka nama perpustakaan bisa dipasang pada bagian bangunan. Jika ruang bawah tanah yang baru itu mau dikatakan sebagai alun alun, maka di bagian ruang bawah tanah bisa diberi papan nama Alun-Alun Bawah Tanah.

“Semua itu fasilitas publik. Fungsinya berbeda-beda, nama yang beda-beda dan berada di dalam Kompleks Balai Pemuda. Maka nama Balai Pemuda membawahi ragam fasilitas di kompleks yang telah direnovasi tersebut,” jelas Kuncarsono.

Dalam diskusi yang menindaklanjuti webinar yang digelar Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur, Begandring meminta segera dicari alternatif nama pengganti nama Alun-Alun Surabaya. Karena sesuai beberapa rujukan sejarah, Alun-Alun Surabaya lokasinya di Kompleks Tugu Pahlawan.

Ketua MSI Jawa Timur Prof. Dr. Purnawan Basundoro yang juga sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, menyampaikan bahwa dirinya akan menyerahkan hasil diskusi publik yang kesimpulan ntuk mengusulkan mengganti pemakaian nama Alun-Alun Surabaya itu kepada Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi.

“Kesimpulan diskusi tersebut akan segera saya serahkan ke wali kota,” tegas dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya ini.

Sementara, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya A. Hermas Thony, menghargai upaya MSI yang telah merespons isu kontroversi pemakaian nama Alun-Alun Surabaya melalui diskusi publik.

“Apa pun hasil dan kesimpulan dari diskusi adalah pandangan publik yang memiliki kepedulian terhadap sejarah kotanya. Apalagi yang menyelenggarakan Masyarakat Sejarawan Indonesia,” tandas Thony.

Kata dia, dibutuhkan peran nyata masyarakat dalam untuk pelestarian nilai nilai sejarah dan budaya Surabaya, baik yang diamanatkan melalui Undang Undang RI Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan maupun Undang Undang RI nomor 11/2010 Tentang Cagar Budaya.

Baca Juga  Jalan Karet Dalam Lintas Masa

“Di kedua undang undang tersebut disebutkan bahwa masyarakat bisa berperan dalam pelestarian, perlindungan, pengawasan, pengelolaan dan pemanfaatan baik cagar budaya maupun objek kebudayaan,” jabar Thony. (*)

 

Ditulis Oleh : Nanang Purwono, jurnalis senior dan ketua Begandring Soerabaia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *