Dulu, Bedanten Sebanding Surabaya dan Paramaribo

Banyak yang luput dari perhatian publik terkait Desa Bedanten. Desa kecil di tepian Bengawan Solo di Kecamatan Bungah itu, adalah desa penting di masa lalu. Sayang, kejayaan saat itu tak bisa berlanjut hingga sekarang.

Sebuah babad lokal, Babad Maduran, menceritakan adanya rombongan pengiring pengantin dari keluarga Kerajaan Solo yang hendak meminang putri Kerajaan Madura Barat, mampir dan bermalam di Bedanten sebelum mengarungi laut (Selat Madura) menuju tujuan.

Jumlah rombongan sangat besar. Disebutkan ada belasan kapal. Mereka berangkat dari Surakarta (Luwayu) dengan mengarungi Bengawan Solo hingga Bedanten di hilir Bengawan. Setiap kapal memuat sekitar 300 orang. Setidaknya 3.000 orang dalam satu rombongan pengantin ini.

Di Bedanten, rombongan  pengantin Kerajaan Solo menginap. Selain menginap di atas kapal, diduga mereka turun ke darat dan menginap di Desa Bedanten.

Di eranya, Bedanten adalah bandar pelabuhan Majapahit besar. Bandar Bedanten menjadi tempat pertemuan kapal-kapal dari lepas laut dan kapal-kapal dari pedalaman. Di tempat ini bongkar muat komoditas perdagangan dilakukan. Komoditas dari pedalaman dibawa keluar wilayah melalui Bedanten. Pun demikian komoditas dari luar juga dibawa ke tempat ini.

Bandar Bedanten ini tak ubahnya Bandar Surabaya, Bandar Semarang dan Bandar Batavia, termasuk Bandar Paramaribo di Suriname.

Rumah kayu di Paramaribo, Suriname. foto: ist

 

Bandar-bandar sungai di empat titik tersebut berkembang pesat di era kolonial. Khususnya di Jawa. Perkembangan bandar di era kolonial adalah kelanjutan (sustainability) dari aktivitas dan dinamika masa sebelumnya.

Jika Bandar Surabaya, Semarang, Jakarta dan Paramaribo terus berlanjut hingga sekarang, tidak demikian dengan Bandar Bedanten. Dinamika besar di Bedanten tinggal nama dan cerita.

Baca Juga  Prasasti Pucangan, Sumber Penting Kesejarahan Airlangga

Yang memprihatinkan, banyak peninggalan di Bedanten seolah terkubur oleh zaman. Fasilitas besar yang pernah ada di Bedanten hilang. Salah satunya, perusahaan kayu besar di Bedanten yang menjadi salah satu yang terbesar di Jawa.

Menurut Kamus Geografi dan Statistika Het aardijkskundig en statistika, disusun oleh Johannes Hagema (1865), kelima perusahaan kayu terbesar di Jawa itu adalah Batavia (Jakarta), Semarang, Jepara, Surabaya dan Bedanten. Kini, bekas dari perusahaan kayu itu bernama Balok’an. Lokasinya persis di tepi Bengawan.

Sedikit agak ke timur, masih di tepian Bengawan, terdapat nama kampung Bandaran. Di kawasan ini Bandar Bedanten pernah ada. Kampung ini memiliki tata ruang teratur. Peta tahun 1800an, sudah menunjukkan adanya kampung ini. Lorong-lorong (gang) kampung langsung menuju ke Bengawan. Di kampung ini terdapat rumah-rumah yang kontruksinya terbuat dari kayu, mirip seperti di Kota Paramaribo.

Rumah Kayu di Bedanden

Bedanten dan Paramaribo sekarang bagai bumi dan langit. Perbedaannya terlalu jauh. Bedanden menjadi sebuah desa kecil, sementara Paramaribo jadi Ibu Kota Suriname di Amerika Latin.

Pertengahan abad 19, Bedanten dan Paramaribo menunjukkan kemiripan. Keduanya merupakan kawasan permukiman di tepian sungai yang ditata dan dikelola kolonial (Belanda). Keduanya berada di hilir Bengawan Lebar (Bengawan Solo dan Sungai Suriname) yang panjangnya sama, sekitar 480 km.

Peta Kota Paramaribo tahun 1800. foto:alamy

Jika Bengawan Solo bermuara di laut Jawa, Sungai Suriname bermuara di Samudra Atlantik. Keduanya bandar sungai yang sama sama memiliki infrastruktur pelabuhan. Keduanya memiliki perusahaan kayu. Jalan-jalan di permukiman ditata lurus.

Rumah dan bangunan umum dikontruksi dari kayu karena ketersediaan bahan. Penyeberangan sungainya dijaga petugas dan memiliki kantor kepabeanan yang tidak jauh dari sungai. Sungainya terdapat dam dan sluis untuk akses hilir mudik perahu dan kapal.

Baca Juga  Railfans Begandring Serahkan Koleksi Langka berusia 100 tahun ke Stasiun Surabaya Pasar Turi

Informasi ini dapat dilihat pada peta Belanda tahun 1865. Pada pertengahan abad 19, Bedanten menjadi pusat administrasi proyek besar pembelokan alur Bengawan Solo, yang awalnya mengalir ke timur dan bermuara di Selat Madura diubah mengalir ke utara ke arah Ujung Pangkah dan bermuara di laut Jawa. Pembelokan alur bengawan ini untuk menghindari sedimentasi di Selat Madura.

Sedimentasi dari Bengawan Solo ini terlihat sudah menyatukan Pulau Jawa dan Pulau Mengare (Pulau Manarie) yang sebelumnya merupakan pulau tersendiri di antara Pulau Jawa dan Pulau Madura. Tidak jauh dari Mengare terdapat Benteng Lodewijk yang awalnya dibangun oleh Daendels pada 1811. Lalu dilanjutkan oleh Van den Bosch untuk penguatan pertahanan Pulau Jawa pasca perang Jawa (perang Diponegoro).

Beberapa batu bata dari struktur bangunan benteng yang diketemukan di situs benteng menunjukkan angka tahun yang bervariasi. Ada yang bertuliskan angka 1833, 1835, dan 1836. Angka tahun ini menunjukkan kelanjutan pembangunan benteng sebagai upaya penguatan pertahanan  Pulau Jawa setelah perang Jawa. Pembangunan di pedalaman Pulau Jawa, salah satunya di Ngawi yang terkenal dengan Benteng Pendem atau Benteng Van Den Bosch (1839-1845).

Peta Desa Bedanten tahun 1850. foto: dok/abhiseka

Kantor kecamatan Bungah sekarang menpati sebuah bangunan loji dari era 1800an dengan langgam pilar-pilar yang umum disebut gaya Daendels. Bangunan kokoh ini menghadap ke arah Bengawan, di mana di tepian pada sisi barat dan timur pernah terdapat pos penjagaan perahu penyeberangan (overvaart). Sekarang sudah menjadi jembatan untuk koneksi perhubungan.

Peninggalan kebesaran Bedanten tak banyak diketahui orang. Melalui Ekspedisi Bengawan Solo 2022, diharapkan akan mampu menggali potensi lokal berbasis sejarah dan budaya untuk pengembangan kreativitas desa. (*)

Baca Juga  Indonesia Reinkarnasi Kerajaan Majapahit, Benarkah?

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *