Ekspedisi Bengawan Solo, Menyatukan Daerah Bertumpu Kearifan Lokal

Bengawan Solo tercatat sebagai sungai terpanjang di Pulau Jawa. Panjangnya hampir 500 kilometer. Berhulu di Wonogiri, Jawa Tengah dan berhilir di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Sungai ini melewati 12 kabupaten dan kota di dua provinsi.

Bengawan Solo merupakan peradaban tertua yang sudah menjadi jujugan manusia sejak ratusan ribu tahun lalu. Bukti-bukti arkeologis sudah menunjukkan bahwa di beberapa titik bantaran sungainya pernah menjadi lingkungan purba, seperti di Situs Sangiran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengan dan di Situs Trinil, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Tak hanya itu, Bengawan Solo juga terkenal di dunia berkat karya penyanyi dan pencipta lagu, Gesang Martohartono. Lagunya berjudul Bengawan Solo berhasil mengorbitkan nama sungai tersebut ke level Internasional. Lagu Bengawan Solo itu sangat terkenal di Asia, terutama di Jepang.

Sering perkembangan zaman, Bengawan Solo kian menjadi urat nadi kehidupan, perekonomian, peradaban, perhubungan dan komunikasi dari masa ke masa.

Di era Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk (1350-1389), tercatat nama-nama desa di sepanjang Bengawan yang melayani jasa penyeberangan sungai, Naditira Pradeca pada 1358 M.

Catatan Raja Hayam Wuruk ini terdokumentasikan dalam bentuk prasasti yang ditemukan di Canggu, yang selanjutnya disebut Prasasti Canggu atau Prasasti Trowulan.

Dalam Prasasti Canggu atau Trowulan (1358) tercatat nama-nama Naditira Pradeca di sepanjang aliran Bengawan Solo sebagai berikut: Desaten, Wringinwok, Brajapura, Sambo, Jerebeng, Pabulangan, Balawi, Luwayu, Katapang, Paragan, Kamudi, Prijik, Parung, Pasirwuran, Kedal, Bankkal, Widang, Pekebonan, Lowara, Duri, Rasyi Rewan, Tegalan dan Dalagara,

Karena zaman terus berkembang dan perubahan pun terjadi, maka nama- nama sebagaimana terinskripsi pada prasasti mengalami degradasi. Sebagian ada yang hilang, sebagian ada yang berulah pengucapan dan sebagian ada yang tetap.

Baca Juga  Pemasangan Reklame Viaduct Gubeng Harus Dikaji Ulang

Namun fungsi, yang kala itu menjadi latar belakang Raja Hayam Wuruk mengabadikan pada sebuah prasasti, sudah sirna. Tidak ada lagi fungsi utama sebagai daerah penyeberangan sungai sebagaimana dihargai Raja.

Reaktivasi Naditira Pradesa

Naditira Pradesa adalah potensi suatu daerah di masa lalu (era Kerajaan Majapahit), yang saat ini sudah mulai memudar dan bahkan sirna. Bukan tidak mungkin potensi ini direaktivasi untuk pemenuhan kebutuhan saat ini dan mendatang. Tentu kebutuhan yang disesuaikan dengan zamannya, sehingga mampu mengakomodir kebutuhan sesuai dengan zamannya dan tidak menenggelamkan nilai-nilai budaya dan peradaban masa lalu.

Naditira Pradesa adalah potensi masa lalu yang sangat mungkin direaktivasi untuk pemenuhan kebutuhan masa kini dan masa mendatang.

Dalam dunia pariwisata, sungai (alam), sejarah, tradisi dan budaya setempat adalah modal untuk pengembangan potensi wisata lokal yang menjadi penopang pariwisata regional dan bahkan nasional.

Pasca pandemi Covid-19, menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, tahun 2022 dunia pariwisata dan ekonomi kreatif mulai menggeliat. Karenanya ini saatnya mulai bergerak bersama melalui sinergi dan kolaborasi pentahelix yang melibatkan lintas stakeholders seperti pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas dan media.

Kreativitas dan inovasi menjadi modal dalam menggerakkan dan menciptakan wahana baru untuk akselerasi pemulihan dunia Pariwisata.

Berangkat dari eks desa-desa penyeberangan di tepian Bengawan Solo, sebagaimana tersebut dalam Prasasti Trowulan (1358), upaya membuka peluang ekonomi melalui dunia Pariwisata bisa dilakukan. Peluang Pariwisata yang dibangun dan di kreasi di desa desa yang tersebut dalam Prasasti Trowulan akan sangat besar.

Melalui agenda ini setidaknya ada upaya upaya luhur dalam nguri-uri kebesaran peradaban maritim Majapahit, menciptakan peluang pariwisata yang berbasis pada sejarah dan budaya setempat dan membuka wahana edukasi serta peluang ekonomi kerakyatan setempat.

Baca Juga  Menyudahi Perseteruan Antarsuporter

Dalam rangka reaktivasi tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah, budaya dan pariwisata ini, Komunitas Putra Nusantara, Standar Up Paddle Indonesia bersama Begandring Soerabaia akan menjajaki potensi wisata itu melalui sebuah ekspedisi Sungai Terpanjang di Jawa (Bengawan Solo).

Ermiko, penggagas ekspedisi, mengatakan, tujuan ekspedisi ini salah satunya adalah menyatukan daerah-daerah yang dilewati oleh aliran Bengawan Solo.

“Menyatukan dalam satu ikatan potensi daerah yang bertumpu pada kearifan lokal yang bersumber dari peradaban maritim Majapahit,” jelasnya.

Sementara, Tri Priyo Wijoyo, ahli sejarah klasik dari Begandring Soerabaia, menuturkan, di sepanjang aliran Bengawan Solo masih teridentifikasi pernah adanya desa-desa sebagaimana tersebut dalam Prasasti Trowulan.

“Terakhir saya menelusiri  di wilayah kabupaten Lamongan saja masih menemukan nama Desa Madanten, Wringinwok, Bajrapura, dan ada beberapa Naditira Pradesa lainnya,” ujar ptia yang karib disapa TP Wijoyo ini.

Karenanya, ekspedisi sungai terpanjang Bengawan Solo ini berpeluang membuka potensi kerja sama antardaerah untuk menghidupkan dan memanfaatkan kekayaan Bengawan Solo dari sisi sejarah dan budaya.

Begandring Soerabaia yang selama ini memberi perhatian khusus pada nilai-nilai dan potensi sejarah untuk dikembangkan menjadi wahana yang bermanfaat bagi tujuan tujuan pendidikan, limu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata sangat mendukung ekspedisi yang digagas oleh Putra Nusantara bersama Stand Up Paddle Indonesia.

Ekspedisi Bengawan Solo

Ekspedisi Bengawan Solo ini adalah ekspedisi sungai terpanjang di pulau Jawa. Dimulai dari hulu sungai di Wonogiri (Jawa Tengah) hingga berakhir di hilir sungai di Gresik (Jawa Timur).

Ekspedisi dilakukan dengan mengarungi sungai dengan menggunakan paddle dan perahu dengan menempuh jarak sekitar 500 km yang akan dimulai pada Juli dan berakhir pada 17 Agustus 2022 pada saat peringatan Hari Proklamasi.

Baca Juga  Bangunan Kuno di Surabaya Bakal Dikategorikan Secara Tematik

Menurut Ermico, penggagas dari Stand Up Paddle Indonesia, aktivitas ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa peradaban berawal dan berkembang dari bantaran sungai, mulai era purba, dan perahu menjadi sarana komunikasi dan perhubungan yang mentransportasikan orang dan barang dari satu tempat ke tempat lainnya.

Olahraga air seperti perahu dan dayung adalah jenis olahraga yang ramah lingkungan dan menyehatkan serta sekaligus mengajak publik dekat dengan ciptaan Sang Maha Pencipta.

Ia juga berharap jalur sungai menjadi sarana menguntai potensi daerah daerah yang ada di sepanjang Bengawan. Tercatat ada 2 propinsi, 12 kabupaten yang dialiri Bengawan Solo. Jika di setiap kabupaten berdasarkan titik historis arkeologis yang disebut Maditira Pradeca dapat dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata (wisata desa sebagaimana harapan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno), maka Pariwisata berbasis lokal dengan banyak pelaku lokal bisa terciptakan.

Sehingga pada akhirnya, tambah Ermico, pada pasca event akan ada river side society, yang akan menghidupkan secara berkelanjutan kolaborasi pentahelix antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas dan media.

Selain itu juga dapat terbentuk Forum Kepala Daerah yang anggotanya terdiri dari hulu hingga ke daerah hilir Bengawan Solo. Yang isi strategisnya adalah kesepakatan tanggung jawab dalam mengolah dan memanfaatkan Bengawan Solo yang ramah lingkungan dan kearifan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.  (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *