Penulis: Om TP Wijoyo
Bagaimanakah gambaran lanskap dan praktik kehidupan masyarakat Surabaya di abad ke-17 dapat ditelusuri dari catatan-catatan perjalanan orang Eropa, khususnya Belanda. Di antaranya Francois Valentijn, Artus Gijsels, dan Steven van der Haghen. Tulisan berseri ini merupakan rangkuman dari beberapa catatan-catatan tersebut.
Francois Valentijn merupakan seorang pendeta yang ikut dalam ekspedisi perjalanan yang sangat berbahaya dan lama di pedalaman Jawa bersama pasukan VOC, di bawah pimpinan Govert Knol saat menghadapi pemberontakan Untung Surapati pada tahun 1706 – 1708.
Peta tahun 1605 yang menunjukan surabaya tertulis Surubaia. Sumber: France National Museum
Berikut gambaran lengkap tentang Surabaya, menurut catatan Francois Valentijn:
“Surabaya merupakan kerajaan terpenting dan kota terbesar dengan 10.000 keluarga, dimana Pangeran Surabaya beserta kawulanya juga menaklukkan Raja Sukadana dan Ratu Landak (Borneo). Jalan-jalan di kota itu lebar dan terdapat “Paseban” (alun-alun) tempat latihan berperang secara rutin diadakan, dan dibangun sangat rapi.
Antara “Dalem” (tempat tinggal raja beserta keluarga) dan tempat tinggal utusan VOC, terdapat sebuah pasar besar, di mana orang bisa memperoleh semua barang dengan harga murah. Perdagangan beras sangat penting dan dikelola oleh orang Cina, yang pimpinannya bernama “Tan Ke Ko”, sering disebut “Kenio”, dan menghuni sebuah rumah batu yang indah.
Seorang Kapten (pimpinan pasukan), mempunyai sebuah rumah yang indah di luar benteng. Pasukan di sana terdiri atas 100 orang serdadu, termasuk 20 orang yang disiapkan untuk Gresik.
Selain itu mereka masih memiliki beberapa “pancalang” atau perahu tradisional.
Para Pangeran Surabaya harus mempertahankan kekuasaan Susuhunan Mataram di Surabaya, menjadi “grands seigneurs” Jawa. Kadang-kadang mereka bersikap bebas, seperti misalnya tidak lagi memperhatikan kewajibannya untuk mengadakan kunjungan tahunan ke Kraton Kartasura.
Sebuah catatan tahun 1714 memuat permohonan Pangeran Surabaya untuk bisa dibebaskan dari perjalanan tahunan ke Kartasura. Namun hal itu ditolak karena berada di luar wewenang VOC, dan bisa melanggar hati Susuhunan Mataram.
Kota dan Istana Surabaya
Berdasarkan catatan sumber Artus Gijsels, dalam laporannya yang berjudul “Verhaal” (hal. 534-535), terdapat uraian gambaran tentang Surabaya yang cukup panjang lebar, sebagai berikut :
Digambarkan bahwa lingkaran kota Surabaya saat itu adalah 5 mil (kurang lebih 8 kilometer). Sebagai pertahanan, separuh kota dikelilingi tembok dan separuhnya dikelilingi “Baluwarti” (onggokan tanah). Seluruh kota dikelilingi “parit yang indah”. Di antara dinding tembok dan parit terdapat tanggul yang sangat kuat.
Setiap setengah jarak tembakan meriam terdapat “eenen recht vierkanten poinct”, kurang lebih seperti yang kemudian terdapat di Jepara, yaitu “benteng-benteng kecil berbentuk bujur sangkar, seperti hal nya di negeri Cina. Tiap benteng mempunyai antara 10 hingga 12 buah meriam, sehingga menjadi lokasi yang mudah dipertahankan.
Di beberapa titik, tinggi tembok melebihi dua kali panjang tombak, dan di bawah selebar dua langkah, dibuat bersayap-sayap, saling bersambungan sehingga menyerupai tangga. Panjang tembok kurang lebih 30 kilometer, diduga kota tersebut terletak di kedua sisi Kali Mas . Selain itu juga disebut juga pintu-pintu air.
Selanjutnya pada tiap jarak sejauh seperempat jam perjalanan, ada sebuah pintu gerbang berbentuk sama dengan pintu-pintu di Eropa (“een landpoort, invoegen als onse poorten), dengan penjagaan yang sangat kuat yang terdiri dari 15 sampai 20 orang penjaga.
Selain penjaga juga terdapat petugas-petugas bea cukai yang memungut 10% dari semua barang yang lewat.
Terkait istana raja, Artus Gijsels membuat perhatian khusus dan mencatatnya sebagai berikut :
“Istana raja terletak di daerah kota, kira-kira dekat sungai”. Petunjuk ini kurang jelas, dan mungkin yang dimaksud adalah bagian barat kota. Istana atau keraton yang terletak di pinggir sungai, dikelilingi sebuah tembok besar, yang didalamnya terdapat rumah-rumah. Keadaan ini sama dengan apa ditemukan di kota-kota keraton lainnya.
Depan pintu gerbang, juga di dalam taman dalam terdapat pohon-pohon “linde” (waringin / ringin) besar yang indah. Hal ini mirip gambaran kini alun-alun dan taman dalam keraton Solo dan Jogjakarta.
Foto Keraton Surabaya, sekitar 1876-1884. Foto: Herman Salzwedel
Di bawah pohon waringin terdapat bangku-bangku, tempat duduk bagi raja. Sedangkan kaum bangsawan duduk di tanah, atau pada kaki pohon waringin (akar pohon), yang dipandang sebagai suatu anugerah.
Kadang-kadang raja naik kereta, semacam kereta biasa, tetapi ukuran kereta enam kali lebih besar, dan bagian belakangnya agak tinggi. Hal ini mengingatkan kita pada kereta-kereta kuda di Cirebon. Keempat kerbau besar yang harus menarik kereta selalu berada di lapangan depan, disitu juga kerbau-kerbau tersebut makan, sehingga alun-alun sama gundulnya seperti alun-alun zaman sekarang.” (bersambung bagian 2: Kerajaan Surabaya dan Amangkurat III)