Kilas Balik Perjalanan di Makassar: Fort Rotterdam dan Makam Pangeran Diponegoro

Oleh: Dian Nur’aini*

Perjalanan selama libur lebaran 2024 membawa saya ke Sulawesi Selatan, Kota Para Daeng. Saya pun sengaja menginap di salah satu Hotel di Makassar yang berhadapan dengan sebuah benteng legendaris dan terbesar di Kota Makassar: Fort Rotterdam.

Bila kita menelisik sejarahnya, Fort Rotterdam memiliki riwayat amat panjang. Bila orang awam mendengar namanya, mungkin berpikir bahwa benteng ini dibangun sepenuhnya oleh Belanda. Padahal, awal mula pendirian benteng ini diinisasi oleh Kerajaan Goa pada tahun 1545. Diprakarsai oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna, dan dilanjutkan pembangunannya oleh putranya yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung atau Karaeng Tunipalangga Ulaweng.

Membawa pin Begandring ke mana pun saya pergi. Foto: Dian N

Awal benteng ini berdiri, masih berupa benteng dengan struktur tanah liat, dan bernama Benteng Jum Pandan (cikal bakal nama Ujung Pandang).

Maksud pembangunan benteng ini adalah benteng pertahanan laut. Sebelum terjadi reklamasi seperti saat ini, pintu masuk benteng Fort Rotterdam yang saat ini pengunjung temui adalah bagian belakang dari benteng Fort Rotterdam yang berbatasan langsung dengan laut. Mengingatkan saya pada Benteng Kedung Cowek di Surabaya.

Benteng ini kemudian diserahkan kepada Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1667 dengan perjanjian Bungaya, karena saat itu Kerajaan Gowa kalah berperang melawan VOC. Setelah dalam penguasaan VOC, Benteng Fort Rotterdam mengalami perombakan besar-besaran. Tata letak bangunan-bangunan benteng, bila dilihat dari atas dibangun menyerupai penyu. Karena itulah benteng ini dikenal sebagai “benteng penyu”.

Gambar perbandingan peta Benteng Fort Rotterdam di akhir 1800 an dengan kondisi saat ini, secara pola struktur bangunan utama sebagian besar tidak berubah namun beberapa bangunan dan fungsi penunjang sebagian sudah hilang. Foto: KITLV

Perombakan besar-besaran saat itu diprakarsai oleh Laksamana Cornelis Speelman, setelah itu nama Fort Rotterdam disematkan pada benteng ini sebagai pengingat tempat kelahiran Laksamana Cornelis J.Speelman yaitu Kota Rotterdam di Belanda.

Bangunan benteng lama dihancurkan, dan hanya disisakan beberapa pondasi bagian saja, yang saat ini bisa kita lihat di bagian atas bila kita naik melalui belakang loket tiket. Struktur bangunan peninggalan Kerajaan Gowa masih bisa kita lihat melalui tumpukan-tumpukan batu dan pondasi lama.

Baca Juga  Gedung Singa Berlage: Sintesis Eropa dan Nusantara

Foto contoh struktur dan bahan batu bata asli Gowa saat itu yang masih bisa ditemukan di lingkungan Fort Rotterdam. Foto: Dian N

Pihak VOC saat itu membangun gedung-gedung di dalam benteng Fort Rotterdam yang memiliki fungsi khusus. Terdapat lima bastion, yang saat ini dikenal sebagai Bastion Buton di sudut Timur Laut dan Mandarsyah di sudut Tenggara, Bastion Bacan di sudut Barat Laut dan Bastion Amboina di sudut Barat Daya, serta Bastion Bone di bagian barat, atau di sisi pintu gerbang. Bastion ini merupakan bangunan yang diperuntukkan menjamu serta tempat pertemuan suku-suku tersebut dengan pihak VOC.

Selain Bastion, terdapat pula Gereja, Rumah Missionaris, mess prajurit serta pavilliun bagi pejabat-pejabat VOC, lalu terdapat Balai Kota atau gedung administratif serta rumah bagi Residen. Selain itu yang tidak kalah penting adalah bangunan gudang rempah yang digunakan sebagai penampung komoditas rempah dari Indonesia timur. Gudang rempah saat ini menjadi museum yang mengenalkan budaya Sulawesi Selatan, Museum La Galigo. Benteng Fort Rotterdam saat itu menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, serta ekonomi di wilayah Indonesia timur.

Foto Situasi Benteng Fort Rotterdam di awal 1900-1940 an dengan beberapa fasiitas di dalamnya dengan Kanal yang mengelilingi dan menjadi pembatas Benteng. Foto: KITLV

Tak kalah penting di dalam kompleks Fort Rotterdam, adalah sisa kanal-kanal yang mengelilingi benteng. Kanal ini bertujuan sebagai pertahanan benteng supaya tidak mudah diserang musuh. Kanal ini awal mulanya lebar, namun seiring waktu mengalami pendangkalan dan hanya bisa kita lihat saat ini berupa selokan kecil.

Foto area yang dulu merupakan kanal Fort Rotterdam yang sekarang menjadi area taman. Foto: Dian N

Baca Juga  Kisah "Mobil Mallaby" di Museum Brawijaya

Ada sebuah bangunan yang menyimpan sejarah perjuangan Bangsa di Fort Rotterdam, yaitu “penjara” Pangeran Diponegoro. Seorang ningrat Jawa yang saat itu diasingkan. Bukan seperti penjara pada umumnya, penjara Pangeran Diponegoro lebih manusiawi dibandingkan penjara bagi rakyat jelata yang berada di bawah tanah bangunan benteng.

Penjara Pangeran Diponegoro berupa ruangan yang memiliki tiga tingkat.

Pembeda ini mungkin karena saat itu Pangeran Diponegoro adalah keturunan dari Sultan Hamengkubuwono. Dan pada saat diasingkan, Pangeran Diponegoro membawa serta istrinya dan pengawal pribadinya yang setia, Bantheng Wareng. Pangeran Diponegoro bersama keluarganya diasingkan di benteng ini dari  tahun 1833 sampai ia wafat pada 1855. Benteng Fort Rotterdam saat ini pengelolaannya sudah di bawah Kementerian Kebudayaan. Sehingga memiliki status Bangunan Cagar Budaya Nasional.

Menelusuri jejak Pangeran Diponegoro di Fort Rotterdam. Foto: Dian N

Pada masa pendudukan Jepang, Benteng Fort Rotterdam diambil alih oleh Jepang sebagai markas militer sekaligus pusat penelitian pertanian dan linguistik. Dan saat itu terdapat penambahan gedung dua lantai yang saat ini berada di sebelah Bastion Mandarsyah.

Setelah Kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1950-1970, Fort Rotterdam menjadi hunian bekas tentara KNIL dan keturunannya. Saat itu mantan tentara KNIL mayoritas berasal dari Maluku. Hingga pada Tahun 1970, Benteng Fort Rotterdam sepenuhnya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk perawatan dan pelestariannya. Sejak tahun 1974 Benteng Ujung Pandang dijadikan sebagai pusat budaya Sulawesi Selatan, sarana wisata budaya dan pendidikan.

Suasana ruang luar Benteng Rotterdam di sore hari

 

Tak terasa, temaram senja terbenam di Fort Rotterdam. Langkah kaki pun mengayun pulang.. (bersambung)

 

*Dian Nur’aini. Pendidik di SDN Sulung 1 Surabaya, pegiat sejarah di Komunitas Begandring Soerabaia

Baca Juga  Banjir Jadi Momok, Perusahaan Trem Uap Pertama di Indonesia Pusing Atasinya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *