Malaikat Pertolongan Pertama dan Keuangan Pertama. 

Begandring.com: Rotterdam – (27/7/23) – Saya tidak bisa membayangkan, berada di negeri orang, tidak punya sanak famili, lalu jatuh sakit. Bukan sakit yang kemudian bisa dipijit pijit, tapi harus diusung ke rumah sakit dan harus rawat inap

Seorang Malaikat itu datang tepat pada waktunya. Malaikat itu memang sudah ada janjian pada pagi itu dengan saya. Tapi tidak untuk urusan sakit. Sekitar pukul 10.00 pagi waktu setempat, Rotterdam. Pagi itu kami akan ada pertemuan tentang Gedung Singa yang berada di Jalan Jembatan Merah, Surabaya.

Kedatangan saya di kota Rotterdam baru saja seumur jagung. Baru sehari. Tiba pada 24 Juli 2023, pukul sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Di bandara Chipphol saya dijemput oleh kawan yang bernama Emile Leushuiz. Dia kawan Belanda yang sudah bolak balik Indonesia – Belanda. Ia fasih bicara bahasa Indonesia. Juga sebagian bahasa Jawa.

Selama di Indonesia, Emile tinggal di Prawirotaman, Jogjakarta. Sekali tinggal di Indonesia, ia menghabiskan waktu 3 bulan untuk urusan bisnis di bidang dunia wisata. Lalu kembali ke Belanda selama 3 bulan. Begitu seterusnya bolak balik. Itulah sekilas tentang Emile.

Emile Leushuiz, sahabat sejak 2009 yang sama sama mengeluti sejarah, budaya dan pariwisata. Foto: nng/Begandring.

Pada Selasa pagi, 25 Juli 2023, sebelum saya bertemu Emile, seperti biasa saya bangun pagi dan hendak melanjutkan menulis artikel atas jalan jalan saya di sekitar hotel tentang sebuah monumen perang di Hindia Belanda. Di monumen itu, dipasang tetengar Perang Bali, Aceh, Oost Java, Java Zee dan Java en Madoera. Letaknya di sekitar Administratie Kade dan Administratie Brug (jembatan petekan seperti di Surabaya) dekat dengan hotel dimana saya tinggal, The Social Hub.

Baca Juga  Klinik Dokter Rakjat Siap Dukung Pengembangan Peneleh. 

Ketika saya mau melanjutkan menulis, tinggal sedikit sekali, saya mendapati ada yang aneh pada diri saya. Setelah terbangun saya merasa ada yang aneh karena saya tidak bisa bicara dengan siapa pun.

Ketika ada telepon masuk, dari kawan yang bernama Alain Marlisa, orang Belanda, saya pun bicara lewat telepon dengannya. Saya baru sadar bahwa ucapan ku (bahasa ku) tidak keluar. Keluar suara, tapi bukan bahasa Inggris, Indonesia atau pun Jawa. Saya merasa bahasa ku campuran Inggris, Indonesia dan Jawa. Lebih sering terdengar bersuara tapi tak berbahasa. Lalu Alain pun berpamitan, mungkin karena tidak mengerti.

Setelah saya tutup HP, saya baru menyadari bahwa bahasa ku tidak berbahasa. Saya mencoba mendengarkan suaraku sendiri. Memang tidak berbahasa. Bersuara tapi tidak berarti. Saya pun frustrasi. Saya tau apa yang akan saya utarakan. Tapi bunyi suara tidak berarti.

Saya bermaksud mengucapkan dalam bahasa Indonesia, yang keluar bahasa Inggris. Saya mau mengeluarkan bahasa Inggris, yang keluar bahasa Indonesia. Pun demikian saya mau ngomong bahasa Inggris, yang keluar bahasa Jawa. Selama sekitar 3 jam di dalam kamar, sebelum bertemu Emile, saya frustrasi karena saya gak bisa ngomong, tapi bersuara yang tidak berarti.

Setelah semua tas saya paking, karena saya harus check out sekalian. Saya pun turun sambil membawa koper. Kamar saya ada di lantai 3. Ketika saya turun ke lobi hotel, saya pun sempat salah turun. Tapi akhirnya ketemu di lobby hotel.

Di bawah, saya menunggu Emile di lobby hotel. Tak lama saya melihat Emile datang dan menuju lobby. Begitu dia persis berdiri di depanku, saya pun menyampaikan apa yang saya kan. Tapi saya tidak bisa mengutarakan. Saya memaksa untuk mengatakan apa yang saya rasakan dan saya maksudkan ke Emile, tapi Emile gak ngerti. Bahasa ku tidak berbahasa. Menulis pun juga tidak bisa. Saya menulis tujuannya untuk menggantikan saya ngomong. Tapi gak bisa. Tulisannya tidak berbahasa.

Baca Juga  Kartolo dan Kenangan Melawak di Rumah Sakit Jiwa

Tapi saya sangat mengerti apa yang Emile katakan. Dia sampai ngomong dengan patah patah dengan tujuan saya mengerti. Saya ngerti setiap kata dan kalimat yang Emile ucapkan. Saya pun secara fisik sangat normal. Berjalan normal. Mendengar normal. Memegang normal dan semuanya normal. Kecuali bicara dan menulis. Padahal bicara dan menulis adalah modal utama ku.

Tidak panjang lebar, Emile langsung telepon ambulan. Cepat sekali. Sekitar 10 menit ambulan datang dan kemudian membawaku ke rumah sakit terdekat. Di sana sempat ditreatmen. Sempat di CT Scan. Setelah hasilnya keluar, saya dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar dan memang RS terbesar di kota Rotterdam. Emile masih dan tetap menemaniku hingga akhirnya diputuskan saya harus opname.

Setelah terbaring, kondisi tubuhku baik baik saja, kecuali masalah bicara. Emile pun saya minta menghubungi pihak Universitas yang mengundangku. Yaitu Erasmus University Rotterdam (EUR). Emile juga menghubungi kawan kawanku yang lain. Ada Alain Marlisa, Max Meijer dan Petra Timmer. Akhirnya mereka datang menjenguk ku. Ada Alain, Petra, Max, Frans dan Alain. Mereka baik. Mau datang. Padahal kotanya bukan di Rotterdam.

Teman teman di saat menjenguk di rumah sakit. Foto: nng/Begandring.

Saat itu saya masih belum bisa bicara dan nulis. Malam pun tiba dan saya berupaya terus untuk ngomong. Saya berhitung satu dan seterusnya dalam bahasa Inggris, Indonesia dan Jawa. Tetap tidak bisa. Lalu di tengah malam saya pun terbangun, pukul 03.00 (Indonesia pk 08.00).

Saya berhitung dan membaca ayat ayat suci yang saya bisa. Ajaib saya bisa ngomong dengan jelas. Saya bisa menghitung dengan jelas. Saya pun bicara yang lain. Semuanya bisa. Selanjutnya saya beritakan ke kawan kawan di Belanda.

Baca Juga  Peneleh Heritage Track Manfaatkan Historic Urban Landscape (HUL)
Jean-Paul, dari Heritage Agency, datang menjenguk. Foto: nng/Begandring

Keesokan pagi ketika para perawat, dokter dan tenaga medis lainnya mendatangi ku, saya tunjukkan saya kembali normal. Selanjutnya berbagai pihak di rumah sakit meyakinkan bahwa saya kembali normal.

Pada sore hari, koordinator kegiatan perkuliahan Remco Vermoulen dari Erasmus University Rotterdam menjemputku dan diantar ke hotel The Social Hub. Emile menjadi penolong. Selain membantuku tentang masalah pertolongan pertama, ia juga membantuku masalah keuangan pertama juga. (nng)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *