Masih Ada Patrice Lumumba Di Surabaya

Jika kita memasuki Kota Surabaya dari sisi selatan, maka kita akan menemui Bundaran Waru. Bundaran ini yang memisahkan wilayah administratif Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo.

Di sisi Sidoarjo batasnya adalah Jalan Raya Waru. Sementara di sisi Surabaya batasnya Jalan Achmad Yani.

Pada zaman orde lama, Jalan Achmad Yani namanya Waru juga. Diberi nama demikian karena ruas jalan ini menuju Waru Sidoarjo. Nama Waru atau Waharu terdapat dalam Kitab Negarakertagama.

Setelah melewati Jalan Achmad Yani, maka akan memasuki kawasan Wonokromo, yaitu sebuah daerah perdagangan yang sangat ramai, dan terkenal dengan cerita legenda lontong balapnya.

Menurut ceritanya, saat itu, para pedagang lontong balap setiap pagi beradu jalan cepat sesama pedagang sambil memikul dagangan untuk bergegas mencapai tempat mangkal mereka di Pasar Wonokromo.

Setelah sampai depan Kebun Binatang Surabaya/Zoo atau yang pada zaman penjajahan Belanda dikenal dengan Drenten, maka ruas jalan akan terpecah menjadi dua, yaitu lewat Jalan Raya Darmo dan Jalan Diponegoro.

Kedua jalan tersebut menyatu kembali di Jalan Blauran, dan terus sama sama menuju Tugu Pahlawan, hingga Pelabuhan Perak di ujung Utara Surabaya.

Kawasan Darmo dan jalan jalan sekunder yang ada di sisi kanan kirinya seperti Marmoyo, Darmo Kali, Porong, Progo, Tanggulangin, Bengawan, Comal, Bintoro, Majapahit. Dan juga daerah Ngagel, yang dibatasi oleh Sungai atau Kali Mas.

Sejak zaman penjajahan Belanda, Darmo menjadi kawasan penting. Dulu namanya adalah Darmo Bolevard, merupakan kawasan hunian kaum elite Belanda.

Sedangkan Jalan Pemuda namanya adalah Simpangplein, Kaliasin merupakan nama awal dari Jalan Basuki Rachmat. Saat itu, ada alat transportasi trem listrik yang melewati Jalan Raya Darmo dan Jalan Raya Diponegoro.

Baca Juga  Lacak Jejak Sejarah Mayor Darmosugondo

Trem tersebut stasiunnya ada di Terminal Joyoboyo lama, memiliki depo perbaikan di sekitar Kodam V Brawijaya, yaitu di Jalan Gajah Mada Trem, Gayatri Trem, dan Gunungsari Trem.

Kini, di Jalan Raya Darmo banyak berdiri objek vital, mulai dari SPBU Marmoyo, Kebun Binatang Surabaya, Masjid Al Falah, Museum Mpu Tantular yang belakangan pindah Sidoarjo, Gereja Santa Maria, Museum Polri, Apotek Kimia Farma, Kantor Bank BCA, dan masih banyak lagi.

Sekitar Tahun 1997-2000-an, saat Wali Kota Surabaya dijabat Soenarto Sumoprawiro, muncul berkeinginan mengganti Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Soekarno-Hatta. Alasannya di Surabaya belum ada nama Jalan Soekarno-Hatta.

Namun, gagasan tersebut ditolak oleh masyarakat, karena menganggap tidak ada bangunan atau hal lain yang berkaitan dengan proklamator di tempat tersebut. Akhirnya, niat tersebut batal. Beberapa tahun kemudian akhirnya Surabaya memiliki Jalan Ir Soekarno yang letaknya di Middle East Ring Road (MERR)

 

Masih Ada Patrice Lumumba Di Surabaya
Patrice Lumumba

Sahabat Soekarno

Menurut sejarawan Sarkawi B Husein dalam bukunya, Sepanjang Jalan Kenangan: Makna dan Perebutan Simbol Nama Jalan di Kota Surabaya, pada 13 Maret Tahun 1961, Walikota Surabaya Raden Satrio Sastrodiredjo melalui SK Walikota Praja Surabaya mengganti Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Patrice Lumumba.

Diduga kuat, penamaan jalan ini merupakan bentuk loyalitas para penguasa Surabaya kepada Presiden Soekarno, yang saat itu sedang menggelorakan semangat Asia-Afrika, yang ditandai dengan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, tahun 1955.

Hingga sekarang, persahabatan Indonesia dan Kongo terjalin erat sekali. Berkali-kali kontingen tentara Garuda Indonesia ditugaskan PBB untuk meredakan perang saudara di benua hitam tersebut.

Lalu, siapa Patrice Lumumba? Tentu banyak orang bertanya-tanya, siapa sosok Patrice Lumumba sehingga namanya harus diabadikan menjadi nama jalan.

Baca Juga  Asal Usul Nama Polisi Istimewa

Apa hebatnya sosok Lumumba, sehingga dia telah mengalahkan sahabat-sahabat Bung Karno lain, seperti Sir Pandit Jawaharlal Nehru dari India, Ali Bhutto dari Pakistan, U Nu dari Birma, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, dan masih banyak lagi.

Patrice Lumumba adalah seorang tokoh politik berhaluan Nasionalis Sosialis di Kongo yang dulu bernama Zaire. Dia lahir tahun 1925 di Provinsi Kazai, Kongo.

Patrice Lumumba mendirikan Movement Nasional Congolais (MNC), tahun 1960. Dia berhasil memenangkan pemilu dan berhasil menyusun pemerintahan.

Tetapi setahun kemudian pada 1961 dia terbunuh dalam pelarian dari penjara bersama kawan dan keluarganya saat kerusuhan yang dilakukan oleh separatis dan militer serta didukung Belgia dan Amerika Serikat.

Hal ini tentu saja membuat Presiden Soekarno geram sekaligus sedih atas nasib yang menimpa rekan Afrikanya itu.

Dukungan kepada Patrice Lumumba bukan hanya bergema di Indonesia, tetapi juga di Tiongkok, Uni Sovyet, Yugoslavia, Hongaria, Rumania, Cekoslovakia, dan masih banyak lagi.

Demo besar-besaran meminta agar PBB turun tangan, tetapi PBB yang didominasi dan dikendalikan oleh Amerika Serikat dan sekutu baratnya hanya diam seribu bahasa, sedikitpun tidak bergeming.

Untuk mengenangnya, maka di beberapa kota di Indonesia, antara lain Surabaya, Jakarta, dan Padang Sidempuan (Sumatera Utara), nama Patrice Lumumba diresmikan mengganti beberapa nama jalan. Seperti Raya Darmo di Surabaya, dan Angkasa Kelurahan Gunung Sahari Kecamatan Kemayoran di Jakarta.

Namun di Surabaya penggantian nama ini tidak berumur panjang. Karena desakan masyarakat di Surabaya, pada tahun itu juga, tepatnya di bulan Agustus Jalan Patrice Lumumba diubah kembali menjadi Jalan Raya Darmo. Dan Jalan Patrice Lumumba bergeser ke Jalan Ngagel yang berada diseberang sungai.

Baca Juga  Tugu Pahlawan sebagai Simbol Pengingat Masa Depan Bangsa

Tidak lama, Jalan Patrice Lumumba kembali menjadi Jalan Ngagel. Yang tersisa kini hanya sepotong gang kecil berada di belakang SPBU Ngagel yaitu Kampung Lumumba Dalam dan Lumumba Buntu keduanya masuk kelurahan Ngagel Kecamatan Wonokromo, sebagian lagi yaitu Lumumba Timur masuk kelurahan Ngagel Rejo, Kecamatan Wonokromo.

Tiga kampung tersebut memiliki lebar jalan yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan pengendara sepeda motor saja, serta memiliki jumlah penduduk yang sangat padat.

Jika kita ikuti Jalan Lumumba Dalam yang masuk dari belakang SPBU, maka kita akan mengarah ke perlintasan rel kereta api Jl Penjernihan, tempat pintu air Jagir berada.

Di tempat inilah konon toponim Pacekan, tempat Raden Wijaya mengusir Tentara Tartar yang dimaksud dalam Kitab Negarakertagama dan berbagai prasasti di identifikasikan.

Sementara keberadaan Jalan Patrice Lumumba di Jakarta kembali menjadi Jalan Angkasa. Sedangkan di Padangsidimpuan dibagi menjadi tiga, yaitu Komodor Yos Sudarso, Patrice Lumumba, dan Abdul Azis. (*)

 

*)Nanang Sutrisno, mantan anggota DPRD Kota Surabaya dan pegiat sejarah

Artikel Terkait

One thought on “Masih Ada Patrice Lumumba Di Surabaya

  1. Terima kasih kpd Bpk Nanang Sutrisno atas ulasan sejarah mengenai kemunculan dan menghilangnya nama jalan Patrice Lumumba di Sumut, Jakarta, dan Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *