Melacak Rumah Baru Bung Karno di Plampitan

The more you know, the more you wanna know.

(Semakin Anda tahu, semakin Anda ingin tahu).

Begitu kata bijak bestari. Maknanya benar-benar dirasakan tim Begandring Soerabaia, saat menelisik jejak Soekarno di Kota Pahlawan, Minggu (19/6/2022). Aksi penelusuran ini bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair.

Tim terdiri dari akademisi, arsitek, jurnalis, pegiat sejarah, dan fotografer. Mereka menelusuri jejak Bung Karno setelah menguak keberadaan Jalan Guntur dan Jalan Megawati di kawasan Peneleh.

Penelusuran diawali dari Kampung Plampitan. Targetnya, mencari sesepuh kampung, tokoh masyarakat, dan saksi sejarah untuk mengidentifikasi bangunan-bangunan lawas.

Di Plampitan Gang II, tim bertemu beberapa warga setempat. Salah satunya, ketua RT Plampitan Rudi. “Yang saya tahu dari penuturan sesepuh RT terdahulu, di Kampung Plampitan Gang II, rumah itu pernah didatangi Bung Karno. Bung Karno sering rapat dengan saudaranya Pak Tjokroaminoto,” jelasnya seraya menunjuk rumah lawas.

Rumah lawas itu khas Bumiputera. Struktur terasnya terbuat dari kayu. Pilar penyangga teras dari kayu dengan risplang kayu bermotif. Tampak depan simetris dengan satu pintu di tengah. Berikut dua jendela di sisi kiri kanan. Rumah ini lokasinya “tusuk sate”, menghadap lorong gang yang dari kejauhan terlihat jalan lebar dan Kalimas.

“Mbak Puti, cucu Bung Karno, beberapa kali datang ke rumah itu,” tambah Rudi.

Dia lantas menyebut nama Prof Biyanto. Salah satu keluarga dari pemilik rumah lawas itu. Biyanto adalah tokoh masyarakat Plampitan. Dia juga Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA).

Gayung bersambut, tim berhasil menemui Prof Biyanto di rumahnya. Setelah beberapa kali menepuk pintu pagar rumahnya. “Mohon maaf tadi masih menguji desertasi. Jadi agak lama merespons,” tutur pria yang juga menjabat wakil ketua Pumpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu.

Baca Juga  Menguji Keseriusan Pemerintah Melestarikan Bangunan Cagar Budaya

Pembincangan di rumah Biyanto berlangsung hangat di teras rumah. Beberapa kursi di dalam rumah dikeluakan untuk menjamu tim Begandring. Tuan rumah juga menyuguhkan jeruk, kurma, roti keju, dan air mineral

Biyanto membeberkan cerita keluarganya tentang rumah itu. Kata dia, penghuni rumah itu dulu seorang tokoh PNI. Di setiap upacara di Kantor Gubernur Jawa Timur dia selalu diundang.

“Beliau meninggal tahun 1986.  Ustrinya meninggal tahun 2001. Saya sendiri mulai tinggal di lingkungan rumah ini tahun 2000. Saya tahu tentang rumah ini dari cerita keluarga. Nanti akan saya akan bantu mengumpulkan informasi agar lebih lengkap,” ucap Biyanto.

Biyanto tidak menampik adanya kisah Bung Karno. Dari informasi keluarganya, Bung Karno sering terlibat pembicaraan dengan saudaranya Tjokroaminoto di rumah Plampitan ini.

Jalan Megawati yang belum banyak diketahui publik. foto:begandring

 

Buku Cindy Adam

Cerita Prof Biyanto tersebut ada kesamaan dengan yang dikisahkan Cindy Adam dalam bukunya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966). Berikut kutipannya:

“Keluarga Pak Tjokro dengan anak-anak yang bayar makan pindah ke rumah lain…. Kami belum lama menempati rumah yang baru itu ketika saudara Pak Tjokro datang menemuiku dan berkata ‘..Soekarno, kau lihat bagaimana sedihnya hati Pak Tjokroaminoto. Apakah tidak dapat kau berbuat sesuatu supaya hatinya gembira sedikit?‘..“

Di buku tersebut juga terdapat anjran agar Soekarno menikahi Putri Tjokroaminoto, Oentari, setelah istri Tjokroaminoto meninggal dunia.

Rumah baru yang dimaksud Bung Karno, sebagaimana yang dituturkan kepada Cindy Adam, adalah rumah di Plampitan. Letaknya berdekatan dengan galenstraat dan nesstraat.

Menurut surat kabar Nieuwe Courent yang terbit pada 28 Maret 1950 dengan berita berjudul Wijziging van Straatnamen te Soerabaia (Perubahan Nama-Nama Jalan di Surabaya), dua di antaranya mengubah galenstraat menjadi Jalan Megawati dan gesstraat menjadi Jalan Guntur.

Baca Juga  Quo Vadis Revitalisasi Kota Lama Surabaya

Sebelum penetapan perubahan nama jalan dari yang berbau kolonial menjadi lokal di koran yang sama edisi 28 Maret 1950, ada terbitan lain yang memberitakan adanya rapat yang dipimpin Doel Arnowo pada 15 dan 17 Maret 1950.

The committee, which has been set up for the change of street names in surabaya, held its meeting on Monday at the home of Major Djarot. The meeting was led by Mr. Doel Arnowo. Proposals from the committee were discussed at this meeting.”

(Panitia, yang dibentuk untuk membuat perubahan nama jalan di Surabaya, mengadakan pertemuan di rumah Mayor Djarot. Pertemuan dipimpin oleh Doel Aenowo. Usulan dari panitia dibahas dalam rapat ini).

Puti Guntur Soekarno berkunjung ke rumah Plampitan. foto:begandring

 

Tahun 1950, lima tahun setelah kemerdekaan, Soekarno masih sering ke Surabaya. Salah satunya ketika upacara peletakan batu pertama pembangunan Tugu Pahlawan, November 1951.

Pergantua dua nama berbau kolonial diganti dengan nama anaknya, Guntur dan Megawati, terjadi di masa pemerintahan Bung Karno. Maka, bukan tidak mungkin pemilihan dua nama Guntur dan Megawati tanpa ada pengaruh Bung Karno. Apalagi tempat kedua jalan itu berdekatan dengan rumah baru Tjokroaminoto, di mana Bung Karno juga tinggal di sana.

Tahun 2007, terbit buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Edisi Revisi). Penerbitan buku tersebut disambut baik oleh Guntur Soekarno Putra (Ketua Dewan Pendiri Yayasan Bung Karno) dan Guruh Soekarno Putra (Ketua Umum Yayasan Bung Karno).

Dalam edisi revisi ini dipertegas “pindah rumah dan rumah baru” yang dimaksud pada penerbitan tahun 1966 adalah rumah di Plampitan.

“Ketika masuk HBS di Surabaya, aku tinggal di rumah Pak Tjokroaminoto di gang Peneleh, dan kemudian pindah ke Plampitan. “

Baca Juga  Keraton Lama Surabaya sebelum Ditaklukkan Mataram

Pun Puti Guntur Soekarno, cucu Bung Karno, beberapa kali berkunjung ke rumah Plampitan itu. So, bagaimana kelanjutannya, tunggu artikel berikutnya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *