Memahami Genealogi Merahnya Pemikiran Bung Karno

Begandring.com-Diskusi Merahnya Ajaran Bung Karno jadi penanda dimulainya Pameran Pekan Soekarno 2024 dan Pusat Studi Bung Karno Begandring Institute.

Selasar Lodji Besar malam itu (14/6) terasa seperti kelas pada sekolah pemikiran filsafat. Bertumpu pada tajuk Merahnya Ajaran Bung Karno, Airlangga Pribadi, Ph.D, narasumber sekaligus sang penulis buku, membabar helai demi helai lapis pemikiran Bung Karno.

“Marhaen dan Marhaenisme itu adalah metafor yang dibuat oleh Bung Karno untuk menjelaskan pemikirannya yang autentik. Sejak tahun 1920an akhir, Bung Karno sudah berpikir revolusi di Indonesia akan berbeda dengan revolusi di Eropa,” papar Angga, panggilan akrab pria yang juga dosen Ilmu Politik FISIP Unair itu.

Airlangga Pribadi Ph.D memantik diskusi Merahnya Ajaran Bung Karno di Lodji Besar (14/6)

Dalam diskusi yang dihadiri lima puluhan audiens dari berbagai kalangan itu, Angga lantas menjelaskan posisi pemikiran Bung Karno dalam konstelasi pemikiran-pemikiran revolusioner yang telah mapan saat itu.

Di Eropa, revolusi banyak dilakukan kelas buruh, yang telah atau sedang memiliki kesadaran kritis terhadap nasib mereka. Jalan keluarnya adalah revolusi. Tapi di Indonesia saat itu, menurut Angga, tidak demikian.

“Masyarakat Indonesia saat itu lebih banyak dihuni oleh orang-orang seperti Marhaen. Punya tanah, punya alat produksi, tapi kondisinya serba kekurangan. Jadi fakta empiris kelas sosial di Indonesia tidak serta merta bisa dijelaskan dengan konsep kelas dalam masyarakat Eropa,” lanjut Angga.

Dalam kondisi sedemikian itu, lanjut Angga, Bung Karno membangun konstruksi pemikiran-pemikirannya. Tidak hanya soal ekonomi, melainkan juga kesadaran kritis terhadap imperialisme dan kolonialisme.

“Fase embrionik pemikiran Soekarno terjadi di Surabaya. Dia punya banyak guru, selain HOS Tjokroaminoto serta tokoh-tokoh yang kerap bertamu di Peneleh. Dia juga dapat inspirasi dari gurunya di HBS,” ujarnya.

Dari Surabaya, Bung Karno memperdalam gagasannya di Bandung. Angga mengatakan, saat Bung Karno di Bandung, banyak tokoh-tokoh pergerakan baru pulang dari Belanda dan menjadi mentor Bung Karno muda. Di antaranya, Cipto Mangoenkoesoemo dan Sastrokartono.

Baca Juga  Prasasti Canggu dan Universitas Hayam Wuruk

Wawasan Bung Karno pun semakin tajam. Hal itu, ujar Angga, terbaca dalam pledoi Bung Karno yang lantas diterbitkan dalam buku Indonesia Mengguggat.

“Di Indonesia Menggugat, Bung Karno mengatakan, kalau hanya kerugian yang dialami Indonesia karena kekayaan alamnya dijarah Belanda, itu kecil. Bung Karno mengatakan, ini adalah soal bagaimana melawan imperialisme,” tegasnya.

Salah satu sudut Lodji Besar yang disulap jadi galeri pameran Pekan Soekarno

Meskipun topik diskusi relatif serius dan “berat”, namun tetap dibawakan dengan cara santai dan mudah dipahami audiens. Terbukti pada sesi diskusi, Damar, siswa SMA Trimurti Surabaya, misalnya, bertanya tentang konstruksi berpikir Manipol Usdek serta konteks historis yang terjadi saat itu. Berbagai sub topik lain seperti politik luar negeri ala Soekarno, berikut legasi-legasi penting lainnya, tak luput dibahas.

Kuncarsono Prasetyo, moderator sekaligus founder Begandring Soerabaia mengatakan, diskusi Merahnya Ajaran Bung Karno menunjukkan komunitas sejarah bukan sekadar tempat aktivitas kelangenan belaka.

“Rekan-rekan Begandring ini bisa kelangenan, namun mampu juga bicara sisi-sisi mendasar dari semangat zaman yang menggerakkan sejarah, termasuk sejarah pemikiran,” pungkasnya di penghujung diskusi.

Diskusi Merahnya Ajaran Bung Karno merupakan kick-off Pameran Pekan Soekarno yang diadakan komunitas Begandring Soerabaia, 14-23 Juni 2024. Pameran ini terbuka bagi umum dan gratis. Beragam koleksi foto, film, dan buku-buku terkait Bung Karno dapat dilihat selama pameran. (*)

Foto-foto lain

 

 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *