Merekam Perkembangan Morfologi Kota Surabaya dalam Sinema

Begandring.com-Perkembangan kota Surabaya yang sangat signifikan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir telah mengubah bentuk kota. Tak hanya secara fisik namun juga demografi masyarakatnya. Perkembangan dan perubahan kota ini terekam dalam berbagai produk budaya seperti musik dan film.

Begandring Soerabaia kembali menghadirkan diskusi (11/10), kali ini dengan tema “Surabaya Dalam Sinema Indonesia”, sebagai bagian dari rangkaian diskusi dalam rangka memperingati hari Pahlawan. Narasumber dalam diskusi kali ini adalah Yayan Indrayana, pengamat sejarah perkotaan dari Begandring Soerabaia, dan Ardy M.Navastara, dosen Jurusan Perencanaan Wilayah Kota (PWK) ITS. Lady Khairunnisa Adiyani menjadi moderator dalam diskusi ini.

Poster acara diskusi. Foto: Begandring.com

Yayan Indrayana dalam sesi pertama memaparkan representasi kota Surabaya yang ditampilkan dalam beberapa film nasional. Film “Jembatan Merah” karya Asrul Sani yang dirilis tahun 1973, menampilkan ikon-ikon kota Surabaya dengan kondisinya saat itu.

“Dalam film ini terlihat kawasan Jalan Rajawali dan Gedung Internatio sangat padat kendaraan, becak masih diperbolehkan di kawasan itu.” terang Yayan.

Kali Mas, terlihat lebih dangkal dan bantaran sungainya lebih kumuh dengan bangunan semi permanen. “Jembatan Petekan juga diperlihatkan masih utuh lengkap besi-besinya dibanding tahun 2000-an.” tambah Yayan.

Pengambilan gambar “Inem Pelayan Seksi 2” dan “Inem Pelayan Seksi 3” karya Nya Abbas Akup di tahun 1977 dilakukan di kota Surabaya dan Pulau Madura.

Adegan pembukaan di “Inem Pelayan Seksi 2”, di mana pelawak Kardjo AC/DC naik sepeda di jalan-jalan utama kota Surabaya, seperti Jalan Darmo, Pemuda dan Polisi Istimewa memperlihatkan detail menarik.

“Dalam adegan ini, kita bisa melihat jarangnya pepohonan dan tumbuhan, sehingga beberapa bangunan kuno terlihat lebih jelas.” ujar Yayan, “bahkan ada adegan Kardjo membawa sepeda menuruni tangga di Viaduct Gubeng, kini banyak orang lupa akan keberadaan dua tangga di viaduct ini.”

Baca Juga  Komando Keramat Gubernur Soerjo Pukau Pengunjung Balai Pemuda

Kehidupan sehari-hari dari kesenian pertunjukan tradisional ditampilkan jelas pada “Suci Sang Primadona” karya Arifin C.Noer. Dalam film rilisan 1977 ini, grup komedi Srimulat memerankan para seniman panggung tradisional yang digambarkan hidup bersama keluarga mereka di belakang panggung, yang menjadi sumber penghidupan mereka. Kondisi seperti ini sudah susah ditemui di Surabaya sekarang.

“Telaga Air Mata” yang dirilis tahun 1986 terdapat scene yang diambil di Makam Eropa Peneleh, yang ketika itu terlihat tak terurus, tetapi di beberapa makam masih ada plakat marmernya. “Dalam film ini kita baru ingat bahwa di tahun 1980-an jalur kendaraan di Jembatan Gubeng hingga Pemuda masih dua arah.” papar Yayan.

Film “Jack”(2019) dan “Lara Ati” (2022) boleh disebut sebagai perwakilan generasi terkini dalam melihat kota Surabaya. “Jack” menjadikan jembatan Suramadu sebagai daya tarik utama. Selain Suramadu, “Jack” juga mengambil setting di Resto Zangrandi, Peneleh dan Tambak Bayan. “Banyaknya lokasi yang diambil dan shoot yang enak dilihat, dikarenakan sutradara Jack yang berasal dari Surabaya, berbeda dengan film-film sebelumnya yang pembuatnya dari luar Surabaya.” terang Yayan.

Perbedaan kondisi kota Surabaya yang terekam dalam berbagai film, mulai dari “Jembatan Merah” hingga “Lara Ati” disebabkan oleh beberapa hal yang terjadi di Surabaya selama lebih dari lima dekade terakhir. “Kondisi demografi Surabaya sangat berbeda di tahun 1973 dengan 2022; urbanisasi, sebaran spasial regional dan perbandingan penduduk usia tua dengan muda membuat raut wajah kota Surabaya berubah.” papar Yayan menutup sesi diskusinya.

Morfologi Kota

Dalam sesi kedua diskusi, Ardy M. Navastara, dosen Perancangan Wilayah Kota ITS, menjelaskan bagaimana perkembangan bentuk atau luasan kota Surabaya dapat melacak dinamika sosial dan sejarahnya, sebagai referensi panduan perencanaan Surabaya ke depan. “Morfologi kota adalah studi tentang bentuk fisik kota, yang di dalamnya mempelajari elemen-elemen seperti jalan, bangunan dan ruang terbuka,” terang Ardy pada audiens yang masih awam dengan istilah ini.

Baca Juga  Djawa Dipa: Pemberontakan Melalui Bahasa

Dua pembicara, Ardy dan Yayan (memegang microphone) saat diskusi. Foto: Begandring.com

Ardy mengkaji perkembangan bentuk kota Surabaya, mulai dari perkembangan luasan batas kota, peruntukan lahan hingga ingatan penduduk kota Surabaya akan kenangan bentuk kota di masa sebelum sekarang.

“Kita melacak dinamika Surabaya juga lewat memori masyarakat, ada yang dulu ada sekarang tidak ada, dan sebaliknya,” kata Ardy.

Ardy membedakan fase perkembangan kota Surabaya menjadi empat tahap: kolonial, pasca-kemerdekaan, urbanisasi modern dan kontemporer. Dimulai dari kawasan tempat tinggal warga Eropa di sekitar Jembatan Merah, yang dalam kurang lebih dua abad meluas ke selatan, mengikuti Kali Mas dan Jalan Raya Pos.

Ardy melihat implementasi rencana kota terlihat pada penataan jalan, “Konstruksi bangunan dan penggunaan lahan mengalami perubahan dikarenakan perkembangan jaman, sehingga fungsi lahan berubah dan bangunan bisa dirobohkan untuk kemudian diganti bangunan baru,” terang Ardy. “Perubahan bangunan terekam juga di film-film yang tadi Yayan jelaskan,” tambah Ardy

Alih fungsi lahan-lahan pertanian dan hutan di kawasan Surabaya menjadi kawasan industri, seperti di kawasan Ngagel dan Wonocolo memberi peluang di wilayah sekitarnya untuk berkembang. “Perkembangan kota Surabaya beda sekali dengan kota-kota di Eropa atau Amerika yang didorong Revolusi Industri. Surabaya banyak terdorong pertumbuhan perusahaan swasta besar yang mengekspor hasil bumi ke Eropa,” papar Ardy.

Pertumbuhan Surabaya di era kontemporer saat ini menurut Ardy mengikuti pola kedekatan dengan fasilitas jalan raya, pusat transportasi dan peruntukan penggunaan lahan. “Kita bisa lihat, pemukiman di Surabaya berada di timur dan barat, industri berada di selatan dan barat, sedangkan pusat banyak digunakan fasilitas publik. Semua untuk kemudahan akses,” kata Ardy lagi.

Baca Juga  Festival Peneleh 2023 Menghibur Tua Muda.

Foto bareng peserta diskusi. Foto: Begandring.com

Mempelajari perkembangan kota ternyata bisa dimulai dari apa yang terekam dalam produk budaya seperti film, yang kemudian bisa diikuti dengan penelusuran aspek budaya dan ekonomi selain tentunya perubahan fisik dari masa ke masa. Dalam diskusi yang dihadiri juga oleh Tim MGMP Ilmu Pengetahuan Sosial Kota Surabaya itu disadari bahwa peran film yang merekam perubahan kota tak ayal mampu dijadikan sebagai rujukan referensi pendidikan maupun penataan kota di masa mendatang.

Penulis: M. Firman. Pemerhati Sejarah dan Budaya Surabaya.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *