Monumen Jago Yang Hilang Di Surabaya

“Sampai bertemu lagi di Surabaya” adalah kata perpisahan yang diucapkan Mayor Darmosugondo kepada warga di lereng Gunung Wilis pada tanggal 4 Februari 1949 jam 6 pagi. Komandan Batalyon 113 ini turun gunung setelah pemulihan dari luka-luka yang diakibatkan oleh pertempuran di Kemlagi Mojokerto pada 24 Desember 1948 lalu, beliau menghadap Kolonel Sungkono Panglima Divisi I Jawa Timur yang berkedudukan di Genjing Loceret Nganjuk untuk melaporkan kondisi fisik dan ijin untuk kembali memasuki wilayah Surabaya, disaat melapor itu ternyata Markas Divisi mengalami serangan udara dan dijatuhi bom, Mayor Darmosugondo dan Kolonel Sungkono mengalami luka-luka ringan, sehingga Kolonel Sungkono segera memerintahkan Mayor Darmosugondo untuk segera meninggalkan Genjing dan menuju ke Markas S.T.M Surabaya (Sub Teritorium Militer) menghadap Letkol Kretarto di Hutan Rampah Ombo Plandaan Jombang.

Mayor Darmosugodo sekitar tahun 1948.

Tanggal 9 Februari 1949 jam 18.00 Mayor Darmosugondo tiba di Markas S.T.M Surabaya melapor ke Letkol Kretarto dan kemudian menuju ke basis Batalyon 113 yang berada di hutan Jiporapah Plandaan Jombang yang masih satu kawasan dengan Markas S.T.M Surabaya. Kehadiran sang komandan ditengah-tengah Batalyon meningkatkan moral anggota setelah beberapa kali mengalami kekalahan dalam beberapa pertempuran. 11 Februari 1949, sebelum masuk ke wilayah Surabaya, Mayor Darmosugondo mengadakan pertemuan dengan rakyat Ploso yang berlangsung di tengah hutan disekitar perbukitan Marmoyo Kabuh Jombang, namun dilokasi itu Belanda melakukan serangan dan pertemuan itu gagal, ternyata ada mata-mata yang membocorkan pertemuan itu. 15 Februari 1949 Markas Batalyon 113 dipindahkan ke Pule Lamongrejo Ngimbang dan kemudian secara bertahap dan berangsur-angsur melakukan infiltrasi menuju Kemlagi Mojokerto dan sampai di titik tujuan pada 25 Maret 1949, selama infiltrasi mengalami berbagai beberapa kali baku tembak dengan militer Belanda.

Markas Gerilya Darmosugondo di Made Sambikerep Surabaya yang beliau beri nama Wukir Ratawu.

Dari Kemlagi menuju wilayah Surabaya dilanjutkan dengan menggunakan mobil, perjalanan ditempuh selama 2 hari dan melewati beberapa kali pemeriksaan tepat 27 Maret 1949 Mayor Darmosugondo tiba di area Surabaya. 30 Maret 1949 dilakukan rapat koordinasi untuk menentukan wilayah baru, maka hasil keputusan rapat menetapkan Mayor Darmosugondo sebagai Komandan K.D.M Surabaya (Komando Distrik Militer) berkedudukan di Desa Made (Saat ini Kelurahan Made Kecamatan Sambikerep Surabaya) yang dilaksanakan efektif pada 1 April 1949.

Baca Juga  Tambak Bayan Surabaya dan Kisah Pelarian Bangsawan Pajang
Mayor Darmosugondo di sendang Made Sambikerep Surabaya

Kemudian pasukan Darmosugondo secara bertahap pindah ke Desa Made untuk menempati pos gerilya baru yang juga menjadi K.D.M Surabaya, Mayor Darmosugondo menggunakan maskot “Djago” yang menjadi identitas Batalyonnya. Untuk membaur dengan rakyat Mayor Darmosugondo memerintahkan seluruh pasukannya untuk menggunakan baju rakyat biasa dan menanggalkan semua atribut militernya, hal ini dilakukan untuk menanggulangi adanya patroli dan pembersihan dari militer Belanda yang mulai gencar melakukan pemeriksaan disekitar wilayah Surabaya.

Mayor Darmosugondo dengan baju rakyat biasa di Made

Mbah Seniman (89 tahun lahir 1933) seorang sesepuh dan saksi sejarah dari Desa Made menceritakan kepada saya 5 Februari 2022 lalu, bahwa Batalyon Darmosugondo menjadikan Desa Made sebagai Markas Gerilyanya, untuk persembunyian Mayor Darmosugondo membuat  “bunker” di makam desa yang jika dilihat dari jauh seperti kuburan pada umumnya, “bunker” itu terdapat pintu masuk dari lereng makam yang dikamufase dengan tanaman menjalar dan peredu lainya. Di Desa Made Mayor Darmosugondo memiliki kendaraan tunggangan berupa Kuda yang dirawat Mbah Seniman beserta ayahnya pak Seno, namun malang saat pak Seno hendak mengantar makanan untuk gerilyawan beliau ditangkap mata-mata yang awalnya dikira anggota S.T,M Surabaya, pak Seno di introgasi dan dipukuli untuk menunjukan markas gerilya dan posisi Mayor Darmosugono, namun beliau tidak mau mengaku hingga kemudian dipenjara di Kalisosok hingga tahun 1950.

Mayor Darmosugondo menunggang kuda, hal yang sama seperti kisah Mbah Seniman

Mayor Darmosugono juga beberapa kali hampir ditangkap mata-mata dan militer Belanda namun tidak pernah berhasil, peristiwa penangkapan ini terjadi di wilayah Alas Malang, Tandes, Banjar Sugihan dan Kedurus. Mayor Darmosugondo ahli dalam penyamaran, suatu ketika beliau menyamar menjadi saudagar Cina yang masuk Surabaya dengan menggunakan mobil tanpa dicurigai sedikitpun, beliau juga pernah menyamar sebagai pedagang buah, rakyat bahkan ulama. Keahlian ini beliau dapatkan saat menjadi HEIHO dan PETA di jaman Jepang. Suatu ketika diwilayahnya terjadi pengedoran, perampokan dan penjarahan oleh gerombolan bersenjata, membaca kegelisahan rakyat di wilayah teritorialnya beliau segera membentuk satuan tugas untuk mengadakan operasi penumpasan terbatas, dalam waktu singkat gerombolan itu dapat ditumpas tanpa menimbulkan kecurigaan dari pihak militer Belanda.

Mayor Darmosugondo menyamar sebagai saudagar China

7 Mei 1949 terjadi perjanjian Rum-Royen, pada bulan Juli 1949 Mayor Darmosugono mengadakan rapat besar yang dihadiri oleh 600 pemuka masyarakat, beliau menginformasikan keadaan politik serta pemerintah Republik Indonesia yang telah berkedudukan kembali di Yogyakarta dan melakukan pembinaan kepada rakyat untuk tetap berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia, beliau menutup rapat besar itu dengan kalimat “Daerah Soerabaja dengan sengadja kita reboet dengan tidak oesah bertempoer dengan kekoeatan sendjata”.

Baca Juga  Danyang Peneleh Menyelamatkan Oerip
Mayor Darmosugondo menyamar sebagai ulama

3 Agustus 1949 tersiar berita gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda yang efektif dimulai tengah malam 10-11 Agustus 1949 untuk Pulau Jawa. Berita ini menjadi satu anugerah bagi semua rakyat dan jajaran Komando Distrik Militer Surabaya di Made. 5 Oktober 1949 dalam perayaan 4 tahun berdirinya Angkatan Perang Republik Indonesia jajaran Batalyon Teritorial 108 Jago/K.D.M Surabaya menyelenggarakan upacara secara resmi yang juga dihadiri rakyat sekitar. Dalam sambutanya yang penuh haru, Mayor Darmosugondo mengucapkan terima kasih dan merasa berhutang budi kepada rakyat Made dan sekitarnya serta menyampaikan rasa hormat serta penghargaan setinggi-tingginya atas kemanunggalan antara TNI dan rakyat diwilyahnya.

Pasca gencatan senjata, Mayor Darmosugondo beserta jajaran Batalyon Teritorial 108 Jago/K.D.M Surabaya mengadakan pembinaan teritoral dengan cara pelatihan tenaga pemerintahan desa, membentuk pertahanan rakyat, pemberantasan buta huruf dan melakukan pembangunan fasilitas desa.

pembangunan fasilitas desa oleh K.D.M Surabaya/Batalyon Djago Darmosugondo

Bulan November 1949 Markas Komando Batalyon Teritorial 108 Jago/K.D.M Surabaya berpindah dari Made ke Jeruk Lakarsantri Surabaya, pada tanggal 10 Nvember 1949 Mayor Darmosugondo membangun sebuah monumen perjuangan K.D.M Surabaya didepan markasnya. Monumen itu berwujud tiga tingkat dengan simbol Jago diatasnya, tiga tingkat itu bermakna bahwa perjuangan Indonesia melewati 3 fase perundingan, Linggarjati, Renville dan Rum-Royen. Sedangkan Ayam Jago adalah simbol keprajuritan Mayor Darmosugondo yang menjadi pahlawan didaerah Surabaya atas wujud gemblengan Sawung Galing, upacara Hari Pahlawan dan peresmian Monumen Jago ini dihadiri oleh segenap rakyat.

monumen Djago yang hilang di Desa Jeruk Lakarsantri Surabaya.

25 Desember 1949, Markas Komando Daerah Militer Surabaya yang dipimpin oleh Mayor Darmosugondo berpindah dari Jeruk ke Gresik sebagai pusat Kabupaten Surabaya dan 27 Desember 1949 saat terjadi penyerahan kadulatan di rakyat Gresik mengadakan rapat raksasa menolak berdirinya Negara Jawa Timur dan menuntuk untuk kembali ke Pemerintahan Republik Indonesia. 19 Januari 1950 Bupati Negara Jawa Timur menyerahkan pemerintahan Kabupaten Surabaya kepada Mayor Darmosugondo selaku Pemerintahan Militer Kabupaten Surabaya.

Anggota Batalyon 108 Djago/K.D.M Surabaya

Dalam pemerintahan militer, Mayor Darmosugondo dibantu oleh Bupati Republik K.Ng. Bambang Suparto untuk urusan sipil. Karena ada desakan rakyat dalam wujud demonstasi besar-besaran maka pada 24 Februari 1950 Residen Negara Djawa Timur Surabaya menyerahkan pemerintahan kepada Residen Republik Indonesia Surabaya M. Pamuji dan seluruh wilayah Surabaya kembali menjadi daerah Republik Indonesia kembali.

Baca Juga  GAJAH PAGON PENGAWAL SETIA RADEN WIJAYA
Mayor Darmosoegondo. Komandan Batalyon 108 Djago dan K.D.M surabaya

Bertempat di pendopo Kabupaten Surabaya yang berada di Gentengkali pada tanggal 8 Maret 1950 diserah terimakan pemerintahan militer kepada sipil yang memiliki daerah administrasi penuh diwilayah Kabupaten Surabaya dan tetap dipimpin oleh Bupati K.Ng. Bambang Suparto. Kemudian Batalyon 108 berubah menjadi Batalyon 28 Brigade 19 Divisi 1 Jawa Timur.

Namun beberapa hal penulis patut sampaikan :

  1. Monumen Jago yang berada di Desa Jeruk Lakarsantri Surabaya dan menjadi tetenger perjuangan Mayor Darmosugondo dengan Batalyon serta K.D.M Surabaya sudah tidak ada lagi, kemungkinan dibongkar terkena pelebaran jalan. Setidaknya ada upaya dan usaha dari Pemerintah Kota Surabaya untuk membangun kembali tetenger perjuangan itu sebagai wujud Surabaya adalah Kota Pahlawan.
  2. Di Surabaya tidak ada nama jalan Darmosugondo, memang beberapa waktu lalu pernah diupayakan dan diusahakan penamaan sebuah jalan dengan menggunakan nama Mayor Darmosugondo untuk mengenang perjuangan beliau sejak pertempuran Surabaya hingga perang kemerdekaan, namun hingga saat ini kabar itu sudah tidak terdengar lagi. Perlu diketahui bahwa nama beliau telah diabadikan sebagai nama jalan di daerah Gresik, Jombang, Palangkaraya kalimantan Tengah dan Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan.
  3. Setidaknya ada tetenger tentang perjuangan Mayor Darmosugodo yang berada di Kota Surabaya.
  4. Terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu Sulistyaningsih,S.Pd., M.Pd.MCE. putri ke 7 Almarhum Letkol Darmosoegondo yang telah banyak memberikan informasi berupa foto perjuangan ayahanda, Alfatihah untuk Pahlawan Darmosoegondo, Aamiin.
  5. Terma kasih kepada Almarhum mas Rio Willy anggota Mataseger atas pemberian sebuah buku tentang perjuangan Darmosugondo yang beliau tulis sendiri, senantiasa menjadi amal jariyah beliau atas ilmu bermanfaat, Alfatihah, Aamiin.

Sekian.

Oleh : Achmad Zaki Yamani

Sumber :

  1. Riwayat Perjuangan Batalyon Darmosoegondo oleh Kaspari Staf II K.D.M Surabaja, Van Ingen, Surabaja.
  2. Sam Karya Bhirawa Anoraga oleh Semdam VIII Brawidjajaj, Semdam VIII Brawidjaja, Surabaya, 1968.
  3. Darmosoegondo Dari Batalyon Djago Hingga PRRI/Permesta, Rio Willy, Mataseger, 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *