Muara Kalimas Petunjuk Awal Peradaban Surabaya, Di sini Lokasinya!

Nama Kalimas tidaklah asing bagi warga Kota Surabaya. Tapi nama Pa-Tsih-Kan (Patjekan) masih terlalu asing meski pernah ada, sehingga tidak ada yang tahu. Padahal, Kalimas adalah Pa-Tsih-Kan dalam istilah/nama China.

“Pa-Tsih is the river of Surabaya, at present called Brantas or Kalimas”. (Groenneveld 1876). Pa-Tsih adalah Kali Surabaya, sekarang Kali Brantas atau Kalimas.

“The chinese text gives this river as Pa-Tsih-Kan, the small river of Pa tsich” (Groenneveld 1876). Catatan China menyebut sungai ini Pa-Tsih-Kan, sungai Pa-Tsih kecil.

Groenneveld dalam bukunya Notes in the Malay Archipelago and Melacca (1876), yang mengutip catatan catatan China, menjadi acuan dan sumber sejarah dalam penulisan artikel ini. Groenneveld juga umum dipakai sebagai rujukan oleh para peneliti dan sejarawan lainnya, termasuk mereka yang meneliti sejarah Hari Jadi Kota Surabaya pada 1973-1975.

Kalimas atau Pa-Tsih-Kan menggambarkan anak sungai Brantas yang bercabang dari Mlirip dan mengalir ke arah Timur Laut (utara-timur) dan bermuara di selat Madura melalui Surabaya.

Sebelum disebut Kalimas, aliran anak cabang Sungai Brantas ini bernama Sungai Surabaya (Rivier van Surabaya) karena mengalir ke dan bermuara di Surabaya. Dari peta peta lama Surabaya, nama Sungai Surabaya (rivier van Surabaya) masih tertulis.

Sekarang nama Sungai Surabaya tidak lagi tertulis pada peta-peta baru Kota Surabaya. Tetapi nama Sungai Surabaya masih tertulis di dam Rolak Gunungsari. Ini menunjukkan bahwa dam itu dibangun di Sungai Surabaya.

Ketika masih bernama Sungai Surabaya, sungai ini bermuara di Morokrembangan. Kala itu sungai berbelok ke barat di sekitar Kampung Baru, melalui jalur yang sekarang bernama Kalisosok. Dari Kalisosok mengalir ke Pesapen, di mana dulu di sana pernah ada Kali Pesapen. Dari Pesapen terus mengalir ke muara Krembangan.

Baca Juga  Membongkar Kebenaran Sejarah Alun-Alun Surabaya

Muara Kalimas Petunjuk Awal Peradaban Surabaya, Di sini Lokasinya!

Kalisosok artinya kali mati atau sungai yang disumbat (Jawa: Sosok). Sementara Kali Pesapen sempat terdokumentasikan lewat lagu Ajoen Ajoen yang dilantunkan Wieteke Van Dort. Berikut petikan lirik dari lagu itu:

“Jangan mandi Kali Pesapen,
Kali Pesapen banyak lintahnya.
Jangan main nonik Pesapen,
Nonik Pesapen banyak tingkahnya”.

Sebetulnya munculnya nama Kalimas karena adanya pembangunan kanal atau sudetan mulai dari Kampung Baru (Pabean) hingga ke muara di Ujung. Kanal ini dibangun pada kisaran pertengahan abad 19, sejaman dengan proyek pembangunan infrastruktur pengairan dan bendungan lainnya di Jawa Timur.

Misalnya pembangunan Pintu Air Mirip Mojokerto (1848), pembangunan Dam Jagir dan Lengkong Mojokerto (1870), pembangunan sudetan Kali Porong (1882), pembangunan Dam Gubeng dan Gunungsari (1880-an) serta sudetan Bengawan Solo di Bungah Gresik pada 1880.

Sudetan Kali Surabaya dari Kampung Baru lurus ke muara ini dinamakan Kanal Kalimas. Setelah pembangunan Kanal Kalimas, ketika itu, alur Kali Surabaya yang bermuara di Krembangan masih ada. Tapi debit air, yang terbuang ke selat Madura, jauh lebih banyak melalui Kanal Kalimas.

Lambat laun alur sungai alami, yang berkelok kelok melalui Pesapen dan bermuara di Krembangan, mati karena ruas sungai di belokan (kawasan Kalisosok) ditutup atau disumbat (jawa: di sosok). Maka bekas kali itu berubah menjadi jalan yang dinamakan Jalan Kalisosok, artinya sungai yang disumbat.

Sejak itulah nama Kalimas menjadi viral. Saking viralnya, nama Kalimas yang seharusnya hanya untuk nama sebuah kanal merambah ke sepanjang sungai hingga Ngagel, Wonokromo.

Groenneveld pada 1876 sebagaimana dituliskan dalam bukunya, yang bersumber dari Kronik China, Notes in the Malay Archipelago and Melacca, menerjemahkan Pa-Tsih-Kan untuk Brantas atau Kali Surabaya atau Kalimas.

Baca Juga  Keraton Lama Surabaya sebelum Ditaklukkan Mataram

Kronik China sebagaimana dikutip oleh Groenneveld menyebut bahwa melalui muara Pa-Tsih-Kan (Kalimas dengan muara lama) inilah pasukan Mongolia di bawah Kekaisaran Kubilai Kan masuk ke pedalaman Jawa pada 1293 M.

“At this place, Tuban, half this army was sent ashore with orders to march to the mouth of the river Pa-tsich, while the other half proceeded in the fleet towards the same destination, passing on its way the river Segalu (Sugalu), which must be the same as is called Sedayu now,” tulis Groenneveld dalam bukunya yang mengutip sumber China.

Lebih lanjut Groenneveld menuliskan dan menggambarkan Kalimas kecil, yang tidak bisa dilewati kapal kapal, dan terpaksa harus ganti perahu untuk sampai ke Majapahit melalui Surabaya.

“Ships first reached Tuban, next Gresik, and then Surabaja, the terminus for large ships, whence the journey was made in small ships to Canggu, and thence overland to Majapahit, the capital”. Groenneveld.

Ringkasnya bahwa pasukan Mongol, yang berangkat dari Tuban, semuanya menuju ke suatu tempat di muara sungai Pa-Tsih-Kan (Kalimas kecil). Jejak tempat di dekat muara Kalimas ini, yang kemudian menjadi jalur kedatangan gelombang orang etnis China, ke Jawa.

Setelah Pasukan Monggol (1293), kemudian rombongan Cheng Ho (1430) dan berikutnya keluarga Han, The dan Tjoa pada awal abad 18. Tempat persinggahan ini selanjutnya dikenal dengan nama kawasan Kampung Pecinan Surabaya.

Muara Kalimas Petunjuk Awal Peradaban Surabaya, Di sini Lokasinya!

Kawasan Pecinan adalah lahan, yang berada di antara dua sungai. Yaitu sungai Kalimas, dan anak sungai Kalimas yang bernama Kali Pegirian. Lahan, yang berupa delta sungai ini, semakin ke selatan semakin tua karena terbentuknya lahan karena sedimentasi terjadi lebih awal, yaitu di daerah Pandean, Peneleh, dan Pengampon.

Baca Juga  Talkshow Budaya Aksara Jawa dalam Agenda Urban Art .

Sebagai bukti otentik dari kawasan Pandean, Peneleh misalnya adalah penemuan Sumur Jobong (2018), yang dari hasil uji karbon pada fragmentasi tulang belulang manusia di sekitar dan di sumur, diketahui bahwa manusia tertua di Pandean ini meninggal pada 1430. Berarti Sumur Jobong sendiri, yang diduga sebagai sarana ritual penguburan mayat, sudah ada sebelum 1430 M.

Apalagi Prasasti Canggu yang dikeluarkan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit pada 1358 M, menyebut nama desa ditepian kali (naditira pradeca) Curabhaya. Curabhaya adalah desa paling hilir setelah Bkul (Bungkul) dan Gsang (Pagesangan). Sementara desa Curabhaya sendiri menjadi nama Surabaya sekarang.

GH Von Faber dalam bukunya yang berjudul “Erwerd Eenstad Geboren…” (1953) sudah menuliskan bahwa desa Surabaya sudah ada sejak 1275 M. Lokasinya di kawasan delta, yang kala itu bernama Glagah Arum atau Pandean Peneleh. Erwerd Eenstad Geboren, artinya Lahirnya Sebuah Kota.

Secara natural kawasan peradaban ini berada di tepi Kalimas dan dekat dengan muara Kalimas. Kawasan ini adalah Pandean, Peneleh, Pengampon, dan semakin ke utara ada Pecinan dan Ampel. Maka, jelaslah d imana peradaban awal Surabaya itu. (nanang purwono)

 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *