Anda pernah mendengar nama Pelabuhan Ujung Galuh? Banyak yang menduga dan meyakini Pelabuhan Ujung Galuh ada di wilayah administrasi Kota Surabaya.
Sehingga Ujung Galuh dikatakan sebagai nama kuno Kota Surabaya. Sampai-sampai Ujung Galuh dipakai sebagai nama jembatan yang berada di kawasan Ngagel-Darmokali.
Tapi jangan kaget dengan temuan ini. Jika lokasi Ujung Galuh sejatinya tidak di Surabaya. Lho?
Saya ingin menyodorkan bukti. Dari tinjauan literasi berupa batu prasasti abad XI. Namanya, Prasasti Kamalagyan. Di situ bisa terungkap di mana letak Pelabuhan Ujung Galuh itu. Kalau kita jeli dan teliti.
Prasasti Kamalagyan adalah peninggalan Raja Airlangga. Yang berangka tahun 959 Saka atau 1037 M. Lokasinya berada di Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur.
Prasasti ini menceritakan tentang pembangunan sebuah dawuhan atau bandungan (dam) di Wringin Sapta oleh Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan yang beribukota di Jenggala (Sidoarjo).
Alasan pembangunan bendungan di Wringin Sapto karena kawasan ini sering dilanda banjir. Akibat luapan bengawan (Sungai Berantas). Selain merugikan warga, hal ini berpengaruh pada menurunnya pendapatan kerajaan dari sektor pajak.
Gotong royong pun dilakukan oleh penduduk. Mulai dari warga biasa, petani, hingga ke pemuka agama atas perintah Raja. Semua bahu membahu dengan satu tujuan: bersama untuk membangun dam.
Menyoal Letak Pelabuhan Ujung Galuh
Alhasil, air bengawan bisa dikendalikan. Bahkan bisa dimanfaatkan untuk irigasi pertanian. Warga pun bersuka cita. Karena mereka bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya seperti sedia kala.
Pertanian subur dan warga pun makmur. Hal ini membuat roda perekonomian bisa berjalan baik. Para pedagang yang menggunakan aliran Sungai Brantas sebagai jalur perdagangan bisa berperahu.
Pada baris ke 12 Prasasti Kamalagyan berbunyi: “Kapwa ta sukhamanaḥ nikāŋ maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri hujuŋ galuḥ, tkarikāŋ parapuhawaŋ prabaṇyaga sankāriŋ dwīpāntara.”
Artinya: “Semua orang bergembira, dan berperahu (lah) menuju hulu, untuk mengambil barang dagangan di Hujung Galuḥ. Di sana datang (pula) para nakhoda dengan kapal kapal dagang dari pulau pulau sekitar.”
Sementara pada baris ke 13 prasasti berbunyi: “Samanuntĕn ri hujuŋ galuḥ, ikaŋ anak thāni sakawahan kadĕdĕtan sawaḥnya, atyanta sarwwasukha ni manahnya makantangka sawaha muwah”
Artinya: “Yang (berada) di Hujung Galuḥ, para penduduk yang sawahnya (dahulu) terkena banjir, akhirnya sangat senang hatinya karena sawah tempat menyebar bibit dan sawahnya semua (terbebas dari banjir).“
Kita harus jeli dan teliti membaca prasasti. Khususnya yang berbunyi: “…maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri hujuŋ galuḥ,“.
Artinya: “Berperahu (lah) menuju hulu, untuk mengambil barang dagangan di Hujung Galuḥ.”
Perhatikan kata “samanhulu ” atau “menuju hulu”. Menuju ke hulu adalah menuju ke Hujung Galuh. Artinya, Pelabuhan Hujung Galuh letaknya berada di hulu sungai.
Secara harfiah, hulu sungai adalah bagian dari sungai yang jauh dari muara (laut). Sementara hilir sungai adalah bagian dari sungai yang dekat dengan muara (laut).
Maka, kalau kita perhatikan dan amati lagi dengan seksama, pergerakan warga Wringin Sapto dalam berperahu menuju ke Hujung Galuh. Berarti menuju ke arah hulu. Seperti tersebut dalam isi prasasti yang berbunyi “samanhulu”.
Secara geografis letak hulu sungai, di mana terdapat Pelabuhan Gunung Galuh, ternyata berada ke arah barat dari Wringin Pitu (Krian, Sidoarjo).
Lantas, di manakah lokasi Pelabuhan Hujung Galuh itu?
Jika kita telusuri ke arah barat dari Wringin Pitu, Krian, Sidoarjo, kita akan ketemu pelabuhan kuno era Majapahit. Itulah Pelabuhan Canggu. Pelabuhan utama Kerajaan Majapahit. Namanya, Pelabuhan Canggu.
Ternyata di kawasan bekas pelabuhan kuno ini terdapat nama Dusun Pelabuhan. Tepatnya, di desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto.
Di pelabuhan inilah yang diduga kuat menjadi tempat bersauhnya kapal kapal dari berbagai pulau seperti yang digambarkan dalam prasasti Kamalagyan.
Mengapa pelabuhan di pedalaman Jawa Timur ini banyak dikunjungi kapal besar? Karena secara geografis pelabuhan ini berada di dekat Kali Bengawan yang lebar dan membujur ke timur hingga ke laut lepas.
Jadi, tidak mungkin muara yang ada di wilayah Surabaya disebut hulu sungai. Maka mustahil juga petunjuk Prasasti Kamalagyan yang berbunyi “samanhulu” berarti menuju ke arah Surabaya.
Dari petunjuk prasasti ini maka dapat disimpulkan bahwa Pelabuhan Hujung Galuh berada di hulu sungai (Canggu). Bukan di hilir sungai (Surabaya). (*)
Ditulis Oleh : Nanang Purwono, jurnalis senior dan ketua Begandring Soerabaia