Peneleh, Bumi Para Bangsawan Surabaya

Adanya peradaban kuno di wilayah Kelurahan Peneleh, Surabaya memang sudah tidak diragukan lagi.

Sejarawan dan budayawan GH Von Faber menuliskan bahwa Peneleh adalah tempat lahirnya kota Surabaya sebagaimana ditulis dalam buku Er Werd Een Stad Geboren (1953). Dikatakan bahwa Peneleh sudah ada sejak 1270 M.

Peneleh, yang berada di antara dua sungai Kalimas dan Pegirian, tidak hanya sebuah permukiman tapi sekaligus pusat pemerintahan.

Di era Raja Kertanegara dari Singasari, di kawasan Peneleh pernah tersebut sebagai sebuah pusat administrasi (Faber).

Sebagai sebuah pusat administrasi dan sekaligus permukiman, secara logika mereka yang tinggal di sana adalah para administratur.

Prasasti Canggu (1358) yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk juga menyebut keberadaan desa di tepian sungai yang bernama Curabhaya (Surabaya). Petunjuk itu didukung oleh temuan arkeologi Sumur Jobong di Pandean I.

Seiring dengan pergantian zaman, banyak perubahan terjadi. Tetapi sumbu peradaban, yang membuat nyala kehidupan, tetap saja disana dan lestari.

Peneleh, Bumi Para Bangsawan Surabaya
Nisan dengan motif kurawal dan medalion di Makam Raden Kanjeng Sumodipromo. foto: begandring

Tetenggernya adalah makam makam kuno di daerah itu. Mereka adalah tempat peristirahatannya.

Makam-makam, yang menjadi kekunoan Peneleh (past), menjadi objek kekinian (today) demi kemasadepanan (future).

Makam-makam kuno adalah aset penting yang berbasis sejarah bagi pengembangan Peneleh ke depan.

The Begandring Institute, sebuah sub organ Komunitas Begandring Soerabaia, yang didampingi juru pelihara sumur Jobong Agus Santoso, menelusuri jejak peradaban bumi bangsawan Surabaya, yang berupa makam-makam kuno.

Bentuk nisan dan kijing (jirat) yang tersebar di perkampungan Peneleh ini melambangkan status sosial dan kedudukan seseorang selama di dunia fana.

Mereka umumnya adalah bangsawan, priyayi dan pemuka yang memberi terang dan gemerlap pada bumi di mana Surabaya bermula.

Selain terdapat kubur panjang juga terdapat inskripsi Raden Ayu dan Raden Kanjeng.

Raden Ayu adalah gelar kebangsawanan Jawa yang diberikan pada seorang perempuan keturunan ningrat, yang menikah dengan seorang laki-laki dari generasi kedua hingga ketujuh dari raja atau pemimpin yang terdekat secara silsilah, yang pernah memerintah.

Baca Juga  Menguak Hubungan Soekarno dan Tjiel Romers, Seperti Apa?

Gelar itu dipakai oleh semua kerajaan pewaris Mataram dan juga kadipaten-kadipaten bawahannya.

Ibu Den Ayu Putri adalah inskripsi pada sebuah Makam yang masih lestari di lorong sempit antara Lawang Seketeng IV dan Lawang Seketeng V.

Kijingnya istimewa. Dibuat di era kolonial dan berpagar besi cor yang masih utuh. Makam Ibu Den Ayu Putri ini satu satunya Makam dengan jirat yang istimewa di kawasan perkampungan Peneleh.

Den Ayu Putri tentu menikah dengan keturunan raja antara keturunan pertama dan ketujuh. Sang pewaris kerajaan itu tentunya bermukim di wilayah Peneleh.

Entah siapa namanya. Tetapi di sebelah Makam Ibu Den Ayu Putri, terdapat Makam dengan jirat serupa, dengan inskripsi Sagiman. Dia tentu bukan orang biasa. Diduga dari kalangan bangsawan, keturunan Raja.

Surabaya memang pernah berbentuk kadipaten di bawah Majapahit hingga suksesi ke Mataram. Pada masa masa itu (era Majapahit hingga Mataram), pusat Surabaya adalah kawasan Peneleh sebagai awalan.

Jejak Peneleh (kelurahan) sebagai bumi bangsawan Surabaya hingga kini masih ada. Keberadaannya tentu sudah tidak begitu gemerlap pada era kekinian.

Tapi pada masanya, Peneleh begitu membanggakan. Peneleh adalah tempat bagi orang orang pilihan, Pinilih.

Di Lawang Seketeng IV terdapat satu petak lahan, yang berisi 4 makam kuno. Luasannya 1,5 meter X 1,5 meter. Terdapat satu pohon blimbing wuluh di tengah tengah petak. Semua nisan berbentuk model kuno.

Peneleh, Bumi Para Bangsawan Surabaya
Makam Ibu Raden Ayu Putri. foto: begandring

Menurut Delta Bayu Murti, S.Sos., M.A, Paleopatholog dan Paleoanthropolog Universitas Airlangga Surabaya bahwa nisan di sana memiliki model dan tipe nisan nisan Demak-Troloyo, yang diperkirakan dari abad 18. Cirinya terdapat motif kurawal dengan medalion di tengah tengahnya.

Sementara menurut pegiat sejarah klasik, Tri Prio Wijoyo, berdasarkan bentuk nisan yang memiliki hiasan sulur dan medalion di tengah bahwa nisan nisan ini diduga berasal dari kirasan akhir tahun 1700-an hingga awal 1800-an.

Juru kunci Makam mengatakan, makam ini adalah tempat peristirahatan terakhir Raden Kanjeng Sumodipromo. Ia adalah seorang bangsawan yang tinggal di lingkungan Peneleh.

Baca Juga  Ini Dia Jejak Sejarah KBS yang Tersembunyi

Bangsawan lainnya yang pernah bermukim di lingkungan Peneleh adalah mereka yang beristirahat dengan damai di Kampung Grogol III dan Grogol Kauman II. Kedua Makam ini berbentuk Makam panjang. Panjangnya sekitar 3 meter.

Makam yang secara fisik ini membujur panjang bukan berarti bahwa orangnya tinggi. Tetapi orang orang itu memiliki jasa besar semasa hidupnya. Sebagai tetenger, maka makamnya dibuat panjang.

Di masing masing kompleks makam panjang ini, di Grogol III terdapat 3 kuburan. Sementara di Grogol Kauman II juga ada 3 kuburan.

Peneleh, Bumi Para Bangsawan Surabaya
foto: begandring

 

Pembangunan Bermasalah

Masih ada satu lagi makam tua di Lawang Seketeng V/36, yang keberadaannya di belakang sebuah musala. Entah itu makamnya siapa, tetapi musala yang berusia ratusan tahun itu telah berubah menjadi TPA Al Mukhlisin.

“Dulu musholla itu layaknya musholla kampung dengan design yang klasik, tapi sekarang sudah berubah menjadi TPA,” tutur Syaifuddin, seorang ahli waris musala yang telah diwakafkan oleh kakeknya.

Dalam perkembangannya, bagian belakang dari TPA Al Mukhlisin ini dibangun, yang menjadi kan akses ke makam tua sebagai tetenger peradaban Peneleh, terancam tertutup.

Musala kuno dengan kuburan di belakangnya sebenarnya milik Haji Koesen, yang telah diwakafkan untuk kepentingan umum.

Haji Kusen, dikenal sebagai pengikut Sunan Ampel, dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Ampel ketika meninggal dunia.

Ahli waris Haji Kusen, yang terhitung cucu baik yang tinggal di Lawang Seketeng V Surabaya (Syaifuddin) maupun yang sudah tinggal di Jakarta (Denny Nizar), menginginkan agar musala wakaf itu bisa kembali pada fungsinya.

Berikut makam tua sebagai pepunden kampung bisa diakses sebagai objek wisata religi di wilayah Peneleh.

Apalagi Kelurahan Peneleh sedang dalam proses mengembangkan wisata Peneleh yang berbasis sejarah.

Dalam sebuah rapat koordinasi dengan RT dan RW di lingkungan Kelurahan Peneleh, 14 Maret 2023 lalu, yang dihadiri oleh Lurah Peneleh Skundario dan Camat Genteng Muhammad Aris Hilmy serta pegiat sejarah Begandring Soerabaia, semua elemen diminta masyarakat untuk bersamasama terlibat aktif dalam perencanaan pengembangan wisata Peneleh.

Baca Juga  Menjaga Denyut Nadi Bumi

Karenanya, pembangunan di objek TPA Al Mukhlisin ini telah dihentikan untuk sementara setelah dilakukan pertemuan antara pihak pengelola TPA, ahli waris dan perangkat warga serta pihak kelurahan di kantor Kelurahan Peneleh baru baru ini.

foto: begandring

Simbol Naga 

Ada yang sangat menarik dari Kampung Grogol. Selain keberadaan makam sebagai pertanda kebangsawanan, di kampung ini terdapat satu rumah dengan mahkota yang mengandung makna penting dan tidak semua rumah memiliki simbol naga.

Dalam keyakinan tradisional Jawa, naga biasanya digambarkan sebagai pelindung atau pengayom, sehingga umum ditemukan dalam pahatan gerbang, pintu masuk, atau undakan tangga dengan maksud melindungi bangunan yang ia tempati.

Eksistensi naga cukup banyak di dalam budaya Jawa sendiri. Pengamat budaya Jawa sekaligus pendidik di Prodi Sastra Jawa FIB UGM, Djarot Heru Santosa menyebut eksistensi naga dapat ditemukan di kisah legenda atau cerita rakyat sampai dengan ornamen.

“Naga banyak ditempatkan di pintu gerbang atau tempat strategis tempat masuknya orang banyak. Kalau di manuskrip atau buku naskah Jawa, diletakkan di cover atau halaman awal,” kata Djarot, dikutip dari kumparan.com.

Dengan cukup banyaknya eksistensi itu, ia menyebut bahwa naga sendiri memiliki kedekatan dan keakraban dengan budaya Indonesia khususnya Jawa sendiri.

Peneleh, Bumi Para Bangsawan Surabaya
foto: begandring

Meski ia menduga bahwa kepercayaan masyarakat akan naga sudah cukup lama, namun peran lintas budaya Hindu-Budha dan juga China tak bisa dilepaskan.

Penampilan sepasang naga yang mengapit sebuah mahkota pada atap sebuah rumah menjadi pertanda penting di kampung ini.

Sebuah mahkota yang diapit boleh sepasang naga. Mahkota adalah simbol pejabat tinggi setingkat raja. Naga adalah simbol pelindung. Ringkasnya seorang raja dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kisah kerajaan Inggris God Save the Queen (Tuhan melindungi Ratu). (nanang purwono)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *